Inong Aceh Pada Masa Lalu, Flashback pada abad ke-13, pencitraan terhadap perempuan Aceh menunjukkan masa “golden age” atau mengalami masa kejayaannya, yaitu ketika kerajaan Samudra Pasai. Di mana ditemukan banyak makam yang sangat indah dengan ukiran dan syair-syair yang ditatah rapi seperti pada nisan Ratu Nahrasyiah dan lain-lain. Pada periodisasi sejarah selanjutnya, yaitu ketika masa Kerajaan Aceh Darussalam, seperti yang dituturkan dalam kitab Bustanussalatin menyebutkan adanya Taman Ghairah, yang di dalamnya terdapat Taman Sari, Pinto Khop dan monumen Gunongan. Bangunan monumental ini, khusus dipersembahkan kepada permaisuri Sultan Iskandar Muda yaitu Putroe Phang sebagai rasa cinta yang menggelora yang direpresentasikan dalam bentuk monumen berdiorama seperti gunung-gunung yang dapat ditelusuri dengan menaiki tangga-tangga yang sangat ekstrim dengan lorong yang sempit untuk menaiki ke atasnya.
Ketika periodisasi selanjutnya, di masa perjuangan dalam mempertahankan eksistensi kerajaan Aceh, peran “inong Aceh” juga tidak dapat dikesampingkan dibandingkan kaum laki-lakinya. Hal ini dapat dibaca dengan hebatnya sepak terjang pasukan yang sangat terkenal ketangguhannya. Tersebutlah laskar “inong balee” atau “perempuan janda” yang dipimpin oleh seorang laksamana perempuan yang bernama Keumalahayati ketika mempertahankan eksistensi dan hegemoni kerajaan Aceh melawan ekspansi pasukan angkatan laut Portugis sampai ke selat Malaka. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah kuta (benteng) yang saat ini dikenal dengan Benteng Inong Balee yang terdapat di sebuah semenanjung Krueng Raya di tepian selat Malaka.
Selanjutnya, setelah “Treaty of London” pada tahun 1824 yang menggiring Aceh dalam konfrontasi dengan Belanda atas kedaulatannya di Sumatera. Selanjutnya ketika Perang Aceh berkecamuk melawan ekspansi Belanda di Aceh yang dimulai pada paruh akhir tahun 1873. Perang ini disebut sebagai perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia dan telah menewaskan lebih dari 2.200 orang pasukan di bawah naungan bendera kerajaan “oranye” tersebut. Di pihak kerajaan Aceh sendiri, banyak sekali panglima-panglima terbaik dan pasukan Aceh yang mengalami syahid. Sebagian di antara mereka diinternirankan ke pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku bahkan ke luar negeri. Namun hal ini ternyata tidak menyurutkan perlawanan rakyat Aceh dengan tampilnya pemimpin pasukan dari kaum perempuan Aceh ke medan pertempuran melawan para “marsose” Belanda. Saat menjelang Sultan Aceh yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah dipaksa menyerah kepada Belanda di Pidie pada tahun 1903, perjuangan dari para perempuan ini menampakkan ekskalasi yang semakin mencuat, khususnya dalam beberapa perang gerilya di pedalaman Aceh.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tampillah pejuang-pejuang “Inong Aceh” ke medan pertempuran. Di antara tokoh perempuan tersebut terdapat sederetan nama seperti Pocut Meligou, Cut Meutia di pesisir Utara Aceh, yang berakhir syahid dalam pertempuran di Batee Iliek dan di hulu Krueng Keureuto. Di pesisir Barat, Cut Nyak Dien mengambil alih sisa-sisa pasukan Teuku Umar, setelah beliau tertembak di Suak Sikee, Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1889. Perjuangan gerilya dipimpin oleh “inong Aceh” termasyhur ini hingga bertahun-tahun sampai beliau ditangkap pada usia yang sangat renta di hulu Krueng Manggi Aceh Barat. Sampai ditangkap, beliau tetap tidak mau tunduk terhadap kolonial Belanda sehingga kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat dan meninggal dunia di sana.
Pada masa penerapan linie konsentrasi, “Inong Aceh” ternyata juga tidak surut di dalam bergerilya. Di antaranya adalah perlawanan Inen Manyak Teri di pedalaman Aceh Tengah, pasca suaminya dibunuh di depan matanya sendiri dalam suatu sweeping marsose Belanda ketika dalam perjalanan menuju daerah Serbajadi. Selanjutnya perlawanan “inong Aceh” yang juga cukup tangguh, yaitu Pocut Baren yang berakhir hingga beliau syahid di hulu Krueng Ceuko Aceh Barat yang juga menunjukkan bahwa eksistensi “inong Aceh” dalam melawan kolonialisasi kaphe-kaphe “Barat” (Eropa) masih tetap menggelora setelah panglima perang laki-laki banyak yang terbunuh atau ditangkap Belanda. [Sumber]
Ketika periodisasi selanjutnya, di masa perjuangan dalam mempertahankan eksistensi kerajaan Aceh, peran “inong Aceh” juga tidak dapat dikesampingkan dibandingkan kaum laki-lakinya. Hal ini dapat dibaca dengan hebatnya sepak terjang pasukan yang sangat terkenal ketangguhannya. Tersebutlah laskar “inong balee” atau “perempuan janda” yang dipimpin oleh seorang laksamana perempuan yang bernama Keumalahayati ketika mempertahankan eksistensi dan hegemoni kerajaan Aceh melawan ekspansi pasukan angkatan laut Portugis sampai ke selat Malaka. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah kuta (benteng) yang saat ini dikenal dengan Benteng Inong Balee yang terdapat di sebuah semenanjung Krueng Raya di tepian selat Malaka.
Selanjutnya, setelah “Treaty of London” pada tahun 1824 yang menggiring Aceh dalam konfrontasi dengan Belanda atas kedaulatannya di Sumatera. Selanjutnya ketika Perang Aceh berkecamuk melawan ekspansi Belanda di Aceh yang dimulai pada paruh akhir tahun 1873. Perang ini disebut sebagai perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia dan telah menewaskan lebih dari 2.200 orang pasukan di bawah naungan bendera kerajaan “oranye” tersebut. Di pihak kerajaan Aceh sendiri, banyak sekali panglima-panglima terbaik dan pasukan Aceh yang mengalami syahid. Sebagian di antara mereka diinternirankan ke pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku bahkan ke luar negeri. Namun hal ini ternyata tidak menyurutkan perlawanan rakyat Aceh dengan tampilnya pemimpin pasukan dari kaum perempuan Aceh ke medan pertempuran melawan para “marsose” Belanda. Saat menjelang Sultan Aceh yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah dipaksa menyerah kepada Belanda di Pidie pada tahun 1903, perjuangan dari para perempuan ini menampakkan ekskalasi yang semakin mencuat, khususnya dalam beberapa perang gerilya di pedalaman Aceh.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tampillah pejuang-pejuang “Inong Aceh” ke medan pertempuran. Di antara tokoh perempuan tersebut terdapat sederetan nama seperti Pocut Meligou, Cut Meutia di pesisir Utara Aceh, yang berakhir syahid dalam pertempuran di Batee Iliek dan di hulu Krueng Keureuto. Di pesisir Barat, Cut Nyak Dien mengambil alih sisa-sisa pasukan Teuku Umar, setelah beliau tertembak di Suak Sikee, Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1889. Perjuangan gerilya dipimpin oleh “inong Aceh” termasyhur ini hingga bertahun-tahun sampai beliau ditangkap pada usia yang sangat renta di hulu Krueng Manggi Aceh Barat. Sampai ditangkap, beliau tetap tidak mau tunduk terhadap kolonial Belanda sehingga kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat dan meninggal dunia di sana.
Pada masa penerapan linie konsentrasi, “Inong Aceh” ternyata juga tidak surut di dalam bergerilya. Di antaranya adalah perlawanan Inen Manyak Teri di pedalaman Aceh Tengah, pasca suaminya dibunuh di depan matanya sendiri dalam suatu sweeping marsose Belanda ketika dalam perjalanan menuju daerah Serbajadi. Selanjutnya perlawanan “inong Aceh” yang juga cukup tangguh, yaitu Pocut Baren yang berakhir hingga beliau syahid di hulu Krueng Ceuko Aceh Barat yang juga menunjukkan bahwa eksistensi “inong Aceh” dalam melawan kolonialisasi kaphe-kaphe “Barat” (Eropa) masih tetap menggelora setelah panglima perang laki-laki banyak yang terbunuh atau ditangkap Belanda. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment