1. Riwayat Hidup
Melihat riwayat Aceh
tidak bisa dipisahkan dari kisah perang yang terus ada di daerah ini.
Kisah ini dimulai dari Perang Aceh, disusul dengan pendudukan Jepang,
kemudian perang mempertahankan kemerdekaan, Peristiwa Cumbok, Kasus
DI/TII Aceh, G 30/S, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), status Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM), terakhir status Aceh sebagai Daerah
Darurat Militer (Sardono W. Kusumo (ed.), 2005: 2).
Meski
setiap kasus perang menyisakan kisah tersendiri, tanpa mengecilkan
perang yang lain, Perang Aceh (26 Maret 1873-1950) merupakan perang
dengan tingkat heroisme luar biasa. Pertama, perang ini merupakan
perang terlama yang harus dihadapi Belanda di Hindia Belanda (30 tahun
lebih). Kedua, Perang Aceh telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam
panggung perlawanan terhadap kolonialisme di Hinda Belanda. Cut Nyak
Dhien salah satunya.
Dhien
hidup di waktu yang sama dengan Alexandrina Victoria, Ratu Britania
Raya. Dhien juga lahir ketika perang saudara tengah melanda Aceh.
Perang yang melibatkan dua kubu di wilayah VI Mukim dan Meuraksa.
Perang akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan hingga maut
menjemput usia. Abdul Haris Nasution, Jenderal Besar Indonesia menyebut
Dhien sebagai Ibu Gerilya Indonesia yang berperang sampai tenaga
terakhir (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 8).
Dilihat dari garis keturunannya, Dhien termasuk dalam Bangsawan Aceh. Ayahnya Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang, sekaligus keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke-18, dimana Aceh
diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Sedang Ibu Cut Nyak Dhien
adalah putri uleebalang Lampagar (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 8).
Hidup
sebagai bangsawan tidak selamanya dirasakan Dhien. Dhien hanya
merasakan kenikmatan ini ketika dia lahir pada 1848 di Lampadang, Aceh Besar hingga menikah pada 1862. 11 tahun pasca pernikahannya dengan suami pertama Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang
Lamnga XIII, pecahlah Perang Aceh pada 26 Maret 1873. Ketika Perang
Aceh ini meletus, seruan jihad langsung melanda seantero Aceh. Praktis
sang suamipun harus meninggalkan Dhien untuk berjihad.
Sepeninggal
sang suami, hidup Dhien senantiasa dilanda kekhawatiran. Bayangan
syahidnya Teuku Ibrahim Lamnga tidak pernah absen mengisi pikiran
wanita yang menikah di usia 12 tahun ini. Kekhawatiran tersebut
akhirnya menjadi kenyataan ketika Teuku Ibrahim Lamnga benar-benar
syahid pada 29 Juni 1878 di Sela Glee Tarum. Sepeninggal sang suami,
kini Dhien harus hidup berdua dengan anak pertamanya.
Dari
kematian suami pertamanya inilah, Dhien bersumpah untuk melanjutkan
perjuangan sang suami. Dhien pun menyatakan bahwa dia hanya akan
menikahi pria yang bisa menyalurkan sumpahnya ini. Bisa dikatakan, api
pemantik terjunnya Dhien di Perang Aceh bermula dari motivasi
pribadinya atas kematian sang suami. Sebuah motivasi yang dibayar mahal
oleh Dhien dengan nyawanya.
Pernikahan kedua akhirnya dilakukan oleh Dhien. Pria yang menjadi pendamping Dhien ini bernama Teuku Umar.
Pernikahan dilangsungkan pada 1987. Menikahnya Dhien dan Umar berarti
pula terjalin ikatan kuat antara kedua pemimpin perjuangan Aceh.
Pernikahan ini sekaligus memberikan andil untuk meningkatkan moral
moral pasukan perlawanan Aceh. Keduanya bahu-membahu bertempur melawan
Belanda,
Cut
Nyak Dhien terjun ke medan pertempuran bersama suami barunya, Teuku
Umar. Bersatunya kedua pemimpin perlawanan ini sempat mengejutkan
Belanda di Kutaradja (Banda Aceh).
Sepakterjang keduanya membuahkan hasil dengan direbutnya kembali
daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Dhien kini bisa pulang ke kampung
halamannya untuk membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumahnya ini
sekaligus menjadi markas tempat pertemuan para tokoh pejuang dan alim
ulama dalam mengobarkan semangat Prang Sabi.
Dhien
juga sukses meredam prasangka buruk dari rekan seperjuangan ketika
Umar bersama 250 pejuang Aceh membelot ke Belanda pada 30 September
1893. Dhien meyakinkan pada pejuang lainnya seperti Cut Meutia bahwa
Umar hanya menjalankan taktik perang. Keyakinan Dhien terbukti ketika
Umar kembali ke kubu pejuang Aceh. Kembalinya Umar ini disertai pula
dengan bertambahnya perlengkapan perang karena Umar sukses menipu
Belanda dengan meminta banyak perlengkapan perang. Praktis kekuatan
pasukan Aceh menjadi lebih ampuh, terutama di sektor Aceh Barat. Peristiwa ini dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
2. Perjuangan
a. Peran Wanita Aceh
Peran
para wanita Aceh dalam Perang Aceh sungguh luar biasa. Dhien
membuktikan peran ini dengan menggadaikan seluruh hidup, kebebasan,
kemerdekaan, hingga nyawanya untuk tanah air tercinta. Kematian sang
suami hanya awal bagi srikandi Aceh ini. Belanda telah membangunkan api
kesumat Dhien.
Dhien
sebagaimana wanita Aceh lainnya, mempunyai satu sifat serupa, pantang
menyerah. Sifat ini telah dibuktikan para wanita Aceh sejak lama.
Sebagai pendamping suami –jika telah menikah – wanita Aceh juga pemikul
tanggungjawab suami jika perang mengharuskan kaum laki-laki pergi
jihad. “Wanita adalah penjaga nyawa Aceh,” demikian kata mantan
Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan (Liza Fathiariani & Asrizal Luthfi,
“Menanti Cut Nyak Dhien Baru,” id.acehinstitute.org).
Figur seorang wanita Aceh
Sikap
wanita Aceh ini ternyata terbentuk karena pengaruh Islam yang sangat
kuat. Dalil-dalil Islam dijadikan landasan bagi kaum wanita dalam
menentukan sikap. Sejak masa Kerajaan Islam Perlak, Samudera Pasai,
hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara dan
sumber hukumnya, yaitu Al-Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas. Berdasarkan
hukum inilah, wanita Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk
dalam keadaan perang sekalipun.
Dalam
masalah jihad atau perang menurut Islam, kewajiban pria dan wanita
sama, artinya sama-sama wajib berjihad untuk menegakkan Agama Allah dan
membela tanah air. Landasan ini sesuai dengan hadist:
“
..... Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari
seorang sahabat wanita yang mengatakan: “Kami pergi berperang bersama
Rasul Allah, di mana antara lain tugas kami menyediakan makan dan minum
bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang syahid ke
Madinah‘.” (Al Hadist riwayat Bukhari)
“
..... Seorang sahabat wanita lain berkata: ‘ Kami ikut perang bersama
Rasul Allah sampai tujuh kali, di mana kami merawat prajurityang luka,
menyediakan makanan dan minuman bagi mereka‘.” (Al Hadist riwayat
Bukhari) (A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu, 1977: 23.
Dasar
inilah yang melandasi tekad juang Cut Nyak Dhien dan wanita Aceh
lainnya untuk turut serta dalam Perang Aceh yang mereka anggap sebagai
jihad.
Di
Perang Aceh inilah, kemampuan wanita Aceh tidak kalah jika
dibandingkan dengan kaum pria. Kemampuan wanita untuk memimpin,
menyusun taktik, hingga turut serta ke medan perang, telah dibuktikan
dengan sejumlah prestasi gemilang. Cut Nyak Dhien sendiri juga
membuktikan hal ini dengan naik sebagai pemimpin perlawanan sepeninggal
suami keduanya, Teuku Umar yang dinikahi pada 1878 (Petrik Matanasi
(ed.), 2008: 25).
Gambaran
heroisme wanita Aceh dalam Perang Aceh sempat dituliskan oleh seorang
Eropa bernama H.C. Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat
dengan detail bagaimana wanita Aceh tetap bertindak sebagai pihak yang
tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sebagaimana kaum lelaki yang
mengangkat senjata, wanita Aceh juga berperang dengan jiwa dan raganya.
Zentgraaff menuliskan bahwa:
“Wanita-wanita
Aceh yang gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah dari dendam
kesumat yang paling pahit ... perwujudan jasmaniah watak yang tak kenal
menyerah yang setinggi-tingginya, dan apabila mereka ikut bertempur,
maka dilakukannya dengan energi serta semangat berani mati, yang
kebanyakan lebih dari kaum lelakinya. Wanita Aceh adalah pemikul beban
dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan
maut sekalipun, dia masih berani meludahi muka si Kaphe (Sebutan kafir atau kafeer dalam Bahasa Aceh). Tidak seorang pengarang cerita roman
pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang berkhayal
setinggi apapun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang
sungguh-sungguh terjadi” (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 74).
Pernyataan
Zentgraaff juga dibuktikan oleh Dhien. Dirinya tidak rela menyerah
meski penyakit encok mendera tubuhnya dan matanya nyaris buta. Di akhir
petualangan Dhien dalam melakukan perlawanan, dia sempat mencabut rencong sebagai tanda pantang menyerah.
Heroisme
yang ditunjukkan oleh Dhien juga ditulis oleh Zentgraaff. Dia kembali
menulis tentang perlawanan Dhien sebagai salah satu anak bangsa Aceh.
Menurut Zentgraaff:
“
..... Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta
fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh; dan kaum wanita Aceh,
melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak
gentar mati. Bahkan merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah
dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan cita-cita bangsa
dan agama mereka” (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95)
Inilah
frame Zentgraaff untuk memaknai arti wanita Aceh. Kesimpulan dari
analisis Zentgraaff terpolarisasi dengan penyebutan para wanita Aceh
sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan “grandes dames” (wanita-wanita besar).
b. Perjuangan Cut Nyak Dhien
Pecahnya Perang Aceh merupakan akibat dari buntunya proses diplomasi antara Sultan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niuwenhuijzen. Belanda
akhirnya mengirimkan surat “pernyataan perang” kepada Kerajaan Aceh
Darussalam tertanggal 26 Maret 1873. Surat ini sampai kepada Sultan
Aceh pada 1 April 1873.
Isi
surat pada intinya adalah pernyataan Pemerintah Hindia Belanda yang
berkewajiban untuk memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan
pelayaran di Kepulauan Hindia Timur. Niuwenhuijzen berdalih bahwa
pemberitahuan kepada Sultan Aceh telah disampaikan pada 22 dan 24 Maret
1873. Tapi Belanda mengklaim bahwa pemberitahuan ini tidak mendapat
respon dari pihak Sultan Aceh.
Belanda
mengambil kesimpulan bahwa Sultan Aceh menantang Pemerintah Hindia
Belanda. Atas dasar sikap ini pula, Belanda menuduh Sultan Aceh telah
melanggar perjanjian yang mengikat antara Kerajaan Aceh dengan pihak
Gubernemen Hindia Belanda pada 30 Maret 1857, tentang perniagaan,
perdamaian, dan persahabatan. Belanda akhirnya memaklumatkan
“pernyataan perang” terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.
Perang
terjadi tepat ketika Mayor Jenderal Kohler memimpin ekspedisi pertama
untuk menaklukkan Aceh pada 5 April 1873. Pasukan Kohler ini
berkekuatan 168 perwira dan 3.800 serdadu Belanda sewaan (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 33). Masuknya
Pasukan Kohler membuat rakyat Aceh bersiap menghadapi perang, termasuk
Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertama dari Cut Nyak Dhien. Beliau
merupakan tokoh pejuang di daerah Mukim VI.
Bersama
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah, Teuku Ibrahim Lamnga bertekad
mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh dari serbuan Belanda. Aktifnya
Teuku Ibrahim Lamnga ke garis depan membuat suami-istri ini harus
berpisah. Di sinilah perjuangan Cut Nyak Dhien
yang pertama dimulai. Fungsi perlawanan bagi Dhien adalah memberikan
semangat juang pada sang suami kala pulang. Kondisi inilah yang menempa
jiwa-raga Cut Nyak Dhien. Sebuah kondisi yang akan terus dijalani di
sisa waktunya.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya. Melihat aksi brutal ini, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkata:
“Hai
sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri
dengan matamu masjid kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu
beribadah dibakarnya! Nama Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita
melupakan budi si kaphe yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Petrik Matanasi (ed), 2008: 25)
Masjid Agung yang Dibangun dengan Biaya Besar. Masjid ini Kemudian Dibakar Belanda Saat Perang Aceh
Pembakaran
Masjid Raya Baiturrahman ternyata harus dibayar mahal oleh Kohler.
Pada ekspedisi pertama ini, Kohler tewas. Dia tertembak pada 15 April
1873. (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda,
1977: 33). Jenasah Kohler sempat dilarikan ke Kapal “Citadel van
Antwerpen”. Tewasnya Kohler berarti menandakan berakhirnya ekspedisi
pertama Belanda ke Aceh.
Gagalnya
ekspedisi pertama membuat Belanda semakin penasaran dengan Aceh.
Akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon, mengangkat Letnan
Jenderal J. van Swieten menjadi Panglima Agresi kedua tentara Belanda
merangkap Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh (Mohammad Said, 1961:
435-436). Atas pengangkatan ini, pada 6 November 1873 berangkatlah
Letnan Jenderal J. van Swieten ke Aceh. Ekspedisi kedua ini berkekuatan
60 kapal perang yang dilengkapi dengan 206 meriam, 22 mortir, 389
perwira, 7.888 serdadu biasa, 32 perwira dokter, 3.565 orang hukuman
laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan,
pastor, guru agama, kaki-tangan Belanda seperti Sidi Tahil, Datok Setia
Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw,
Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab,
Ameran, Malela, dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore. (Mohammad
Said, 1961: 437-439)
Pada
28 November 1873 ekspedisi kedua di bawah Swieten mendarat di
pelabuhan Aceh. Setelah mendarat, daerah demi daerah berhasil dikuasai
Belanda, seperti Pantai Kuala Lue pada 9 Desember 1873; Kuala Gigieng;
Kuala Aceh; Peunayong; Gampong Jawa; hingga Istana Kerajaan dan Ibukota
Negara Banda Aceh. (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 37)
Dalam ekspedisi kedua inilah suami pertama Cut Nyak
Dhien, Teungku Ibrahim Lamnga syahid di Sela Glee Tarum pada 29 Juni
1878. Mengatahui suaminya syahid, Cut Nyak Dhien bersumpah untuk
bertaruh nyawa, berperang melawan Belanda. Dhien juga bersumpah tidak
akan menikah kecuali dengan pria yang bisa memberikan keleluasaan
baginya untuk turut berjuang.
Lelaki
itu akhirnya datang juga. Namanya Teuku Umar. Putra dari Teuku
Muhammad . Awalnya Cut Nyak Dhien menolak menerima lamaran dari Teuku
Umar. Tapi kemudian Cut Nyak Dhien menerima setelah Teuku Umar sanggup
untuk mengijinkan Cut Nyak Dhien ikut serta dalam berjihad.
Pernikahanpun akhirnya dilangsungkan pada 1987.
Dwi
tunggal ini kemudian bahu membahu berjihad melawan Belanda. Bersama
Teuku Umar, Dhien melancarkan aksi di Krueng. Tidak hanya di Krueng,
dwi tunggal ini juga sukses membebaskan daerah-daerah yang semula
dikuasai Belanda. Bagi Teuku Umar, Cut Nyak Dhienlah inspirator bagi
keberhasilan jihadnya selama ini. Anggapan ini turut pula dikuatkan
oleh Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah “otak” dari
Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh.
(Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26)
Suatu
ketika Cut Nyak Dhien dan laskarnya bermukim di daerah Montasik. Tapi
malang, kepada Mukim di daerah ini menyerah pada Belanda. Akibat dari
penyerahan ini, Cut Nyak Dhien harus berpindah tempat. Pada saat
inilah, Cut Nyak Dhien melahirkan putri hasil pernikahannya dengan
Teuku Umar. Nama bayi itu Cut Gambang. Meski sedang dalam keadaan hamil
tua dan kemudian melahirkan, Dhien tetap berjuang bagi bangsanya.
Sedang Teuku Umar seringkali harus berpisah dari istri tercinta.
Perpisahan
yang kedua harus dialami Cut Nyak Dhien. Kali ini menimpa pada Teuku
Umar, suami keduanya. Dalam suatu serangan di Meulaboh pada 11 Februari
1899, Teuku Umar tertembak Belanda. Dengan sabar, tawakal, serta
tabah, Cut Nyak Dhien menerima kabar buruk ini. Bahkan dihadapan putri
semata wayangnya, Cut Nyak Dhien memberikan pesan: “Wanita Aceh pantang
meneteskan air mata untuk seseorang yang mati syahid.” (Ungkapan ini
bisa dilihat dalam dialog Film “Tjoet Nja‘ Dhien”: 1988)
Sepeninggal
Teuku Umar, Cut Nyak Dhien tetap melanjutkan perang. Dhien memimpin
perang di sektor pertahanan Aceh Besar dan Aceh Barat. Dhien lebih
memilih berperang daripada menyerah kepada Belanda, meski keadaannya
sangat memprihatinkan. Pada awalnya laskar yang dipimpin Cut Nyak Dhien
masih cukup banyak. Tapi lama kelamaan, jumlah ini menyusut juga.
Ditambah kondisi alam, persediaan makanan, dan kesehatan Dhien yang
terus memburuk.
Dhien
menjadi kelihatan bertambah tua melebihi umur sebenarnya. Dia tetap
bertahan dengan tabah dan tidak henti-hentinya mengobarkan semangat
Prang Sabi pada para pengikutnya. Iman kuat menjadi pertaruhan besar
dalam situasi yang sekarang mereka hadapi. Hanya ada dua pilihan,
takluk pada Belanda dan mendapat kemewahan atau tetap menderita demi
Aceh yang merdeka.
Meski
semangat dalam tubuh Dhien tetap menyala, tapi fisik Dhien tidak bisa
menipu. Lambat laun fisik wanita tua ini sampai batasnya. Dhien
menderita rabun yang mengarah pada kebutaan. Tubuhnya juga mulai
terkena penyakit encok yang parah. Saat itu usianya sudah kepala lima.
Dhien
juga sering menderita kelaparan di dalam hutan, sementara patroli
Belanda tidak henti-hentinya terus mengejar tempat persembunyian Dhien.
Pernah suatu kali selama berminggu-minggu Dhien dan laskarnya tidak
menjumpai nasi sebagai makanan pokok dan harus makan bonggol pisang
hutan yang direbus. (Zentgraaff, 1982/1983: 97)
Cut Nyak Dhien dan Pengikutnya
Melihat
keadaan Cut Nyak Dhien yang semakin parah, tangan kanan Cut Nyak Dhien
bernama Pang Laot menawarkan pada Dhien untuk menyerah. Sebenarnya
tawaran Pang Laot ini semata-mata adalah sikap tidak tega melihat
pemimpinnya harus mengalami penderitaan tersebut. Padahal sebenarnya
Dhien adalah keturunan bangsawan terpandang. Tapi saran Pang Laot
ditolak oleh Dhien. Meski demikian, tanpa sepengetahuan Dhien, Pang
Laot menyusun siasat untuk membocorkan tempat persembuyian Cut Nyak
Dhien kepada Belanda.
Pang
Laot akhirnya menemui Veltman, seorang pemimpin pasukan Belanda. Kedua
belah kubu ini kemudian dijalin suatu perundingan utuk menyerahkan Cut
Nyak Dhien. Pang Laot bersedia menyerahkan Dhien dengan syarat, Cut
Nyak Dhien tidak mendapat hukuman pengasingan setelah ditangkap
nantinya. Dhien tidak boleh keluar dari Tanah Rencong. Syarat kedua,
Dhien harus diperlakukan secara baik-baik, sebagaimana layaknya orang
terhormat. Penyakitnya harus diobati. Veltman setuju dengan syarat ini.
Van Daalen dengan Veltman yang Berada di Sebelah Kirinya
Atas
petunjuk Pang Laot dibawalah pasukan Belanda yang dipimpin Letnan van
Vureen ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Di tengah hujan lebat,
tempat persembunyian Dhien di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat
dikepung pasukan Belanda. Meski nyaris tidak bisa berjalan dan mata
yang nyaris buta, Dhien tetap melakukan perlawanan terakhir dengan
menghunus rencong menantang pasukan Belanda. Tapi usaha ini tidak
berarti banyak. Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.
Meski
tertangkap, Belanda secara sadar telah mengakui bahwa Dhien wanita
luar biasa. Meski tenaga Dhien telah banyak berkurang tapi daya
juangnya sangat luar biasa hingga lanjut usia. Bahkan Belanda mengakui
bahwa sebenarnya selama ini di Negeri Belanda sendiri belum pernah
mempunyai seorangpun pejuang pahlawan wanita yang hebat seperti Cut
Nyak Dhien.
Di
Banda Aceh Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan terhormat. Penyakitnya
disembuhkan, dan boleh menerima tamu. Ternyata animo rakyat Aceh sangat
besar melihat pemimpin mereka ada di Banda Aceh. Beramai-ramai orang
Aceh datang menjenguk Dhien. Penguasa setempat menjadi khawatir benih
perlawanan kembali bersemi.
Timbullah
sebuah keputusan untuk mencabut Dhien dari “akar perjuangan” dan
hukuman pengasingan dikenakan pada Dhien. Belanda mengingkari janji.
Atas keputusan Gubernur Jenderal van Daalen, Dhien diasingkan ke
Sumedang, Jawa Barat. Di tempat ini Belanda menutup identitas Dhien,
sehingga masyarakat sekitar tidak tahu jika yang diasingkan di Sumedang
ini adalah pemimpin perjuangan dari Aceh. Dhien dikenal sebagai Ibu
Perbu (Ibu Ratu).
Di
Sumedang Dhien tetap berjuang dalam bidang agama. Dia mengajari
anak-anak Sumedang belajar mengaji. Dhien sangat hafal Al-Qur‘an dan
dari hafalan inilah Dhien mengajarkan ajaran agama. Meski matanya
nyaris buta tapi semangatnya tidak pernah pupus. Dhien tetap berkarya
demi bangsanya. Dia adalah pelita.
Akhirnya srikandi Aceh ini harus pasrah pada nasibnya. Dhien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. (Perempuan Aceh Berhati Baja, www.tokohindonesia.com)
Makam Cut Nyak Dhien
3. Karya
Cut
Nyak Dhien merupakan sosok wanita yang sanggup memimpin sebuah laskar
perang. Dia sanggup mengemban tugas yang ditinggalkan sang suami, Teuku
Umar. Dhien juga sosok yang berpengaruh kuat atas sepakterjang Teuku
Umar. Seperti dikatakan Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien
adalah “otak” dari Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer
Belanda di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26).
Sosok
Dhien hingga kini dijadikan cerminan bagi wanita, terutama Aceh. Sosok
wanita Aceh yang dulu sangat dihormati dan dikagumi oleh Zentgraaff,
dibuktikan dengan sempurna oleh Dhien sampai akhir hanyatnya.
4. Penghargaan
Perangko Cut Nyak Dhien
Rumah Cut Nyak Dhien
Uang Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964.
Nama Cut Nyak Dien diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang
Angkatan Laut Indonesia, KRI Cut Nyak Dhien. Mata uang rupiah yang
bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat
gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien. Prangko
Seri Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien diterbitkan dalam rangka
mengenang 100 tahun meninggalnya pejuang wanita Aceh yang gagah berani
tersebut pada 6 November 1908. Nama Cut Nyak Dhien juga diabadikan
sebagai bandar udara di Nagan Raya,
Nanggroe Aceh Darussalam dengan nama Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan
Raya. Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang dipugar pada 1981 dan
ditetapkan sebagai bangunan bersejarah. Selain itu rumah tempat Cut
Nyak Dhien diasingkan di Desa Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan
Sumedang, Jawa Barat, kini dijadikan museum. (www.kompas.com,
7 November 2008). Sebuah masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya
untuk mengenangnya. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di
berbagai kota di Indonesia.
(Tunggul Tauladan/tkh/01/06-2009)
Referensi
Buku
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
H.C. Zentgraaff, Aceh,
(a.b.) Firdaus Burhan, Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982/1983.
Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad, Medan: 1961.
Petrik Matanasi (ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008
Sardono W. Kusumo (ed.), Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press bekerjasama dengan KataKita, 2005
Artikel
- ....., “Perempuan Aceh Berhati Baja,” tersedia di www.tokohindonesia.com, diakses pada 1 Juni 2009
- ….., “Ahli Waris Rela Rumah Pengasingan Cut Nyak Dhien Jadi Museum,” tersedia di www.kompas.com, 7 November 2008, diakses pada 1 juni 2009
- Liza Fathiariani & Asrizal Luthfi, “Menanti Cut Nyak Dhien Baru,” tersedia di www.id.acehinstitute.org, diakses pada 1 Juni 2009
Film
- Judul : Tjoet Nja‘ Dhien
- Sutradara : Eros Djarot
- Pemeran : Christie Hakim sebagai Tjoet Nja‘ Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar, Rudy Wowor sebagai Veltman
- Produksi : 1988
Sumber Foto:
- www.acehforum.or.id
- www.acehforum.or.id
- www.dyhary.wordpress.com
- www.rumahjihan.blogspot.com
- www.foto-foto.com
0 komentar:
Post a Comment