Headlines News :
Home » » Ini Dia Keturunan Sultan Aceh

Ini Dia Keturunan Sultan Aceh

Written By Unknown on Thursday, November 1, 2012 | 9:59:00 PM

Cucu Wali Neugara, Tgk Hasyim Banta, dan Cucu Sultan Aceh Muhammad Daudsyah


Tuanku Hasyim bin Tuanku Abdul Kadir bin Tuanku Cut Zainal, diangkat menjadi wali untuk kerajaan Aceh wilayah Sumatera Timur.

Ketika Sultan Ibrahim Mansursyah wafat, semua tokoh masyarakat mengingingkan Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi sultan Aceh (1870). Namun sosok yang wara’ ini menolaknya. Alasannya, dia tidak berhak karena masih ada pewaris kerajaan. Saat itu diangkatlah Sultan Mahmudsyah yang hanya memerintah selama empat tahun (wafat 1874 akibat penyakit kolera).
Sejak itu pula di Kerajaan Aceh terjadi kevakuman kekuasaan sampai tahun 1878, sehingga para tokoh Aceh sepakat mengangkat kembali Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Sultan. “Lagi-lagi beliau menolaknya dengan alasan bahwa masih keturunan raja Aceh, yaitu Tuanku Muhammad Daudsyah yang saat itu masih kanak-kanak (12 tahun).”


Tuwanku Hasyim hanya bersedia menjadi wali sampai Sultan dewasa. Maka Sultan Muhammad Daudsyah secara resmi diadatkan (dikukuhkan) menjadi Raja yang berlangsung di Masjid Indra Puri. “Catatan sejarah, bahwa dalam daftar Piagam Batee Kureng, sama sekali tidak ada nama Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro,”
Selain itu, dalam sejarah Aceh, dikenal “cap sikureung” yang menjadi simbol kerajaan Aceh. Ini pernah diberikan kepada Tgk. Chik di Tiro. Setelah Tgk Chik di Tiro wafat tahun 1891, ternyata diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005: 275). Nah, apakah keturunan Habib ini juga bisa digelari sebagai Wali Nanggroe?

Seorang Wali dipilih dan dilegitimasi, sehingga ia berhak mengunakan “cap sikureung”. Cap Sikureung adalah simbol pemerintahan kerajaan Aceh yang pengaruhnya sangat luar biasa bagi siapa pun yang memiliki stempel kerajaan Aceh tersebut. Kenyataan sejarah pula, bahwa pemimpin perang Aceh yang terakhir adalah adik Tgk. Mat Amin (wafat 1896) yang bernama Tgk. Di Tungkeb alias Tgk. Beb (Ibrahim Alfian, 1987: 161).

Jabatan wali sendiri dalam terminilogi ke-acehan yang islami memiliki posisi mulia setingkat maqam aulia. Sebab, Wali merupakan seorang pelindung atau penolong bagi suatu kaum. Mereka dikenal wara’ dan dekat dengan Allah dan memiliki kekeramatan (karamah al-auwliya) yang amat luar biasa. Dua hal inilah yang pernah dimiliki oleh Tgk. Hasyim Banta Muda atau Tgk Chik di Tiro dengan semangat jihadnya. Karena itu, bumi Aceh adalah tanoh aulia (tanah para wali).

Jadi, katanya, gelar Wali bukan hanya gelar adat dan budaya tapi juga gelar keagamaan. dimana mereka terkadang menjadi penasihat Raja atau menjadi pemegang otoritas keagamaan yang paling tinggi. Jadi seorang “wali” harus memiliki derajat kearifan lebih tinggi dalam masyarakat tempatan.

T.A. Sakti, dosen FKIP Unsyiah juga pakar aksara, mengatakan, keberadaan Wali Nanggroe itu dapat dikaji dengan merujuk pada sejumlah manuskrip (naskah-naskah lama) Aceh. Pertama, dalam naskah Adat Meukuta Alam. Naskah ini adalah Hukum Dasar atau Konstitusi Tertulis Kerajaan Aceh Darussalam, yang konon dipakai sejak Sultan Iskandarmuda. Selanjutnya direvisi oleh para sultan Aceh kemudian.

Hhikayat Malem Dagang ditemukan kalimat ‘petuha”--ketika perjalanan lewat darat sultan Iskandar Muda ke Peusangan, beliau bertanya kepada pemimpin masyarakat di sana;
//Padum na kapai di gata sinoe/ Tapeugah bak kamoe sigra-sigra /kapai tuanku lah ka neu tanyong/ kapai limong di sinoe nyang na/ Kricit narit Peutua Nanggroe/ ureueng mat sagoe muhon bak raja/ Ampon tuanku cahi ‘alam/ seumah laman duli sarpada/ Kamoe bek neuba bak prang timu/ Bek unoe juho prang Malaka/ Kamoe tuanku sinoe neu keubah/ Meudrop-drop gajah keupo meukuta//

Disebutkan, dalam buku Adat Meukuta Alam yang disusun Tuwanku Abdul Jalil (terbitan Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1991), hanya tersebut beberapa jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Kadli Malikul Adil, Raja Udah na Lela, Panglima Paduka Sinara, Sri Maharaja Indra Laksamana, Panglima Sagi, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Hulubalang Rama Setia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Bentara, Datu, Imum Mukim, Keujruen, Kechik.

Masalahnya, sekarang ini format Wali Nanggroe hanya sebagai produk kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. Ini perlu dikomperasikan dengan aspek yang sesuai dengan kebutuhan rakyat Aceh Nah, jika Wali Nanggroe Aceh ditafsirkan sebagai pengatur adat, maka apa yang sekarang ditafsirkan sangat keliru karena lebih cenderung kepada pengatur politik pemerintahan.

Dari aspek komperatif rakyat Aceh mesti belajar dari wilayah atau negara-negara lain di dunia tentang lembaga wali nanggroe. Banyak contoh bisa diambil sebagai identitas masyarakat dan bangsanya. Mungkin kita bisa belajar dari Sultan di Yogyakarta, dari Sabah di Malaysia, dari Raja di Thailand atau Ratu Elizabeth di Britania Raya.

Dalam kajian politik Aceh masa lalu, yang berlandaskan syariat Islam, orang-orang yang dilekatkan menjadi “wali”, lebih dekat pada otoritas pemilik ilmu hikmah (wilayatul hakim). Ini dikenal dengan “Tuha” atau dipeutuha, yaitu orang-orang yang memiliki sebagian dari ilmu hikmah dengan derajat tertentu dan dipraktikan secara konsisten dalam kehidupan mereka. Karenanya yang dipeutuha memiliki derajat lebih tinggi kearifannya.

Premis-premis itu yang dulu dipahami baik dalam sistem pemerintahan adat di gampong-gampong dan mukim-mukim Aceh, sehingga tuha-tuha gampong dan mukim dipilih secara ketat.

Nah, jika disimak kriteria wali nanggroe yang sekarang ditafsir dalam Raqan Wali Nanggroe produk DPRA, terlihat tidak bersesuaian. Sebab untuk jadi wali nanggroe menggunakan mekanisme pemilihan oleh rakyat, tetapi diwariskan turun temurun kepada orang terdekat.
Karenanya “Wali Nanggroe” perlu diletakkan dalam format yang benar bukan sebatas kepentingan kekuasaan, atau hanya sebuah lembaga adat dan budaya sebagaimana yang diterjemahkan saat ini. Namun bila jabatan Wali Nanggroe sebagai amanah MoU dan UUPA, maka wewenang dan kekuasaan itu harus diserahkan kepada yang berhak memiliki-dalam hal ini Sultan dan keturunannya.

Sultan Aceh terakhir adalah Muhammad Daudsyah yang diadatkan (dikukuhkan) menjadi Raja yang berlangsung di Masjid Indra Puri. Sekarang ini masih ada keturunan yang hidup, di antaranya Tuwanku Raja Yusuf (cucu Sultan).(Ampuh Devayan)
 
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©