Dayah Balai Beut |
Dayah di Aceh diyakini ada sejak 800 M. Tertua bernama Cot Kala. Tidak dapat dipungkiri, pondok pesantren atau yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Aceh dengan istilah dayah mempunyai peranan penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Nusantara.
Keunikannya juga telah membuat hampir setiap orang mengenalnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan atas ketradisionalitasannya justru merupakan faktor yang membuat dayah semakin survive, bahkan dianggap sebagai alternatif dalam hegemoni modernisme masyarakat masa kini.
Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh. Yakni pada tahun 800 M. Saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. Selain melakukan aktivitas perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga pro aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat.
"Cikal bakal berdirinya dayah itu muncul pada awal-awal Islam masuk di Aceh yang bertujuan untuk mendidik masyarakat agar dapat lebih memahami ajaran-ajaran agama, disamping juga untuk menyebarkan agama Islam di nusantara khususnya di Aceh," ujar Kepala Museum Aceh, Nurdin AR.
Nama dayah sendiri diambil dari Bahasa Arab; zawiyah. Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan adalah sudut Masjid Madinah, ketika Nabi Muhammad memberi pelajaran kepada para sahabat pada awal diturunkannya agama Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu juga dijadikan sebagai pondok bagi para pencari ilmu-ilmu agama.
Seiring berjalannya waktu, peran dan fungsi dayah juga berkembang. Dayah tidak lagi sebatas tempat pendidikan keagamaan, tetapi juga menyentuh ranah sosial politik dan menjadi tempat untuk menjaga manuskrip serta kitab-kitab kuno yang langka.
"Dayahlah yang telah mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran, dan lain-lain," ujar Prof DR M Hasbi Amiruddin, MA dalam makalahnya berjudul "Program Pengembangan Dayah di Aceh".
Menurut ensiklopedi agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah dayah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam berdarah Palestina.
Peranan dayah sebagai pusat lembaga pendidikan Islam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, dan memiliki tak kurang dari 44 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatera, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh dunia, hingga dikenal sebagai lima negara Islam super power dunia.
Selain Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan lain yang menjadi kekuatan besar Islam pada masa itu adalah Kerajaan Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Islam Maghribi di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, dan Kerajaan Islam Agra di India.
Saat ini, dayah tertua dan masih tetap berdiri adalah Zawiyah Tanoh Abe, Seulimeum, Aceh Besar, yang lahir pada awal abad ke 17 M. Zawiyah ini menyimpan sekitar 4.000 manuskrip dan berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan paraulama Aceh tempo dulu.
Pada masa perang Acjeh, dayah kembali menunjukkan peran pentingnya. Selain sebagai tempat menyusun strategi, sebagian dayah pada masa itu menjadi semacam
lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima maupun prajurit sebelum terjun ke medan perang. "Hampir semua tokoh-tokoh Aceh pada masa itu ikut berperang melawan Belanda sampai pada era kemerdekaan. Mereka semua dididik dan dibesarkan di dayah-dayah," urai Teungku Bulqaini Tanjungan, pimpinan Markaz
Al-Ishlah Aziziyah.
Tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah hasil didikan dayah diantaranya ialah, Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lain: pimpinan kelima Zawiyah Tanoh Abe, Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat perang Aceh.
Sistem manajemen yang kurang baik, ditambah kurangnya regenerasi, telah membuat sebagian dayah-dayah di Aceh pada abad ke- 20 M mengalami banyak penyusutan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan nasib yang dialami dayah/pesantren di luar Aceh, khususnya pesantren-pesantren di pulau Jawa, yang pada saat bersamaan justru semakin berkembang.
Nurdin menjelaskan, bahwa kebanyak-an dayah-dayah di Aceh didirikan dengan memakai kekayaan keluarga pendirinya. Jika pimpinan dayah meninggal, biasanya dayah yang ditinggalkan akan ikut mati. Hal itu dikarenakan, harta kekayaan yang dimiliki dayah tersebut cenderung dibagikan ke sanak familinya dan bukan menjadi hak penuh bagi kegiatan dayah itu sendiri. "Tidak seperti sistem pesantren di pulau Jawa, contohnya saja pesantren Gontor. Di Gontor, jika pimpinan pesantrennya meninggal, harta-harta dari pesantren maupun harta yang dikumpulkan oleh pendiri pesantren itu tidak dibagikan kepada anak-anaknya, melainkan kembali diwakafkan ke pesantren tersebut. Makanya pesantren Gontor bisa terus berkembang hingga ke pelosok nusantara," tuturnya.
Namun kini di era globalisasi yang membutuhkan asupan informasi yang semakin besar, mau tidak mau membuat sebagian dayah di Aceh tampil dengan wajah baru yang lebih modern. Sistem pembelajaran maupun pengelolaan manajemennnya pun berubah menjadi lebih canggih. Metode pembelajaran yang diajarkan tidak lagi hanya mencakup ilmu agama saja, melainkan juga mulai mengadopsi metode pendidikan di sekolah-sekolah barat, seperti mengajarkan aritmatika, ilmu sains, naskah latin, bahasa asing, dan lain sebagainya.
"Kan pendidikan juga harus mengikuti tuntutan pasar. Kalau di pesantren kalaf 100 persen, itu menjadi tidak menarik. Setelah tamat pesantren mereka mau kemana? Kan tidak mungkin menjadi ketua meunasah semua. Bagaimanapun pendidikan juga harus menopang hidup," ujar Nurdin.
Pandangan yang sedikit berbeda diutarakan Tgk Bulqaini. Menurut teungku lulusan dayah salafiah ini, keberadaan dayah-dayah modern yang semakin marak di Aceh ini tidak dapat dikategorikan sebagai dayah tetapi lebih kepada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) plus. Bulqaini pun kurang sependapat dengan adanya pihak-pihak yang menginginkan adanya perubahan terhadap dayah salafiah. "Tidak usah ada perubahan, biar aja seperti itu. Karena apapun cerita, bertahannya Islam di Aceh dikarenakan jasa yang sangat besar dari kaum dayah," ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, dayah masih tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok perkampungan. Para orang tua di daerah ini lebih banyak memasukkan anaknya di dayah daripada di sekolah umum. "Dayah sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Malah dayah salafiah yang murni mengajarkan ilmu agama yang lebih banyak diminati," kata Tgk Bulqaini, lagi.
Melihat tingkat kepopularitas dayah yang sangat besar, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan dayah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. "Saat ini ada sebagian dayah yang digunakan untuk tujuan politik tertentu yang sama sekali sekali tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama Islam," ujar Tgk Bulqaini.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Disadari atau tidak, dayah telah menjadi bagian vital dalam sejarah Aceh; sejak zaman kerajaan Samudera Pasai hingga era sekarang. Dayah jua lah yang telah mendidik ulama-ulama Aceh sehingga dapat mengharumkan nama Aceh di seluruh penjuru dunia. [Artikel] RIZKY FECHRIZAL
Keunikannya juga telah membuat hampir setiap orang mengenalnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan atas ketradisionalitasannya justru merupakan faktor yang membuat dayah semakin survive, bahkan dianggap sebagai alternatif dalam hegemoni modernisme masyarakat masa kini.
Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh. Yakni pada tahun 800 M. Saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. Selain melakukan aktivitas perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga pro aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat.
"Cikal bakal berdirinya dayah itu muncul pada awal-awal Islam masuk di Aceh yang bertujuan untuk mendidik masyarakat agar dapat lebih memahami ajaran-ajaran agama, disamping juga untuk menyebarkan agama Islam di nusantara khususnya di Aceh," ujar Kepala Museum Aceh, Nurdin AR.
Nama dayah sendiri diambil dari Bahasa Arab; zawiyah. Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan adalah sudut Masjid Madinah, ketika Nabi Muhammad memberi pelajaran kepada para sahabat pada awal diturunkannya agama Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu juga dijadikan sebagai pondok bagi para pencari ilmu-ilmu agama.
Seiring berjalannya waktu, peran dan fungsi dayah juga berkembang. Dayah tidak lagi sebatas tempat pendidikan keagamaan, tetapi juga menyentuh ranah sosial politik dan menjadi tempat untuk menjaga manuskrip serta kitab-kitab kuno yang langka.
"Dayahlah yang telah mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran, dan lain-lain," ujar Prof DR M Hasbi Amiruddin, MA dalam makalahnya berjudul "Program Pengembangan Dayah di Aceh".
Menurut ensiklopedi agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah dayah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam berdarah Palestina.
Peranan dayah sebagai pusat lembaga pendidikan Islam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, dan memiliki tak kurang dari 44 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatera, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh dunia, hingga dikenal sebagai lima negara Islam super power dunia.
Selain Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan lain yang menjadi kekuatan besar Islam pada masa itu adalah Kerajaan Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Islam Maghribi di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, dan Kerajaan Islam Agra di India.
Saat ini, dayah tertua dan masih tetap berdiri adalah Zawiyah Tanoh Abe, Seulimeum, Aceh Besar, yang lahir pada awal abad ke 17 M. Zawiyah ini menyimpan sekitar 4.000 manuskrip dan berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan paraulama Aceh tempo dulu.
Pada masa perang Acjeh, dayah kembali menunjukkan peran pentingnya. Selain sebagai tempat menyusun strategi, sebagian dayah pada masa itu menjadi semacam
lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima maupun prajurit sebelum terjun ke medan perang. "Hampir semua tokoh-tokoh Aceh pada masa itu ikut berperang melawan Belanda sampai pada era kemerdekaan. Mereka semua dididik dan dibesarkan di dayah-dayah," urai Teungku Bulqaini Tanjungan, pimpinan Markaz
Al-Ishlah Aziziyah.
Tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah hasil didikan dayah diantaranya ialah, Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lain: pimpinan kelima Zawiyah Tanoh Abe, Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat perang Aceh.
Sistem manajemen yang kurang baik, ditambah kurangnya regenerasi, telah membuat sebagian dayah-dayah di Aceh pada abad ke- 20 M mengalami banyak penyusutan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan nasib yang dialami dayah/pesantren di luar Aceh, khususnya pesantren-pesantren di pulau Jawa, yang pada saat bersamaan justru semakin berkembang.
Nurdin menjelaskan, bahwa kebanyak-an dayah-dayah di Aceh didirikan dengan memakai kekayaan keluarga pendirinya. Jika pimpinan dayah meninggal, biasanya dayah yang ditinggalkan akan ikut mati. Hal itu dikarenakan, harta kekayaan yang dimiliki dayah tersebut cenderung dibagikan ke sanak familinya dan bukan menjadi hak penuh bagi kegiatan dayah itu sendiri. "Tidak seperti sistem pesantren di pulau Jawa, contohnya saja pesantren Gontor. Di Gontor, jika pimpinan pesantrennya meninggal, harta-harta dari pesantren maupun harta yang dikumpulkan oleh pendiri pesantren itu tidak dibagikan kepada anak-anaknya, melainkan kembali diwakafkan ke pesantren tersebut. Makanya pesantren Gontor bisa terus berkembang hingga ke pelosok nusantara," tuturnya.
Namun kini di era globalisasi yang membutuhkan asupan informasi yang semakin besar, mau tidak mau membuat sebagian dayah di Aceh tampil dengan wajah baru yang lebih modern. Sistem pembelajaran maupun pengelolaan manajemennnya pun berubah menjadi lebih canggih. Metode pembelajaran yang diajarkan tidak lagi hanya mencakup ilmu agama saja, melainkan juga mulai mengadopsi metode pendidikan di sekolah-sekolah barat, seperti mengajarkan aritmatika, ilmu sains, naskah latin, bahasa asing, dan lain sebagainya.
"Kan pendidikan juga harus mengikuti tuntutan pasar. Kalau di pesantren kalaf 100 persen, itu menjadi tidak menarik. Setelah tamat pesantren mereka mau kemana? Kan tidak mungkin menjadi ketua meunasah semua. Bagaimanapun pendidikan juga harus menopang hidup," ujar Nurdin.
Pandangan yang sedikit berbeda diutarakan Tgk Bulqaini. Menurut teungku lulusan dayah salafiah ini, keberadaan dayah-dayah modern yang semakin marak di Aceh ini tidak dapat dikategorikan sebagai dayah tetapi lebih kepada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) plus. Bulqaini pun kurang sependapat dengan adanya pihak-pihak yang menginginkan adanya perubahan terhadap dayah salafiah. "Tidak usah ada perubahan, biar aja seperti itu. Karena apapun cerita, bertahannya Islam di Aceh dikarenakan jasa yang sangat besar dari kaum dayah," ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, dayah masih tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok perkampungan. Para orang tua di daerah ini lebih banyak memasukkan anaknya di dayah daripada di sekolah umum. "Dayah sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Malah dayah salafiah yang murni mengajarkan ilmu agama yang lebih banyak diminati," kata Tgk Bulqaini, lagi.
Melihat tingkat kepopularitas dayah yang sangat besar, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan dayah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. "Saat ini ada sebagian dayah yang digunakan untuk tujuan politik tertentu yang sama sekali sekali tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama Islam," ujar Tgk Bulqaini.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Disadari atau tidak, dayah telah menjadi bagian vital dalam sejarah Aceh; sejak zaman kerajaan Samudera Pasai hingga era sekarang. Dayah jua lah yang telah mendidik ulama-ulama Aceh sehingga dapat mengharumkan nama Aceh di seluruh penjuru dunia. [Artikel] RIZKY FECHRIZAL
0 komentar:
Post a Comment