Peralatan musik tradisional rapai merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, baik secara filosofis maupun kultural. Pertunjukan musik rapai melibatkan 8 hingga 12 pemain yang disebut awak rapai. Peralatan ini berfungsi untuk mengatur tempo serta tingkahan-tingkahan irama bersama serune kalee mau-pun buloh perindu (Z. H. Idris et al, 1993: 79).
Menurut Z. H. Idris, et al (1993: 79), peralatan rapai berasal dari Baghdad (Irak), dibawa oleh seorang penyiar agama Islam bernama Syeh Rapi. Sedangkan jika dilihat dari syair yang selalu dinyanyikan dalam rapai, peralatan musik tersebut asalnya dari Syeh Abdul Kadir. Berikut syair yang dilantunkan pada pertunjukan rapai yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Di langit tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar ke bumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi.
Di langit tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar ke bumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi.
Berdasarkan besar rapai dan suaranya, rapai terbagi menjadi beberapa jenis (Firdaus Burhan, ed. 1986: 68-69), yaitu:
1. Rapai Pasee (rapai gantung)
2. Rapai Daboih
3. Rapai Geurimpheng (rapai macam)
1. Rapai Pulot
2. Rapai Anak/ tingkah (berukuran kecil)
3. Rapai Kisah
Masing-masing rapai di atas mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda, tergantung pada pertunjukan rapai itu sendiri. Misalnya, Rapai Anakmerupakan rapai kecil yang berfungsi mengadakan tingkahan karena suaranya lebih nyaring dan mendenting (Z. H. Idris, et al 1993: 83).
Selain pertunjukan yang digelar dalam acara-acara tertentu, rapaikadang kala juga dilombakan di kalangan antarkelompok pemain rapai. Kriteria penilai perlombaan itu adalah bunyi, irama pukul rapai, tingkahan, dan membalas jawaban pantun lawan. Lomba dimulai malam hari hingga pagi esoknya. Pada perlombaan tersebut para pemain mengenakan pakaian adat Aceh.
Terdapat kedekatan tertentu peralatan musik ini di hati masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan peralatan dan menyelenggarakan pertunjukan musik rapai dalam berbagai kesempatan, misalnya pasar malam, upacara perkawinan, ulang tahun, mengiringi tarian, memperingati hari-hari tertentu, dan sebagainya.
Selain dimainkan secara tunggal, rapai dapat pula digabungkan dengan alat musik yang lain, semisal Sarune Kalee atau buloh perindu. Rapai dapat mendukung melodi buloh perindu, peralatan tiup yang mempunyai nada diatonis.
Masyarakat Aceh juga menggunakan rapai untuk mengiringi pertunjukan debus (daboih). Menurut Z. H. Idris, et al (1993: 82) Daboihadalah sejenis senjata yang terbuat dari besi runcing di ujung nya dan berhulu bundar. Senjata ini sebesar telunjuk dan mempunyai panjang kira-kira setengah jengkal. Permainan tersebut dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal sehingga badannya tidak terluka oleh tusukan benda tajam, dapat melilitkan rantai panas ke bagian tubuhnya, menari dalam api, dan sebagainya.
Rapai yang digunakan sebagai pengiring pertunjukan daboih adalahRapai Daboih. Dalam pertunjukan Rapai Daboih ini, pada saat saleum(salam) pemain rapai memukul alat musiknya dengan tempo lambat sebagai pengiring kisah atau syair yang dilantunkan penabuh dabus. Kemudian tempo berubah sedang pada waktu mengiringi syair wanole. Ketika dilantunkan syairAmanah Guru tempo iringan rapai berubah menjadi agak cepat. Dan menjadi cepat ketika mengiringi Syair Nyo He Rakan.
Pertunjukan Rapai Pase yang terdapat di Aceh Utara melibat-kan 30 buah rapai beserta pemainnya. Ini adalah formasi yang paling besar dalam pertunjukan Rapai Pase. Untuk formasi sedang terdiri dari 15 orang dan formasi kecil antara 10 hingga 12 buah rapai beser-ta pemainnya. Di antararapai yang berukuran kecil terdapat sebuah rapai berukuran besar yang digantung. Pertunjukan tersebut memba-wakan lagu-lagu berbau keagamaan, upacara gembira, sunat Rasul, nasihat, maulid, dan upacara lain selain Islam.
Pertunjukan Rapai Pulot diawali dengan lagu-lagu sebagai salam perkenalan yang dilanjutkan dengan permainan akrobatik. Per-mainan rapai ini juga digunakan untuk mengiringi ratoih (lagu). Per-tunjukan Rapai Kisahdigelar dengan mengisahkan atau menyanyikan lagu sesuai permintaan yang punya rumah. Seorang syeh rapai memimpin pertunjukan dan bersama-sama dengan pemain yang lain me-lagukan syair-syair kisah tersebut yang diikuti irama tingkahan rapai.
Rapai Pulot merupakan salah satu kesenian Aceh Utara. Kesenian ini merupakan perpaduan seni suara, seni tari, seni bunyi, ketrampilan, dan ketangkasan. Disebut Kesenian Rapai Pulot karena seni ini menggunakan instrument Rapai jenis “Rapai Pulot. Alat Musik Tradisional Rapai ini berasal dari Baghdad (Irak) yang dibawa oleh Syeh Rapi, beliau adalah seorang penyiar agam Islam. Bila kita mendengarkan Syairnya maka kita akan mengetahui bahwa Rapai ini dibawakan oleh Syeh Abdul Kadir. Rapai ini dibaut dari Kayu Nangka dan Kulit binatang seperti kambing dan untuk rapai Pasee yang ukurannya lebih besar dibuat dari kulit sapi. Rapai ini sendiri terdiri atas beberapa jenis:
1. rapai daboh
2. rapai pasee
1. Rapai Geurimpheng (rapai macan)
2. Rapai Pulot
3. Rapai Anak/Tingkah (ukuran kecil) Rapai Cebrek, merupakan salah satu jenis Rapai yang hampir langka dan umurnya hampir empat abad. Rapai ini merupakan warisan dari Almarhum Syech Basah. Sekarang Rapai ini dijaga oleh turunan beliau yaitu Syech Usman yang bertemapt tinggal di Desa Palimbungan Kec. Kawai XVI Kabupaten Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemain Pulot dibagi atas:
1. Aneuk Pulot
Aneuk Pulot ini terdiri atas 12 pemain. Mereka duduk paling depan dan bersaf. Dalam gerakannya Aneuk Pulot, membuat gerakan-gerak-an dan lagu-lagu.
Aneuk Pulot memakai pakaian kemeja diberi berumbai-umbai dengan warna menyolok, celana hitam babah keumurah serta perhiasan emas. Juara memakai celana hitam dengan baju putih (baju seudati) dan pakai tangkulok.
Adapun jalannya permainan sebagai berikut:
a. Saleuem. Hanya dinyanyikan oleh aneuk pulot dengan membuat gerakan-gerakan tertentu.
b. Poh Acek. Sesudah saleuem, biasanya disusul dengan poh acak. Pada poh acak ini ketiga kelompok pemain (aneuk pulot, juara, awak rapai) aktif. Juara memulai buka dike (lagu) lalu disahuti oleh awak rapai serentak sambil mem-bunyikan rapai. Disamping itu aneuk pulot terus melakukan gerakan-gerakan tertentu (poh acak : bahasa aceh). Selesai dike rapai yang tersebut lalu aneuk pulot dan juara menyahut dike.
c. Poh Anggok. Dike Poh Anggok dimulai oleh juara dan disa-huti bersama oleh awak rapai sambil membunyikan rapai. Dike poh anggok bagi aneuk pulot sama saja dengan dike rapai.
d. Poh Lagee. Pada poh lagee ini dikenya bermacam-macam. Pada poh lagee diadakan berbagai-bagai pertunjukan
2. Juara
Juara ini terdiri dari 6 pemain. Dalam permainan, juara mengambil posisi duduk di belakang Aneuk Pulot dan adakalanya mereka maju bersama aneuk pulot dalam pertunjukan-pertunjukan ketangkasan. Selanjutnya sang juara memiliki tugas penting dan berat selama dan setelah permainan selesai.
Selama permainan berlangsung ia bertugas sebagai:
a. Pembawa Buhu (irama)
b. Seu ot dike
c. penggerak pertunjukan ketangkasan
Setelah permainan selesai. sang juara bertugas merawat alat-alat kelengkapan serta pakain para pemain. Di dalam pertandingan, sang juara pula yang menentukan acara-acara apa saja yang akan ditampilkan.
3. Awak Rapai
Awak rapai terdiri atas 10 pemain. Dalam permainan mereka mengambil tempat paling belakang dan duduk melengkung (seperti busur derajat) atau seperti bulan sabit. Jika kita perhatikan sikap duduk sang juara dan awak rapai seperti pola bulan dan bintang.
Rapai berbentuk seperti tempayan atau panci dengan berbagai macam ukuran. Di bagian atas rapai ditutup dengan kulit, sedangkan bagian bawahnya kosong. Bagian bawah yang kosong tersebut membuat kulit akan berbunyi dan berdengung jika dipukul. Pada bagian buloh diukir dengan ragam hias yang sederhana, yaitu berupa ukiran-ukiran strimline lurus sepanjang bundaran buloh. Ukuran lingkar luar buloh antara 38 hingga 50 cm, sedangkan tinggi paloh (dinding frame) kurang lebih 8-12 cm, lebar paloh jika dilihat dari posisi belakang adalah 4-6 cm, dan untuk ukuran induk RapaiPase garis tengah bulatan adalah 1 meter atau lebih.
Sebuah rapai terdapat beberapa bagian, yaitu:
1. Bolah atau paloh.
2. Selaput atau membran yang terbuat dari kulit kambing. Untuk rapaiberukuran besar, membran terbuat dari kulit sapi yang telah diolah dan ditipiskan.
3. Rotan untuk mengencangkan atau meninggikan suara.
4. Lempengan logam pada bagian pinggir paloh yang menciptakan suara gemerincing.
Bahan untuk membuat rapai adalah gelondongan kayu berukuran besar. Hal tersebut menyebabkan para pembuat rapai saat ini kekurangan bahan untuk membuat peralatan ini. Untuk membuat peralatan ini dibutuhkan kayu nangka, merbau, medang-ara yang berumur ratusan tahun. Kayu untuk membuat rapai direndam terlebih dahulu hingga beberapa bulan agar kayu tersebut lebih awet. Baru kemudian mengorek bagian dalamnya dan hanya menyisakan bagian pinggir saja. Hasilnya adalah sebuah lobang bundar besar yang menggeronggong.
Pinggiran yang menjadi sisa korekan tadi merupakan kelawang ataubody yang perlu dihaluskan dan diukir dengan pahatan berupa tekuk-tekuk garis lurus. Di tengah pinggiran frame dipahat dan diberi lubang memanjang kurang lebih 6 cm dan 2 cm untuk menempatkan lempeng tembaga dengan lebar 1 cm. Di bagian atasnya diberi kulit kambing yang telah disamak sedemikian rupa sehingga tipis dan halus kemudian dijepit.
Menurut Z. H. Idris, et al (1993: 81), peralatan musik rapai yang ada sekarang merupakan warisan nenek moyang yang mungkin telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Mengingat bahan untuk membuat rapai yang sulit didapatkan untuk saat ini. Rapai merupakan peralatan musik tradisional yang mengandung nilai artistik yang tinggi. Jenis kayu yang digunakan juga jenis kayu pilihan, sehingga peralatan tersebut kukuh dan jarang retak atau pecah.
Rapai biasanya dimainkan oleh beberapa orang secara serempak. Para pemain rapai duduk berbanjar membentuk lingkaran sambil memukul peralatan tersebut. Tangan kiri memagang paloh atau palong (body) rapai, sedangkan tangan kanan memukul kulit rapai. Peralatan musik ini akan menghasilkan suara dengungan atau gema yang besar bila dipukul di tengah-tengah membran. Rapai akan menghasilkan suara yang tajam dan nyaring kalau dipukul pada bagian pinggir membran (Z. H. Idris, et al. 1993: 83).
Sebuah formasi pemain rapai dipimpin oleh seorang syeh yang dibantu oleh beberapa pemukul yang lain. Beberapa buah rapai akan dipukul dengan tempo rata untuk membentuk kekompakan suatu irama lagu. Beberapa yang lain akan dipukul dengan tingkahan-tingkahan dan suara dinamik. Suara “cring” dari lempengan tembaga muncul di sela-sela permainan itu secara satu-satu atau beruntun. Kadang-kadang dibarengi dengan suara chorus secara ensambel atau sahut-sahutan ulangan yang gegap gempita. Hal tersebut memberikan kesan meriah pada suatu pertunjukan yang diadakan.
Permainan rapai dalam sebuah pertunjukan biasanya diawali dengan tempo lambat (andante) yang dilanjutkan dengan tempo sedang (moderate), kemudian cepat (allegro), dan lebih cepat lagi (allegretto) sebagai klimaksnya. Pada waktu memainkan musiknya, kadang para pemain musik ikut bergerak mengikuti alunan musik, kadang kepala terangguk-angguk menurut irama yang dimainkan saat itu. Para pemain itu masih dalam keadaan duduk dengan rapaitetap dalam keadaan tegak di atas ujung kaki.
Rapai bukan sekadar alat musik yang dapat dinikmati pada waktu pertunjukan, tapi rapai juga mengandung nilai-nilai tertentu sebagaimana berikut.
1. Nilai Tradisi
Pertunjukan rapai merupakan warisan tradisi yang perlu dilestarikan. Pertunjukan rapai masih digelar hingga saat ini dalam berbagai acara. Baik acara yang bersifat seremonial maupun acara yang bersifat perayaan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh, di tengah perkembangan ke arah modenitas, masih tetap berusaha untuk mempertahankan tradisi mereka.
2. Nilai Budaya
Masyarakat Aceh mempunyai kekayaan kebudayaan yang beragam. Mulai dari sastra hingga seni musik. Rapai merupakan salah satu kebudayaan yang dilestarikan oleh masyarakat Aceh hingga kini. Pertunjukan rapai menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat luar Aceh.
3. Nilai Kekompakan
Memainkan musik rapai selalu menuntut kekompakan. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada karakter para pemain di mana mereka akan mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain. Secara luas hal kekompakan yang muncul dalam permainan musik rapaidiharapkan mempengaruhi masyarakat. Sehingga dengan musik rapai, terbentuk solidaritas di dalam masyarakat.
2. 4. Nilai Keindahan
Permainan rapai, baik sebagai musik pertunjukan maupun sebagai musik pengiring, selalu menyimpan keindahannya sebagai sebuah karya seni. Keindahan ini menjadikan pertunjukan rapai sebagai mediarefreshing atau hiburan bagi masyarakat. Tentunya hiburan dalam rapaidimaknai bukan sekadar hura-hura atau perayaan belaka, namun juga bentuk penyadaran kepada masyarakat bahwa kesenian tradisional juga dapat dijadikan media untuk “bersenang-senang” dalam arti yang luas.
Rapai merupakan permainan musik yang masih identik dengan masyarakat Aceh hingga kini. Sejak dimainkan pertama kali dimainkan sekitar tahun 900 masehi di Bandar Khalifak, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, rapai terus mengalami per-kembangan. Masyarakat Aceh yang memainkan rapai juga semakin luas, bukan hanya di wilayah Aceh Besar saja. Hingga kini, rapai masih menjadi peralatan dan permainan musik tradisional yang menjadi simbol kebudayaan Aceh
|Sumber|
0 komentar:
Post a Comment