Ciri
utama masyarakat majemuk adalah terdiri atas ragam budaya dan suku
serta dibatasi oleh adat-istiadat setempat/lokal. Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, agama, dan
budaya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tergolong ke dalam plural
societies atau masyarakat majemuk.
Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia relatif sangat
sensitif dalam menyikapi suatu persoalan, sebab mereka diharuskan untuk
saling menjaga dan membina stabilitas sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
Aceh merupakan salah satu propinsi dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang juga memiliki pluralitas budaya dan multi etnik.
Kendati suku bangsa Aceh tergolong ke dalam etnik atau ras Melayu,
tidak berarti bahwa masyarakat Aceh memiliki budaya yang homogen.
Bahkan, bentuk fisik orang Aceh pun berbeda-beda sesuai dengan asal
daerahnya.
Kebanyakan orang Aceh memiliki bentuk muka yang mirip dengan orang
Arab dan India. Ada juga yang mirip dengan orang Cina dan Eropa. Semua
itu tidak terlepas dari adanya interaksi sosial dan kontak budaya
masyarakat Aceh dengan masyarakat internasional —terutama dengan India,
Timur Tengah, dan Cina— sejak berabad-abad yang silam. Barangkali faktor
inilah yang mendorong sebagian orang menyatakan bahwa nama Aceh adalah
sebuah akronim yang merupakan singkatan dari Arab, Cina/Campa, Eropa,
dan Hindia.
Pluralitas budaya dan kemultietnikan masyarakat Aceh nyata terlihat
dari keberagaman adat-istiadat dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat
yang mendiami propinsi ini. Mungkin disebabkan oleh keberagaman
tersebut dan juga dipengaruhi oleh sejarah kedaulatan Aceh di bawah
Kerajaan Aceh Darussalam, sebagian orang Aceh menyatakan bahwa Aceh
merupakan sebuah bangsa, bukan sebuah suku. Realitanya, di Aceh memang
terdapat beberapa etnik, diantaranya: etnik Aceh, Aneuk Jame, Gayo,
Tamiang, Alas, Kluet, Devayan, Sigulai, dan Singkil.
Asal Mula Etnik Tamiang
Alkisah, di Persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri,
berdiri sebuah kerajaan yang merupakan taklukan dari Kerajaan Pasai.
Salah seorang raja yang memerintah kerajaan tersebut bernama Raja Muda
Sedia (1330-1352). Raja ini memiliki tanda hitam (Aceh: itam) di bagian
pipinya (Aceh: mieng), sehingga orang-orang Pasai menjulukinya “si Itam
Mieng”. Lama-kelamaan sebutan itu berubah menjadi tamieng atau tamiang.
Cerita
yang lain menyebutkan bahwa nama Tamiang berasal dari dongeng Pucuk
Suluh dan Rumpun Bambu. Berdasarkan dongeng tersebut dapat diketahui
bahwa raja pertama masyarakat Tamiang bernama Raja Pucuk Suluh. Raja ini
memerintah Kerajaan Batu Karang yang terletak di kawasan Simpang Kanan.
Sebelum menjadi kerajaan besar dan bernama Batu Karang, kerajaan ini
bernama Kerajaan Aru atau Sarang Djaja dan merupakan sebuah kerajaan
kecil.
Menurut catatan sejarah, etnik Tamiang merupakan etnik melayu
pendatang (imigran) di Aceh. Sebelumnya, Aceh telah dihuni oleh imigran
melayu yang lain yang tinggal di daerah pesisir. Mereka adalah etnik
Gayo dan etnik Mante di Aceh Besar. Kedua etnik ini enggan menerima
pembaruan yang dibawa oleh imigran baru (etnik Tamiang) sehingga mereka
lebih memilih bertempat tinggal di daerah pedalaman. Adapun etnik
Tamiang pada mula kedatangan mereka ke Aceh bermukim di Kuala Simpang,
sebuah kota yang berbatasan dengan Selat Malaka. Etnik melayu ini
berasal dari Kerajaan Sriwijaya, sehingga mereka sangat identik dengan
Melayu Riau dan Melayu Malaysia.
Seiring dengan memudarnya kejayaan Sriwijaya, mereka meninggalkan
negeri asalnya dan berlayar ke Sumatera bagian barat sampai akhirnya
berlabuh dan bermukim di Kuala Simpang. Kendati sebagai pendatang baru
di Aceh, orang-orang Tamiang dapat berinteraksi dan berbaur dengan etnik
Aceh secara mudah dan cepat. Ini disebabkan oleh kelembutan budi dan
keramahan sikap mereka terhadap penduduk setempat.
Integrasi Tamiang dengan Aceh
Secara gradual, etnik Tamiang kian bertambah banyak dan mulai
menyebar ke daerah lain di luar Kuala Simpang. Mereka kemudian
mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tamiang. Tata
pemerintahannya didasarkan atas adat empat suku atau empat kaum.
Masing-masing kaum dipimpin oleh seorang datuk. Dalam perkembangannya
kemudian, Kerajaan Tamiang membangun hubungan diplomatik dengan berbagai
kerajaan lain, diantaranya dengan Kaisar Tiongkok pada masa Dinasti
Ming abad XIV masehi.
Pada
tahun 1511, kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Pantai Barat dan Timur
Aceh —termasuk Kerajaan Tamiang— diintegrasikan menjadi satu
kerajaan besar, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam, beribukota di Banda Aceh
Darussalam dengan rajanya Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. Integrasi
kerajaan-kerajaan ini semula dimaksudkan sebagai upaya menyatukan
kekuatan dalam rangka melawan Portugis yang hendak menyerang Aceh dalam
usaha mereka menguasai Malaka. Sejak saat itu, masyarakat Tamiang
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh.
Sekitar 2,5 abad setelah Kerajaan Tamiang berintegrasi ke dalam
Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah Kerajaan Tamiang mulai terbagi-bagi
menjadi lima kerajaan kecil, yaitu Sungai Iyu, Bendahara, Sutan Muda
Seruway, Karang Baru, dan Kejuruan Muda. Perpecahan ini bukan sebagai
akibat dari integrasi tersebut, melainkan disebabkan oleh politik devide
et impera yang dikembangkan kolonial Belanda ketika menduduki Aceh.
Sebagai bagian dari Kerajaan Aceh, Kerajaan Tamiang pun turut
merasakan dampak buruk dari pendudukan Belanda di Aceh. Akan tetapi,
sungguhpun Kerajaan Tamiang telah terbagi-bagi, tata pemerintahan
masing-masing kerajaan tetap berpegang teguh pada adat empat suku.
Bahkan sampai masa pendudukan Belanda berakhir, di wilayah Tamiang masih
terdapat pecahan lima kerajaan tersebut.
Di zaman Indonesia merdeka, wilayah Kerajaan Tamiang tempo doeloe
telah dirubah statusnya oleh Pemerintah Indonesia menjadi Kecamatan
Tamiang dan berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur. Akan tetapi,
sejak tiga tahun terakhir, Pemerintah RI telah meningkatkan status
Kecamatan Tamiang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dan berada dalam
wilayah Propinsi NAD. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 4 Tahun
2002. Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari delapan kecamatan, lima
diantaranya merupakan bekas ibukota kerajaan dahulu, yaitu Kecamatan
Bendahara, Seruway, Karang Baru, Kejuruan Muda, dan Kota Kuala Simpang.
Tiga kecamatan yang lain adalah Rantau, Tamiang Hulu, dan Manyak Payed.
Penduduk dan Bahasa
Dilihat dari bentuk fisik dan kebudayaan mereka, etnik Tamiang lebih
didominasi oleh unsur Melayu daripada Aceh. Adapun bahasa yang mereka
gunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Tamiang. Bahasa ini
memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Melayu yang dipergunakan oleh
masyarakat Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Palembang, dan Melayu
Malaysia.
Terkait dengan bahasa tulisan, masyarakat Tamiang tidak berbeda
dengan masyarakat etnis lain yang mendiami Propinsi Aceh, yaitu
menggunakan huruf Arab-Melayu. Tulisan ini dikenal setelah agama Islam
datang ke Aceh. Akan tetapi, secara gradual tulisan ini mulai
ditinggalkan, tidak hanya di Tamiang tetapi juga di seluruh wilayah
Aceh. Ini disebabkan oleh dominannya pemakaian huruf latin, baik dalam
pengajaran di sekolah-sekolah maupun dalam berbagai penulisan di
kalangan pemerintahan dan masyarakat.
Dengan demikian, etnik Tamiang telah ikut serta memperkaya khasanah
kebudayaan Aceh yang memang sangat heterogen. Karena itu, agar
heterogenitas budaya ini tidak menimbulkan konflik antar etnis, maka
setiap individu dari masing-masing etnis tidak memposisikan etnis dan
kebudayaannya secara eksklusif bak menara gading. Sebab, kebudayaan
tidak mengenal dikotomi superior dan inferior etnis. Sejatinya,
perbedaan etnis dan budaya tidaklah digunakan sebagai pemicu konflik
antar etnis, tetapi dimaknai sebagai kekuatan pendorong kemajuan
peradaban bangsa.
0 komentar:
Post a Comment