Penulis :
SEPUHUN kayu daunnya rimbun, lebat bunganya serta buahnya, walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanya, walaupun hidup seribu tahun kalau tak sembahyang apa guuunanya, _ cek kecrek_. cek kecrek.
Itulah sebait lagu yang biasa dinyanyikan seorang pengamen kecil, sebut saja AB yang biasa beroperasi di Bis Damri jurusan Bandung-Jatinangor. AB hanyalah satu dari ribuan anak jalanan yang menjadi pengamen di Indonesia. Masih banyak rekan-rekan AB yang menggantungkan hidupnya di jalanan. Mungkin AB "lebih beruntung" dibandingkan sebagian anak lain yang menjadi pekerja seks.
Sejak krisis ekonomi tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen. Menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 jumlah anak terlantar usia 5 -18 tahun sebanyak 3.488.309 anak di 30 provinsi. Sedangkan balita yang telantar berjumlah 1.178.82, dan anak jalanan tercatat ada 94.674 anak. Anak nakal 193.155. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus sekitar 6.686.936 anak, dan yang potensial telantar sebanyak 10.322.674 anak. Yang lebih dahsyat lagi, sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Jelas anak-anak yang berada dalam lingkungan seperti ini sangat rawan tindak kekerasan, pengabaian, dan eksploitasi. Bila hal ini terus dibiarkan, maka akibatnya akan sangat fatal, yaitu hilangnya generasi beradab di Indonesia. Masa depan bangsa kita dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun.
DATA-data di atas hanyalah fenomena secara fisik (child abuse). Menurut Prof Sartono Mukaddis ada eksploitasi lain yang tidak kalah bahayanya, yaitu eksploitasi dan pengabaian secara psikologi. Eksploitasi dan pengabaian ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Bentuknya bisa pemakaian labeling atau pencitraan buruk, memarahi anak dengan kata-kata yang tidak pantas, bisa pula memperlakukan anak sebagai unwanted child (anak yang tidak diinginkan kelahirannya) dengan menitipkannya di panti asuhan.
Bila melihat corak child abuse yang bersifat psikologis ini, maka yang terkena tidak hanya anak dari keluarga miskin, tapi juga anak-anak dari keluarga berada. Jadi jumlahnya akan berlipat-lipat dari data yang diungkapkan oleh BPS.
HAL yang paling membahayakan bagi anak yang mengalami eksploitasi--baik secara fisik maupun psikologi--adalah hilangnya hak mereka untuk mengenal Tuhannya. Mengenal Tuhan adalah kebutuhan yang paling asasi bagi seorang anak dan manusia umumnya. Tanpa mengenal Tuhan, manusia akan kehilangan pegangan di masa depan. Apa jadinya kalau orang tidak tahu siapa Tuhannya. Kalau ia pintar, maka pintarnya akan keblinger. Kalau ia berkuasa, maka ia akan menjadi penguasa yang korup lagi zalim. Kalau ia berwajah menawan, maka wajahnya akan dipakai untuk mengelincirkan orang. Begitu pula kalau ia miskin, maka kemiskinannya akan mendekatkannya pada kekufuran.
Seseorang yang mengenal Tuhannya akan mampu merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indranya. Yang lebih penting, ia akan memiliki kontrol dari dalam yang akan mengendalikan setiap prilakunya.
Oleh karena itu, fungsi keluarga sebagai madrasah bagi anak harus benar-benar difungsikan kembali. Setiap orang, terutama yang telah berkeluarga harus mampu menjadikan rumah tangganya sebagai tempat curahan cinta dan kasih sayang. Seperti kata Rasulullah, "Rumahku Syurgaku". Dari keluarga semacam inilah akan lahir anak-anak yang tercerahkan lahir dan batinnya. Semakin banyak orangtua yang sadar akan hal ini, maka fenomena anak yang ditelantarkan fisik dan jiwanya akan berkurang. Tentunya dukungan pemerintah pun menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Wallahu a'lam (Ems)
0 komentar:
Post a Comment