Perang di Kruang Panjoe terjadi pada November 1945. Pejuang Aceh kala itu gencar melucuti senjata pasukan Jepang. Namun hal itu berbenturan dengan keinginan Belanda yang ingin masuk kembali ke Aceh dengan memboncengi sekutu. Komandan sekutu/NICA di Medan Brigjen Ted Kelly menginstruksikan tidak boleh satu pucuk senjata pun ditinggalkan di Aceh.
Tentara Jepang yang sudah berkemas terkonsentrasi di Lhokseumawe dikonsolidasikan menjadi dua batalyon tempur. Mereka diperintahkan untuk menduduki kembali Kota Bireuen dan tempat-tempat strategis lainnya untuk merampas kembali senjata yang sudah jatuh ke tangan rakyat. Sementara di kalangan pemuda pejuang Aceh, pemburuan senjata Jepang terus dilakukan. Saat itu muncul jargon “Serdadu Jepang boleh enyah dari Aceh, tapi senjatanya satu pelor pun tidak boleh berpindah tempat.”
Gerakan peluncutan senjata Jepang juga gencar dilakukan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dibawah pimpinan Teuku Hamid Azwar pelucutan tersebut terus dilakukan di berbagai daerah. Berbagai strategi dilakukan untuk menghadapi batalyon Jepang yang bergerak menuju Bireuen.
Pergerakan tentara Jepang itu dicegat oleh pejuang Aceh bersama API/TKR di Krueng Panjoe agar tidak merembet ke daerah lain. Krueng Panjoe merupakan sebuah daerah yang terletak sekitar tiga kilometer arah timur Matang Geulumpangdua, salah satu daerah terpadat penduduknya di Kabupaten Bireuen.
Di masa perjuangan kemerdekaan dikenal sebagai kota santri dengan ribuan santri fanatik. Di daerah tersebut berdiri Madrasah Tsanawiyah yang terkenal maju yakni di kawasan Peusangan. Mdrasah itu diasuh oleh ulama besar Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, salah seorang pendiri Persatuan Ulama Aceh (PUSA) bersama ulama besar Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Rakyat Krueng Panjoe sangat mendukung perjuangan melawan Jepang. Satu batalyon tempur Jepang dari Lhokseumawe yang ingin masuk kembali ke Bireuen dihadang di Krueng Panjoe oleh rakyat bersama API/TKR. Kabar akan masuknya kembali Jepang ke Bireuen disampaikan oleh Kapten Teuku Hamzah kepada Wakil Markas Daerah III API/TKR, Mayor M Daud yang saat itu sedang sakit di Samalanga. Ia kemudian mengintruksikan Teuku Hamzah untuk mengorganisir pasukan API/TKR dan laskar pejuang untuk menghadang pergerakan tentara Jepang.
API/TKR mempersiapkan empat kompi pasukan untuk menghadapi Jepang. Kompi, masing-masing dipimpin Letnan Agus Husin, Letnan T A Hamzani, Letnan Nyak Do, dan Letnan Yusuf Ahmad. Keempat kompi itu berada di bawah Teuku Hamzah. Sementara Kepala Staf Divisi V API/TKR, Teuku Hamid Azwar memimpin langsung dua kompi pasukan istimewa.
Kesatuan tentara Jepang yang bergerak dari Lhokseumawe ke Bireuen terdiri dari Batalyon Satu Resimen III Infantri pimpinan komando Mayor Suzuki. Batalyon ini sejak awal ditempatkan di Lhokseumawe, tapi satu kompi diantaranya dipulangkan ke Medan diganti dengan kompi lain dari Lhoksukon.
Batalyon yang dipimpin Mayor Suzuki berasal dari mantan batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo deangan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua Batalyon ini dinamai Suzuki Butay karena dipimpin Mayor Suzuki.
Selain Bireuen, sasaran Jepang adalah lokasi-lokasi yang pernah mereka duduki, tempat dimana banyak senjata tersimpan. Lokasi yang dituju Jepang antara lain: Teupin Mane, Geulanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan Kota Bireuen. Mereka akan menggali timbunan senjata untuk diserahkan pada sekutu di Medan.
Di Cot Gapu terdapat terdapat lapangan terbang darurat yang sebelumnya dijadikan resimen induk Jepang yang memasok kebutuhan logistik militernya. Di sana waktu itu masih tersimpan logistik dan senjata Jepang termasuk tank yang onderdilnya sudah dipreteli. Malah dari sekian banyak tank di situ, delapan diantaranya masih bisa difungsikan setelah diperbaiki oleh montir M Yusuf Ahmad.
Sebelum 1000 pasukan Jepang sampai ke Cot Gapu untuk mengambil kembali persenjataannya. Pemuda pejuang dan rakyat menghadangnya di kawasan Krueng Panjoe. Dipilihnya Krueng Panjoe sebagai lokasi penghadangan karena sangat cocok untuk melakukan pengepungan karena dilintasi jalur kereta api. Pasukan Jepang yang diangkut dengan kereta api cocok dihadang di tempat tersebut. Selain itu, Krueng Panjoe berada di daerah persawahan di sana terdapat tanggung besar yang digunakan untuk mengairi sawah. Tanggul itu bisa dijadikan sebagai pertahanan.
Rel kereta api di Kampung Pante Gajah dekat Krueng Panjoe sekitar tiga kilometer sebelum masuk Stasiun Kereta Api di Matang Geulumpang Dua di bongkar. Pukul 20.30 siang, 24 November 1945, ketika kereta api terperosok tentara Jepang pun diserang dari berbagai sisi.
Pertempuran berlangsung dari siang sampai malam. Subuhnya tentara Jepang menggali lobang perlindungan. Tentara Jepang terkurung. Rakyat Krueng Panjoe bersama pasukan API/TKR terus menggempur. Bersamaan dengan itu pintu bendungan dibuka, alir mengalir deras ke sawah. Lubang-lubang perlindungan yang digali Jepang penuh dengan air. Mereka terendam dalam persembunyian. Meski demikian, pertempuran terus berlangsung sampai sore hari.
Pada hari ke tiga, 26 November 1945 pukul 12.50 tentara Jepang mengibarkan bendera putih di gerbong kereta api. Jepang menyerah. Pimpinan pasukan Jepang Mayor Ibihara dan juru bicara Muramoto keluar dari gerbong kereta api dengan bendera putih di tangan. Setelah melakukan perundingan Mayor Ibihara tewas. Ia melakukan harakiri (bunuh diri) akibat kekalahan pasukannya tersebut. [Sumber]
Tentara Jepang yang sudah berkemas terkonsentrasi di Lhokseumawe dikonsolidasikan menjadi dua batalyon tempur. Mereka diperintahkan untuk menduduki kembali Kota Bireuen dan tempat-tempat strategis lainnya untuk merampas kembali senjata yang sudah jatuh ke tangan rakyat. Sementara di kalangan pemuda pejuang Aceh, pemburuan senjata Jepang terus dilakukan. Saat itu muncul jargon “Serdadu Jepang boleh enyah dari Aceh, tapi senjatanya satu pelor pun tidak boleh berpindah tempat.”
Gerakan peluncutan senjata Jepang juga gencar dilakukan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dibawah pimpinan Teuku Hamid Azwar pelucutan tersebut terus dilakukan di berbagai daerah. Berbagai strategi dilakukan untuk menghadapi batalyon Jepang yang bergerak menuju Bireuen.
Pergerakan tentara Jepang itu dicegat oleh pejuang Aceh bersama API/TKR di Krueng Panjoe agar tidak merembet ke daerah lain. Krueng Panjoe merupakan sebuah daerah yang terletak sekitar tiga kilometer arah timur Matang Geulumpangdua, salah satu daerah terpadat penduduknya di Kabupaten Bireuen.
Di masa perjuangan kemerdekaan dikenal sebagai kota santri dengan ribuan santri fanatik. Di daerah tersebut berdiri Madrasah Tsanawiyah yang terkenal maju yakni di kawasan Peusangan. Mdrasah itu diasuh oleh ulama besar Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, salah seorang pendiri Persatuan Ulama Aceh (PUSA) bersama ulama besar Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Rakyat Krueng Panjoe sangat mendukung perjuangan melawan Jepang. Satu batalyon tempur Jepang dari Lhokseumawe yang ingin masuk kembali ke Bireuen dihadang di Krueng Panjoe oleh rakyat bersama API/TKR. Kabar akan masuknya kembali Jepang ke Bireuen disampaikan oleh Kapten Teuku Hamzah kepada Wakil Markas Daerah III API/TKR, Mayor M Daud yang saat itu sedang sakit di Samalanga. Ia kemudian mengintruksikan Teuku Hamzah untuk mengorganisir pasukan API/TKR dan laskar pejuang untuk menghadang pergerakan tentara Jepang.
API/TKR mempersiapkan empat kompi pasukan untuk menghadapi Jepang. Kompi, masing-masing dipimpin Letnan Agus Husin, Letnan T A Hamzani, Letnan Nyak Do, dan Letnan Yusuf Ahmad. Keempat kompi itu berada di bawah Teuku Hamzah. Sementara Kepala Staf Divisi V API/TKR, Teuku Hamid Azwar memimpin langsung dua kompi pasukan istimewa.
Kesatuan tentara Jepang yang bergerak dari Lhokseumawe ke Bireuen terdiri dari Batalyon Satu Resimen III Infantri pimpinan komando Mayor Suzuki. Batalyon ini sejak awal ditempatkan di Lhokseumawe, tapi satu kompi diantaranya dipulangkan ke Medan diganti dengan kompi lain dari Lhoksukon.
Batalyon yang dipimpin Mayor Suzuki berasal dari mantan batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo deangan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua Batalyon ini dinamai Suzuki Butay karena dipimpin Mayor Suzuki.
Selain Bireuen, sasaran Jepang adalah lokasi-lokasi yang pernah mereka duduki, tempat dimana banyak senjata tersimpan. Lokasi yang dituju Jepang antara lain: Teupin Mane, Geulanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan Kota Bireuen. Mereka akan menggali timbunan senjata untuk diserahkan pada sekutu di Medan.
Di Cot Gapu terdapat terdapat lapangan terbang darurat yang sebelumnya dijadikan resimen induk Jepang yang memasok kebutuhan logistik militernya. Di sana waktu itu masih tersimpan logistik dan senjata Jepang termasuk tank yang onderdilnya sudah dipreteli. Malah dari sekian banyak tank di situ, delapan diantaranya masih bisa difungsikan setelah diperbaiki oleh montir M Yusuf Ahmad.
Sebelum 1000 pasukan Jepang sampai ke Cot Gapu untuk mengambil kembali persenjataannya. Pemuda pejuang dan rakyat menghadangnya di kawasan Krueng Panjoe. Dipilihnya Krueng Panjoe sebagai lokasi penghadangan karena sangat cocok untuk melakukan pengepungan karena dilintasi jalur kereta api. Pasukan Jepang yang diangkut dengan kereta api cocok dihadang di tempat tersebut. Selain itu, Krueng Panjoe berada di daerah persawahan di sana terdapat tanggung besar yang digunakan untuk mengairi sawah. Tanggul itu bisa dijadikan sebagai pertahanan.
Rel kereta api di Kampung Pante Gajah dekat Krueng Panjoe sekitar tiga kilometer sebelum masuk Stasiun Kereta Api di Matang Geulumpang Dua di bongkar. Pukul 20.30 siang, 24 November 1945, ketika kereta api terperosok tentara Jepang pun diserang dari berbagai sisi.
Pertempuran berlangsung dari siang sampai malam. Subuhnya tentara Jepang menggali lobang perlindungan. Tentara Jepang terkurung. Rakyat Krueng Panjoe bersama pasukan API/TKR terus menggempur. Bersamaan dengan itu pintu bendungan dibuka, alir mengalir deras ke sawah. Lubang-lubang perlindungan yang digali Jepang penuh dengan air. Mereka terendam dalam persembunyian. Meski demikian, pertempuran terus berlangsung sampai sore hari.
Pada hari ke tiga, 26 November 1945 pukul 12.50 tentara Jepang mengibarkan bendera putih di gerbong kereta api. Jepang menyerah. Pimpinan pasukan Jepang Mayor Ibihara dan juru bicara Muramoto keluar dari gerbong kereta api dengan bendera putih di tangan. Setelah melakukan perundingan Mayor Ibihara tewas. Ia melakukan harakiri (bunuh diri) akibat kekalahan pasukannya tersebut. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment