Headlines News :
Home » » Willen dan Kisah Dendeng Babi

Willen dan Kisah Dendeng Babi

Written By Unknown on Wednesday, November 28, 2012 | 1:17:00 AM

Tentara marsose Belanda, kerap mengalami kelaparan dan tersesat di rimba Aceh. Ribuan mereka dikuburkan secara terpisah dalam perjalanan operasi ke hutan-hutan belantara. Tak terkira juga jumlah pekerja paksa (beer) yang dikuburkan di relung-relung rimba Aceh, untuk mencegah kelaparan dalam operasi militer ke rimba Aceh. Marsose terpaksa makan apa saja yang didapatnya. H C Zentgraaff mengambarkan hal tersebut dalam Atjeh. Kisah Willen Van Lueven, seorang marsose yang pandai memasak salah satunya. Kisah Willen Van Lueven, seorang marsose yang pandai memasak salah satunya.

Willem memiliki bakat yang tak ternilai di dalam hutan. Dia anak seorang tukang potong hewan di Holland, dan mahir dalam pekerjaan itu. Terlebih-lebih memotong babi, dia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Dan di depan bivak di mana dia berada bersama pasukannya dahulu, kini masih ada bau dendeng bakar. Anak buahnya selalu ada saja yang dibanggakannya dan Willem sebagai penasehatnya. Kebolehannya itu telah diperlihatkannya dengan memotong seekor babi gemuk tidak jauh di utara Kutacane, di Lembah Alas. Binatang besar itu sebenarnya bukanlah seekor babi hutan liar, melainkan babi peliharaan yang gemuk dan terawat baik. Kepunyaan seorang Cina yang memiliki sebuah kebun dan peternakan babi. Cina ini sangat bangga dengan binatang-binatang peliharaannya yang diberi makan sebaik-baiknnya itu.

Pernah terjadi di mana Mosselman, seorang perwira sedang berjalan di daerah itu, kemudian kembali ke pasukannya, dan tiba-tiba di sebuah kebun tebu, ia mendengar suara kemersik, kemudian melihat ada seekor babi yang besar langsung menuju kepadanya, sehingga terpaksalah ia menembaknya. Babi itu di gotong ke bivak, lalu di panggilnya Willem van Leuven. “Willem, ini ada seekor Celeng, “katanya. ”Coba, buatlah apa yang enak,” perintahnya. Datanglah si Willem dan memperhatikan babi besar itu dengan mata setengah dipicingkan, kemudian dibukanya matanya lebar-lebar dan memandang kepada Mosselman. Mereka saling berpandangan bagaikan juru tenung. “Betul-betul seekor babi hutan,” kata Willem, lalu ia mengambil perkakas tukang jaganya. Pada hari itu juga pada pondok bivak itu tergantunglah seekor babi yang sudah disembelih, dikuliti dan dibersihkan dengan cermat. Binatang itu tergantung, kedua kakinya mengangkang, bagaikan orang yang hendak pergi ke pesta dan mau menarik perhatian orang.

Keesokan harinya lembaran-lembaran dendeng babi setebal beberapa jari bergantungan di bivak, dan beberapa potong paha sedang diasap. Sebagai seorang penjagal yang hemat, Willem selalu membersihkan tiap tulang babi dari dagingnya. Kemudian Kapten Murling datang sebentar untuk melihat-lihat. Dia tahu betul bahwa babi hutan tidak memiliki daging dengan lemak yang tebal dan putih warnanya, serta daging-daging paha yang gemuk-gemuk seperti itu. Di dalam hutan, Celeng pun tidak akan dapat memperoleh makan sedemikian kayanya.

Murling lalu memanggil Mosselman dan menayakan bagaimana ia mendapatkan babi itu. Mosselman mengatakan babi itu ditangkap dalam rumpun bambu. Namun seorang Cina kemudian datang dan menuntut ganti rugi kepada Mosselaman, si Cina mengatakan babi itu miliknya. Tapi si Cina itu diusir. Sementara si Willem membuat worst dengan potongan yang panjang-panjang, induk keju, dan pada hari berikutnya ada pula dendeng asap, ham, dan kabonade, serta ini dan itu. Semua marsose dalam pasukan itu datang kepadanya meminta bekal dan dia tahu betul apa yang di perlukan mereka. Kalau ada seorang marsose yang datang minta bekal sambil berkat, “Karmenace por ampak orang”, maka ia sudah maklum bahwa dia mau korupsi sepotong carbonade, lalu yang diberikan hanya tiga potong saja. Kemudian juru masak dari Muurling datang untuk meminta bagiannya, tetapi Willem memberikan potongan yang agak kecil, karena, katanya. ”Kapten itu orangnya kurus dan tidak banyak makannya.” Demikianlah Willem berhadapan dengan anak buahnya, kalau dia bekerja sebagai tukang potong hewan.

Willem kemudian dikirimkan bertugas ke Tripa-hilir, yang menurut istilah dia adalah “daerah busuk”, dan untuk tugas ini dia telah mengambil persekot yang lumayan banyaknya. Maka komandan –komandan brigade itu pun berusaha untuk membuat badan itu mengalami defisit, dalam menjaga kemungkinan yang buruk menimpa diri seseorang serdadu. Willem pun berbuat demikian tatkala ia harus berangkat menuju Tripa-hilir, dan berkata, “Andaikata saya tidak kembali lagi, maka mereka tidak dapat memperkaya diri mereka dari saya.” Willem memang tidak kembali lagi. Dalam perjalanannya ia masih pula membuat beberapa cukilan-cukilan kalimat misalnya:”Pejalan-pejalan kaki harus jalan sebelah kanan” dan lain-lain, tatapi ini tidak berlangsung lama. Sesudah enam hari kemudian, pasukannya pulang kembali tanpa dia. Pasukan itu dalam keadaan sangat kebingungan dan berkata mengenai komandannya,”Dia ditinggal mati.” Dengan segera dikirimkan pasukan kesana, dan sementara itu ternyata bahwa pasukan yang dipimpin Willem tadi telah mendapat seruangan kelewang di dalam hutan, dan serdadu-serdadu marsose itu menjadi panik. Orang-orang yang berhasil kembali, sangat mengalami demorakisasi.

Pasukan yang dikirim untuk mencari, menemukan bivak pasukan Willem yang terakhir, di mana mereka telah bermalam selama dua hari. Kemungkinan pada waktu itu mereka tidak cukup waspada, atau khayalan-khayalan tentang keadaan kampung di Holland, telah menyebabkan mereka lalai akan keadaan alam rimba Aceh yang nyata. Maka tibalah terjadi serangan kelewang itu, dan para marsose membalas dengan tembakan-tembakan yang sengit dan lama dalam keadaan panik. Willem mati terkena peluru di kepalanya dan di kuburkan di tempat itu.

Tibalah pasukan patroli yang menyusul tadi di tempat itu. Medannya sangat buas dan membosankan. Suatu lembah kecil dekat sebuah sungai, dan ada sebuah plateau agak di sebelah atas. Disanalah Willem terkena peluru. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk menemukan kuburan Willem. Ada bau mayat yang sudah membusuk, dia sudah mati tujuh hari yang lalu. Keluar dari tumpukan batu-batu pada kuburnya, karena liang mayat itu tidak dalam. Para pekerja paksa (beer) kemudian menggali sebuah lubang yang dalam. Tubuh Willen Van Lueven, kemudian dipindahkan dan dikuburkan dalam lubang tersebut. Diatas kuburan itu diletakkan batu-batu besar sebanyak-banyaknya dan sesudah itu barulah pasukan bertolak pulang.

Terhadap peristiwa itu, penulis Belanda, H C Zentgraaff menulis dalam bukunya, “Siapakah kini yang dapat menemukan kuburan itu kembali? Siapakah yang dapat menemukan kuburan-kuburan lainnya yang tek terkira banyaknya yang tersebar di seluruh bumi Aceh itu kembali? terutama kuburan-kuburan pekerja-pekerja paksa (beer) yang begitu banyaknya yang dalam perjalanan patroli dan dalam pertempuran-pertempuran, telah memperlihatkan sikap dan tindakan-tindakan ksatria, sama seperti pasukan-pasukan kita. Mereka mengerjakan pekerjaan masal, merupakan bagian dari aparat juang yang besar, namun sama pentingnya dengan yang lainnya. Bagi mereka itulah kuburan-kuburan masal itu diperuntukkan. Bagi beberapa orang, adalah tumpukan-tumpukan batu besar di tengah hutan belantar, tempat yang sederhana, dan itu pun kadang-kadang tidak ada sama sekali. [Sumber]
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©