Sejarah
Rumah Adat Tamiang
|
Kesultanan Benua Tamiang
merupakan kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan
Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan
masuknya Islam, proses perkembangannya, hingga mulai terbentuk
Kesultanan Benua Tamiang yang telah dipengaruhi oleh sistem politik yang
berasaskan Islam. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu masa awal
pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan
Benua Tamiang.
Tamiang
pada masa lalu pernah terpecah dua hingga menjadi dua kerajaan yakni
Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Tapi kedua kerajaan itu tetap
tunduk pada negeri Karang. Dalam buku Tamiang Dalam Lintas Sejarah yang
dikarang Ir Muntasir Wan Diman secara ringkas disebutkan bahwa Kerajaan
Tamiang dijadikan dua kerajaan otonom.
Pada masa pemerintahan Raja Proomsyah yang kimpoi dengan Puteri
Mayang Mengurai anak Raja Pendekar Sri Mengkuta tahun 1558 menjadi Raja
Islam kedelapan dengan pusat pemerintahan di Desa Menanggini.
Sementara itu Raja Po Geumpa Alamsyah yang kimpoi dengan Puteri
Seri Merun juga anak Raja Pendekar Sri Mengkuta memerintah di Negeri
Benua sebagai Raja Muda Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu.
Diuraikan Muntasir bahwa Kerajaan Karang muncul setelah Tan Mudin
Syari (Raja Islam Tamiang ke 10) wafat, lalu diganti kemanakannya yang
bergelar “Tan Kuala” (Raja Kejuruan Karang I) yaitu putera dari Raja
Kejuruan Tamiang Raja Nanjo (Banta Raja Tamiang). Raja Kejuruan Karang
Tan Kuala memerintah 1662 -1699 merupakan pengganti turunan Suloh.
Setelah Raja Tan Kuala meninggal dunia digantikan Raja Mercu yang
bergelar Raja Kejuruan Mercu yang merupakan Raja Kejuruan Karang II.
Pusat pemerintahan Raja Kejuruan Karang II di Pente Tinjo. Raja Kejuruan
Karang II berdaulat 1699 - 1753 berlangsung aman dan tenteram.
Penggantinya Raja Kejuruan Banta Muda Tan egia berdaulat 1753 -
1800 merupakan Kerajaan Karang III. Selanjutnya Raja Karang III diganti
Raja Sua yang bergelar Raja Kejuruan Sua (Raja Karang IV) memerintah
1800 - 1845 . Raja Sua diganti Raja Achmad Banta dengan gelar Raja Ben
Raja Tuanku di Karang sebagai Raja Kejuruan Karang V yang memerintah
1845 - 1896 .
Pada masa raja ini-lah terjadi peperangan Aceh dengan Belanda
1873-1908 dan melalui peperangan itu, Raja Kejuruan Karang V meninggal
dunia dalam tawanan Belanda.
Penggantinya adalah anak dia sendiri bernama Raja Muhammad
bergelar Raja Silang sebagai Raja Kejuruan Karang ke VI. Raja Silang
memerintah setelah lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901 - 1925.
Setelah Raja Silang meninggal dunia dimakamkan di belakang Masjid Desa
Tanjung Karang. Makamnya saat ini dari pantauan Serambi terawat bersih
dan sudah dipugar pihak Dinas Kebudayaan Provinsi NAD setahun lalu.
Pengganti Raja Silang adalah Tengku Muhammad Arifin sebagai Raja
Kejuruan Karang ke VII yang merupakan Raja Kejuruan Karang terakhir
memerintah tahun 1925 - 1946. Pada masa pemerintahan Tengku Muhammad
Arifin dia membangun Istana Karang yang saat ini dikuasai pihak
Pertamina Rantau karena sebelumnya keluarga Raja Kejuruan Karang telah
menjualnya kepada seorang pengusaha yang bernama Azis.Tapi sekitar tahun
1999 terjadi bencana alam menyemburnya gas panas akibat dari pengeboran
gas yang dilakukan pihak Pertamina.
Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada
Pertamina.Karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana
tersebut dikuasai Pertamina. Belakangan kabarnya istana itu telah
dihibahkan Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang. Karenanya sekarang
istana tersebut dijadikan Kantor Perpustakaan dan Arsip Pemkab Aceh
Tamiang sebagian dan sebagian lagi dijadikan Kantor Penghubung Kodim
0104 Aceh Timur. Sementara halaman istana tersebut saat ini selalu
dibuat acara seremonial keramaian masyarakat.Jika melewati Aceh Tamiang,
istana tersebut bisa dilihat karena letaknya persis sekitar 30 meter
dari jalan Negara Medan - Banda Aceh yang masuk wilayah Desa Tanjung
Karang Kecamatan Karang Baru.
Kini turunan Tengku Muhamad Arifin
salah seorangnya yang masih hidup adalah H Helmi Mahera Almoejahid
anggota DPD/MPR-RI yang berkantor di Gedung MPR-RI Jakarta. Ibundanya Hj
Tengku Mariani
adalah putri Tengku Muhammad Arifin Raja Kejuruan Karang VII. Tengku Hj
Mariani dipersunting sebagai isteri salah seorang pelaku sejarah Aceh
pada zaman DI/TII yang bernama Tgk H Amir Husin Almoejahid (kedua ibunda
dan ayahanda H Helmi Mahera Almoejahid ) telah meninggal dunia dan saat
ini H Helmi berdomisili di Istana Kecil Kerajaan Karang VII bersama
keluarga dan turunan Raja Kejuruan Karang.
Lintas sejarah mengenai Raja Karang berakhir sampai dengan Tengku
Muhammad Arifin yang menyisakan sebuah istana yang kini tak jelas siapa
pemiliknya. Sebab meskipun kabarnya sudah dihibahkan Pertamina, tapi
berita acara serah terimanya tidak ada di daftar kepemilikan asset
Pemkab Aceh Tamiang. Karena itu bukti sejarah tentang istana Raja Silang
harus segera ditelusuri pihak Pemkab Aceh Tamiang.
Kemudian lintasan Kerajaan Benua Tunu diceritakan dalam buku yang
sama di karang Ir Muntasir Wan Diman bahwa pada saat Raja Benua
dikuasai Raja Muda Po Gempa Alamsyah sebagai Raja Benua Tunu yang
pertama yang diberi gelar Raja Muda Negeri Sungai Kiri Benua Tunu I yang
memerintah 1558 - 1588. Setelah wafat Raja Muda Po Gempa Alamsyah
berturut-turut akhirnya hingga Raja Benua Tunu III yang dikenal Raja
Muda Po Perum sebagai Raje Benua Tunu terakhir yang berdaulat 1629 -
1669. Setelah Raja Benua Tunu III wafat, kekuasaan kembali dipegang Raja
Tan Kuala yang berarti Kerajaan Tamiang sudah tidak terpecah kembali.
Belakangan setelah Benua Tunu dikuasai Raja Tan Kuala sekitar
tahun 1669 datang-lah Raja Po Nita bersama rombongan yang menggugat
tentang silsilah bahwa beliau adalah keturunan Raja Muda Sedia (Raja
Islam Tamiang yang pertama) dengan bukti menunjukkan surat dan sislsilah
yang lengkap.Akibatnya terjadi perang saudara antara rakyat Tanjong
Karang dengan yang mengakui Raja Tan Kuala sebagai Raja Tamiang dan
rakyat di Benua Tunu mendukung Raja Penita ( Po Nita) sebagai Raja
Tamiang, sehingga perang saudara pecah dan banyak memakan korban jiwa.
Kelanjutan dari kekuasaan antara Raja Tan Kuala dengan Raja
Penita berakhir dengan campur tangannya Sultan Aceh yang pada saat itu
dipimpin seorang ratu yang bernama Ratu Kemalat Syah.Hasil dari
intervensi ratu tersebut diputuskan negeri Tamiang dipecah menjadi dua
daerah lagi. Raja Tan Kuala sebagai raja yang berkuasa di daerah Sungai
Simpang Kanan dan Raja Penita berkuasa di wilayah Sungai Simpang Kiri.
Banyak peristiwa lanjutan dari kedua kerajaan tersebut hingga masa penjajahan Belanda sampai merdeka. Belakangan Negeri Tamiang
menjadi bagian dari Wilayah Aceh Timur yang berstatus Pembantu Bupati
Wilayah III yang pusat pemerintahannya Kota Kuala Simpang.Selanjutnya 11
Maret 2002 Wilayah Tamiang disyahkan DPR-RI menjadi Kabupaten Aceh
Tamiang melalui UU NO 4 Tahun 2002 tentang pemekaran Kabupaten Aceh
Tamiang.
Masa Awal Pembentukan Tamiang
Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah,
seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri
Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut
"Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada
situs Tamiang.
Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja
di Negeri Tamiang bernama Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar
Serangjaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang
menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh
berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang
telah aman, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman,
yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat
pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan
raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat
(1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok
(1150-1190).
Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung,
maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja yang
menggantikan dirinya. Sejak saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai
oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai berikut: Raja Pucook
Sulooh (1190-1256); Raja Po Pala (1256-1278); Raja Po Dewangsa
(1278-1300); dan Raja Po Dinok (1300-1330).
Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i
yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir
(1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da‘i
itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang
rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Sejak
saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang.
Masa Kesultanan Benua Tamiang
Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah
masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan,
banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Berdasarkan
kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan
rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda
Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352). Dengan
demikian, kesultanan ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat
pemerintahan kesultanan ini letaknya kini di Kota Kualasimpang.
Di akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua
Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda Sedinu
ternyata mampu mengatasi serangan tersebut, meski kondisi Kesultanan
Benua Tamiang sempat porak-poranda. Atas kemampuannya tersebut,
Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Muda
Sedia pada tahun 1352, namun bukan dalam kedudukannya sebagai sultan,
hanya sebagai pemangku sultan saja. Pada masa pemerintahan Muda Sedinu
ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini
letaknya sekitar daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan
pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.
Tahta kekuasaan kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat
sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya, serangan Majapahit masih
berlanjut hingga menyebabkan kegiatan penyebaran Islam di kesultanan ini
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penggantinya, Sultan Po Tunggal
atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan
yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan
baru dan menyusun pemerintahan kembali.
Keadaan baru dapat kembali stabil pada masa pemerintahan Sultan Po
Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada masanya, pusat pemerintahan
kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini bernama
Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam kembali dapat dilakukan pada masa
ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan
pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama
pemerintahannya.
Sultan Po Kandis digantikan oleh anaknya sendiri, Sultan Po
Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak mempunyai anak,
ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang
bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558). Peristiwa penting yang
terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi
bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat
Syah (1514-1530). Ketika itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar
mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang
kokoh, yang tujuannya adalah sebagai strategi penting untuk menghadapi
serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat dikatakan
sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.
Silsilah
Urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:
1. Sultan Muda Setia (1330-1352)
2. Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
3. Sultan Po Malat (1369-1412)
4. Sultan Po Kandis (1454-1490)
5. Sultan Po Garang (1490-1528)
6. Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)
Periode Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis selama dua abad lebih
(1320-1558). Selama rentang waktu yang panjang itu, kesultanan ini
pernah mengalami masa pasang surut. Kesultanan ini kini telah masuk ke
dalam sistem pemerintahan masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang.
Terbentuknya kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun
2002, tertanggal 10 April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini
resmi menjadi kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang mencakup daerah-daerah
yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu: Bendahara,
Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Seruway,
dan Tamiang Hulu.
Struktur Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang diperintah oleh seorang sultan. Dalam
kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang mangkubumi
yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab
sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat seorang Qadhi
Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah
sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu:
- Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan;
- Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman;
- Raja-raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah.
Dalam bidang keamanan dan pertahanan kesultanan, juga dibentuk
laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang
panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu
Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum
Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta
Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah
di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di
daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.
Kehidupan Sosial-Budaya
Data kehidupan sosio-budaya berikut ini merupakan data pada masa
modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan
satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis Melayu. Di samping
etnis Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari etnis Aceh, Gayo,
Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam
perekonomian masyarakat Tamiang sebab penduduk di kabupaten ini
mayoritas berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga petani
menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan
Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga). Tanaman pangan yang biasa ditanam
penduduk adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah
karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa
tahun terakhir ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik
regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi
terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.
Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu
Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai
Simpang Kanan) dan Sungai/Krueng Kaloy. Keberadaan sungai-sungai ini
bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan
sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat
transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan,
maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan
konstruksi.
0 komentar:
Post a Comment