Banda Aceh - Jumlah spesies karang Aceh sebanding dengan jumlah jenis karang di kawasan Coral Triangle Initiative. Terumbu karang merupakan ekosistem khas laut tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Asia Tenggara. Pusat keanekaragaman (hotspot) terumbu karang tersebut kemudian diistilahkan dengan Coral Triangle (CT, Segitiga Terumbu Karang) yang meliputi kawasan perairan yang dibatasi oleh Filipina di bagian utara, Kep. Solomon di bagian timur dan Bali di bagian barat.
Foto: Ocean Diving ClubTerumbu karang yang terdapat di perairan Aceh |
Di dalam kawasan CT tercatat ada 605 spesies (jenis) karang, jumlah ini meliputi 76% spesies karang seluruh dunia. Tidak hanya paling kaya, terumbu karang di kawasan CT disinyalir juga paling terancam di seluruh dunia akibat aktivitas manusia seperti praktek perikanan yang merusak dan polusi.
Dr. Edi Rudi dan Nur Fadli, M.Sc, kedua merupakan ahli biologi dari Pusat Studi Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh menyampaikan hasil penelitiannya kepada The Globe Journal, Rabu (31/10) di Banda Aceh.
Lebih lanjut kedua menulis, diperlukan usaha perlindungan terhadap hotspot biodiversitas ini dalam skala yang besar. Coral Triangle Initiative (CTI) merupakan suatu usaha perlindungan yang ambisius sebagai sebuah proyek konservasi kolaboratif enam negara yang terlibat di dalamnya, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini Timor Leste dan Kep. Solomon. Ini tentunya kabar gembira bagi wilayah yang berada dalam kawasan CT. Lalu bagaimana dengan tempat-tempat yang tidak termasuk dalam CT, terutama yang ada di Indonesia? Dengan adanya perhatian yang lebih terfokus pada kawasan CT, tentu saja wilayah di luarnya menjadi terabaikan/terlewatkan. Padahal banyak sekali wilayah di luar CT yang tidak kalah menariknya. Sebagai contoh adalah perairan Aceh yang terletak di bagian utara
Pulau Sumatera
Dari sisi ilmiah, wilayah perairan laut Aceh sangatlah unik dan strategis karena posisinya perpaduan Samudera Hindia bagian timur, Laut Andaman dan Selat Malaka. Namun, akibat ketidakstabilan politik Aceh di masa lampau, taksonomis karang tidak pernah lagi datang ke sini semenjak zaman kolonial Belanda. Konsekuensinya adalah rendahnya pemahaman akan status taksonomi karang di wilayah ini.
Baru-baru ini sebuah penelitian dalam bentuk kolaborasi internasional telah dilakukan dengan melibatkan empat institusi yaitu Pusat Studi Kelautan dan Perikanan (PSKP) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (Dr. Edi Rudi dan Nur Fadli, M.Sc.), ARC Center of Excellence for Coral Reef Studies, James Cook University, Australia (Dr. Andrew H. Baird dan Dr. Andrew S. Hoey), Wildlife Conservation Society (Dr. Stuart J. Campbell) dan Flora & Fauna International (Dr. Matthew Linkie).
Sejumlah temuan menunjukkan adanya keunikan fauna karang di Pulau Weh Sabang, antara lain tergambar dari komposisi spesiesnya yang merupakan perpaduan spesies karang Indo-Pasifik, Samudera Hindia, dan spesies karang yang umum di perairan Indonesia. Total tercatat ada 133 spesies karang Scleractinia, termasuk di dalamnya tiga spesies berstatus catatan baru (new record) untuk kawasan ini dan lima spesies berpotensi kuat sebagai spesies baru (new species).
Perbandingan jumlah spesies karang Acropora yang terdapat dalam transek yang dibandingkan antar sembilan wilayah di luar dan di dalam kawasan CT menunjukkan Wilayah Aceh adalah tidak berbeda dengan lima wilayah di dalam kawasan CT (Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Halmahera dan Papua Nugini), dan sekaligus yang paling tinggi dibandingkan wilayah-wilayah di luar CT (Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Riau). Total 133 spesies karang yang diperoleh di perairan Pulau Weh juga mirip dengan yang terdapat di Halmahera (130 spesies) yang dikenal memiliki keanekaragaman karang tertinggi untuk kawasan CT.
Dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya, karang Scleractinia di Pulau Weh terlihat unik dan berbeda serta terlihat memiliki affinitas yang sangat kuat dengan Laut Andaman. Dengan keragaman spesies yang tinggi ditambah dengan tingginya proporsi spesies endemik (sekitar 5%) mengindikasikan wilayah ini memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Jika Pulau Weh dianggap sebagai representasi dari Laut Andaman, maka sebuah usaha yang mirip dengan CTI menjadi perlu untuk perlindungan terumbu karang di wilayah ini yang setidaknya akan melibatkan lima negara yaitu Indonesia, India, Malaysia, Thailand dan Myanmar.
Publikasi ini secara lengkap dimuat pada Jurnal Oryx, dapat diakses di ttp://journals.cambridge.org/ORX (online sejak Oktober 2012).
Dr. Edi Rudi dan Nur Fadli, M.Sc, kedua merupakan ahli biologi dari Pusat Studi Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh menyampaikan hasil penelitiannya kepada The Globe Journal, Rabu (31/10) di Banda Aceh.
Lebih lanjut kedua menulis, diperlukan usaha perlindungan terhadap hotspot biodiversitas ini dalam skala yang besar. Coral Triangle Initiative (CTI) merupakan suatu usaha perlindungan yang ambisius sebagai sebuah proyek konservasi kolaboratif enam negara yang terlibat di dalamnya, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini Timor Leste dan Kep. Solomon. Ini tentunya kabar gembira bagi wilayah yang berada dalam kawasan CT. Lalu bagaimana dengan tempat-tempat yang tidak termasuk dalam CT, terutama yang ada di Indonesia? Dengan adanya perhatian yang lebih terfokus pada kawasan CT, tentu saja wilayah di luarnya menjadi terabaikan/terlewatkan. Padahal banyak sekali wilayah di luar CT yang tidak kalah menariknya. Sebagai contoh adalah perairan Aceh yang terletak di bagian utara
Pulau Sumatera
Dari sisi ilmiah, wilayah perairan laut Aceh sangatlah unik dan strategis karena posisinya perpaduan Samudera Hindia bagian timur, Laut Andaman dan Selat Malaka. Namun, akibat ketidakstabilan politik Aceh di masa lampau, taksonomis karang tidak pernah lagi datang ke sini semenjak zaman kolonial Belanda. Konsekuensinya adalah rendahnya pemahaman akan status taksonomi karang di wilayah ini.
Baru-baru ini sebuah penelitian dalam bentuk kolaborasi internasional telah dilakukan dengan melibatkan empat institusi yaitu Pusat Studi Kelautan dan Perikanan (PSKP) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (Dr. Edi Rudi dan Nur Fadli, M.Sc.), ARC Center of Excellence for Coral Reef Studies, James Cook University, Australia (Dr. Andrew H. Baird dan Dr. Andrew S. Hoey), Wildlife Conservation Society (Dr. Stuart J. Campbell) dan Flora & Fauna International (Dr. Matthew Linkie).
Sejumlah temuan menunjukkan adanya keunikan fauna karang di Pulau Weh Sabang, antara lain tergambar dari komposisi spesiesnya yang merupakan perpaduan spesies karang Indo-Pasifik, Samudera Hindia, dan spesies karang yang umum di perairan Indonesia. Total tercatat ada 133 spesies karang Scleractinia, termasuk di dalamnya tiga spesies berstatus catatan baru (new record) untuk kawasan ini dan lima spesies berpotensi kuat sebagai spesies baru (new species).
Perbandingan jumlah spesies karang Acropora yang terdapat dalam transek yang dibandingkan antar sembilan wilayah di luar dan di dalam kawasan CT menunjukkan Wilayah Aceh adalah tidak berbeda dengan lima wilayah di dalam kawasan CT (Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Halmahera dan Papua Nugini), dan sekaligus yang paling tinggi dibandingkan wilayah-wilayah di luar CT (Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Riau). Total 133 spesies karang yang diperoleh di perairan Pulau Weh juga mirip dengan yang terdapat di Halmahera (130 spesies) yang dikenal memiliki keanekaragaman karang tertinggi untuk kawasan CT.
Dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya, karang Scleractinia di Pulau Weh terlihat unik dan berbeda serta terlihat memiliki affinitas yang sangat kuat dengan Laut Andaman. Dengan keragaman spesies yang tinggi ditambah dengan tingginya proporsi spesies endemik (sekitar 5%) mengindikasikan wilayah ini memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Jika Pulau Weh dianggap sebagai representasi dari Laut Andaman, maka sebuah usaha yang mirip dengan CTI menjadi perlu untuk perlindungan terumbu karang di wilayah ini yang setidaknya akan melibatkan lima negara yaitu Indonesia, India, Malaysia, Thailand dan Myanmar.
Publikasi ini secara lengkap dimuat pada Jurnal Oryx, dapat diakses di ttp://journals.cambridge.org/ORX (online sejak Oktober 2012).
0 komentar:
Post a Comment