Setiap tahunnya, dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan
(puasa) di masyarakat Aceh ada satu tradisi yang disebut dengan meugang atau mak meugang. Pada umumnya, meungang dilakukan satu hari atau ada daerah dua hari sebelum puasa dimulai. Hari-hari tersebut di Aceh disebut dengan sebutan Uroe Meugang atau Uroe Mak Meugang.
Tradisi Meugang sudah dilakukan secara turun-temurun sejak berabad-abad lamanya yang meskipun banyak yang tidak tidak tahu dari mana asal usulnya. Tetapi juga perlu diketahui bahwa tradisi meugang ini juga dilakukan pada saat menjelang hari raya Idul fitri dan Idul Adha di Aceh. Namun yang paling sangat terasa istimewa, meugang saat menyambut bulan puasa. Hal ini mungkin karena uroe meugang saat menyambut bulan puasa menjadi waktu transisi antara hari-hari biasa yang tidak ada kewajiban berpuasa dengan hari-hari yang diwajibkan berpuasa bagi orang-orang muslim.
Tradisi uroe meugang itu memang beda dengan hari-hari biasa dimana setiap keluarga pasti menu utama di rumahnya adalah masakan daging. Apakah daging kerbau atau daging sapi. Jadi, ada anggapan, bila tidak masak daging pada saat uroe meugang maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang.
Bahkan membeli daging meugang di saat meugang puasa lebih banyak sebab bukan hanya disantap saat meugang saja tetapi juga terkadang di awetkan untuk persediaan dalam puasa. Pengawetan itu bisa dilakukan dengan pengeringan sehingga dikenal dengan sie tho (daging kering) atau ada juga (umumnya orang Aceh Besar) direbus menggunakan bumbu khusus sehingga disebut sebagai sie reuboh (daging rebus) yang rasanya agak-agak asam. Kedua jenis daging ini biasanya digunakan sebagai menu saat sahur pada malam-malam ramadhan. Dan dapat bertahan beberapa hari.
Oleh karena itu, pada setiap meugang tiba maka banyak orang menyembelih sapi atau kerbau untuk dijual. Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya sangat melambung tinggi. Berkaitan dengan ini, ada pemandangan yang unik hampir seluruh pelosok Aceh, yaitu munculnya tempat-tempat penjualan daging yang berderet memanjang.
Tradisi Meugang sudah dilakukan secara turun-temurun sejak berabad-abad lamanya yang meskipun banyak yang tidak tidak tahu dari mana asal usulnya. Tetapi juga perlu diketahui bahwa tradisi meugang ini juga dilakukan pada saat menjelang hari raya Idul fitri dan Idul Adha di Aceh. Namun yang paling sangat terasa istimewa, meugang saat menyambut bulan puasa. Hal ini mungkin karena uroe meugang saat menyambut bulan puasa menjadi waktu transisi antara hari-hari biasa yang tidak ada kewajiban berpuasa dengan hari-hari yang diwajibkan berpuasa bagi orang-orang muslim.
Tradisi uroe meugang itu memang beda dengan hari-hari biasa dimana setiap keluarga pasti menu utama di rumahnya adalah masakan daging. Apakah daging kerbau atau daging sapi. Jadi, ada anggapan, bila tidak masak daging pada saat uroe meugang maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang.
Bahkan membeli daging meugang di saat meugang puasa lebih banyak sebab bukan hanya disantap saat meugang saja tetapi juga terkadang di awetkan untuk persediaan dalam puasa. Pengawetan itu bisa dilakukan dengan pengeringan sehingga dikenal dengan sie tho (daging kering) atau ada juga (umumnya orang Aceh Besar) direbus menggunakan bumbu khusus sehingga disebut sebagai sie reuboh (daging rebus) yang rasanya agak-agak asam. Kedua jenis daging ini biasanya digunakan sebagai menu saat sahur pada malam-malam ramadhan. Dan dapat bertahan beberapa hari.
Oleh karena itu, pada setiap meugang tiba maka banyak orang menyembelih sapi atau kerbau untuk dijual. Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya sangat melambung tinggi. Berkaitan dengan ini, ada pemandangan yang unik hampir seluruh pelosok Aceh, yaitu munculnya tempat-tempat penjualan daging yang berderet memanjang.
Namun demikian, ada juga sekelompok masyarakat tidak membeli daging, tetapi mereka jauh-jauh hari membentuk kelompok tersendiri membeli sapi atau kerbau bersama-sama untuk disembelih pada saat meugang. Dan, bahkan orang-orang kantoran seperti PNS setiap menghadapi meungang, bila di kantor tidak menyembelih sapi dibagi kepada karyawannya terkadang diberi uang tambahan khusus untuk sie meugang (sie=daging) plus untuk bumbunya.
Namun ada hal lain kemudian meugang menjadi sangat penting dan memiliki nilai berharga dari traidisi meugang di Aceh adalah nilai silaturahim. Setiap datang uroe (hari) meugang itu hampir semua sanak keluarga berkumpul untuk menyantap makanan yang sudah dihidangkan. Bukan hanya keluarga dekat tetapi juga keluarga jauh juga hadir berkumpul. Atau bahkan ada yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Karena ini saat-saat berkumpul keluarga, maka orang-orang tua mengharapkan pada anak-anaknya agar disaat meugang tidak boleh ada yang marah-marah. Selain itu, meungang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim.
Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dapat dihilangkan begitu saja. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, meskipun dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini. Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh. Terutama gulai merah yang sangat mengugah selera.
Hanya saja bagi orang-orang Aceh di perantauan yang jauh dari kampung halamannya dan ini tak dapat dibantahkan bahwa di saat-saat meugang tiba pasti mereka memendam rindu yang sangat mendalam. Karena sebenarnya, meugang itu bukan hanya sekedar tradisi biasa. Tetapi di sana tersimpan banyak kenangan yang tidak akan mereka lupakan. Di sana ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ada ayah, ada adik, ada kakak semuanya hanyut dalam kebersamaan. Mereka selalu menunggu, musim meungang kapan mereka dapat kembali pulang.
Namun ada hal lain kemudian meugang menjadi sangat penting dan memiliki nilai berharga dari traidisi meugang di Aceh adalah nilai silaturahim. Setiap datang uroe (hari) meugang itu hampir semua sanak keluarga berkumpul untuk menyantap makanan yang sudah dihidangkan. Bukan hanya keluarga dekat tetapi juga keluarga jauh juga hadir berkumpul. Atau bahkan ada yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Karena ini saat-saat berkumpul keluarga, maka orang-orang tua mengharapkan pada anak-anaknya agar disaat meugang tidak boleh ada yang marah-marah. Selain itu, meungang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim.
Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dapat dihilangkan begitu saja. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, meskipun dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini. Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh. Terutama gulai merah yang sangat mengugah selera.
Hanya saja bagi orang-orang Aceh di perantauan yang jauh dari kampung halamannya dan ini tak dapat dibantahkan bahwa di saat-saat meugang tiba pasti mereka memendam rindu yang sangat mendalam. Karena sebenarnya, meugang itu bukan hanya sekedar tradisi biasa. Tetapi di sana tersimpan banyak kenangan yang tidak akan mereka lupakan. Di sana ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ada ayah, ada adik, ada kakak semuanya hanyut dalam kebersamaan. Mereka selalu menunggu, musim meungang kapan mereka dapat kembali pulang.
0 komentar:
Post a Comment