Menurut Zakaria Ahmad, dkk dalam bukunya Lintas Perjuangan Cut Nyak
Meutia, Sosok Pejuang Wanita Aceh, daerah Keureuto adalah suatu daerah dalam
wilayah Kesultanan Aceh yang mempunyai uleebalangnya sendiri, terletak di
daerah Kabupaten Aceh Utara sekarang. Daerah uleebalangnya Keureuto
diperkirakan mencakup daerah dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu yakni
aliran Krueng Jambo Aye. Pusat pemerintahan berpusat di daerah Jiraat Manyang
yang terletak lebih kurang 20 km dari Kota Lhokseumawe sekarang. Keureuto
menempati kedudukan yang penting di antara daerah-daerah uleebalang lainnya
dalam pemerintahan Kesultanan Aceh.
Keureuto merupakan sebuah wilayah yang makmur pada masa itu, penduduknya
juga sangat padat sehingga pemimpin daerah digelari Keujruen Lalat. Untuk
sekedar gambaran mengenai penduduk daerah ini dapat kita lihat statistik tahun
1941 dari 71.500 jiwa penduduk Onderafdeling Lhok Sukon, 58.000 jiwa di
antaranya adalah penduduk daerah Keureuto (daerah Keureuto yang telah
diperkecil oleh Belanda). Uleebalang Keureuto juga sering diikutsertakan oleh
sultan dalam musyawarah yang dilakukan sultan di Bandar Aceh Darussalam.
Daerah uleebalang Kerueto dapat dikatakan suatu federasi dari beberapa
daerah, sedangkan dari daerah itu, (10 buah) merupakan daerah inti yang
diperintah langsung oleh Teuku Chik, selain itu ada delapan daerah yang disebut
uleebalang Lapan (hulubalang delapan), yang diperintah uleebalang secara turun-temurun
dengan kedudukan uleebalangcut. Sebaliknya empat daerah yang disebut
uleebalangpeut diperintah oleh dewan Tuha Peut. Salah satu daerah Tuha Peut
yang terkenal dalam melawan penajajahan Belanda adalah daerah peut “Pirak”,
yang merupakan daerah asal Cut Nyak Meutia.
Wewenang Tuha Peut yang paling nyata di masa lalu adalah pengadilan,
hingga Teuku Chik tidak dapat memutuskan suatu perkara tanpa adanya persetujuan
tuha peut. Di samping itu, ada lagi daerah yang dikuasai uleebalangcut. Umumnya
ini adalah daerah yang baru dibuka dengan kompleks tanaman-tanaman lada yang
dibuka atas anjuran dan bantuan keuangan dari Teuku Chik, karena itu
uleebalangcut selalu bergantung kepada Teuku Chik. Bilamana daerah yang
dikuasai Tuha Peut dan daerah-daerah yang dikuasai uleebalangcut dibandingkan,
maka daerah Tuha Peut lebih bebas dan lebih berkuasa dari pada daerah yang
dipimpin oleh uleebalangcut.
Uleebalang yang pertama memerintah daerah keuleebalangan Keureuto ialah
Teungku Keujruen Peugamat dan yang terakhir hingga Indonesia Merdeka ialah
Teuku Raja Sabi. Salah seorang uleebalang yang terkenal yang memerintah daerah
keuleebalangan Keureuto ialah Cut Nyak Asiah, yang oleh penduduk disebut Cut
Nyak Jiraat Manyang. Ia menggantikan suaminya yang bernama Teuku Chik Muda Ali.
Ia cakap memerintah daerahnya, disayangi rakyatnya dan hulubalang bawahannya.
Cut Nyak Asiah adalah seorang wanita yang tangkas dan bijak sekali dalam
berbicara di majelis. Dalam tiap-tiap konsultasi dengan uleebalangnya dia
sendiri yang memimpin pertemuan tanpa dibantu oleh orang lain.
Ketika Belanda dapat menguasai daerah uleebalang Keureuto, maka daerah
yang begitu luas dan telah terpencil dan terisolasi dijadikan suatu landeskap
di bawah Ondrafdeling Lhok Sukon.
Cut Nyak Asiah dengan suaminya Teuku Muda Ali mempunyai dua orang anak
tetapi keduanya telah meninggal sejak kecil. Menurut adat yang turun-temurun
seseorang uleebalang yang telah meninggal harus digantikan oleh keturunannya.
Sebab itu diambillah dua orang putra dari saudaranya T. Ben Berghang yang
bernama T. Syamsarif sebagai Teuku Chik di Keureuto padahal Teuku T. Syamsarif
tidak disenangi oleh rakyatnya karena lemah dalam menghadapi Belanda. Teuku Cut
Muhammad tidak dapat menerima kerja sama antara daerah keuleebalangan Keureuto
dengan Belanda. Dia memimpin rakyat untuk menentang kekuasaan Belanda dengan
berjuang di gunung-gunung bersama rakyat.
Sehubungan dengan usaha Belanda memblokade pantai utara Aceh, beberapa
pelabuhan di pantai utara Pulau Sumatera seperti Pidie, Keureuto, Samalanga,
Kuala Jangka, Lhok Seumawe, Blang Ni dan Idi diawasi dengan ketat oleh Belanda.
Blang Ni selaku pelabuhan dari daerah keuleebalangan Simpnag Ulim dijaga ketat
dari laut sejak tahun 1873. Raja Simpang Ulim Teuku Muda Nyak Malim menentang
Belanda. Belanda berhasil menguasai Simpang Ulim dan di sana didirikan sebuah
benteng.
Teuku Muda Nyak Malim terpaksa memimpin rakyatnya berjuang di
daerah-daerah pedalaman. Untuk menggagalkan perlawanan rakyat di Simpang Ulim,
Belanda mengangkat uleebalang baru untuk menggantikan Teuku Muda Nyak Malim
yang tidak mau berdamai dengan Belanda. Teuku Muda Nyak Angkasah dijadikan
uleebalang Simpang Ulim yang baru. Rakyat Simpang Ulim tidak dapat menerima
Teuku Muda Angkasah sebagai Uleebalang yang menggantikan Teuku Muda Nyak Malim
hingga ia dibunuh rakyat.
Setelah Belanda menguasai Simpang Ulim, lalu Belanda berusaha menguasai
daerah keuleebalangan Keureuto yang terletak sebagai tetangga dari daerah
keuleebalangan Simpang Ulim. Akibat tekanan-tekanan dari Belanda, uleebalang
Keureuto Teuku Chik Muling mengakui kedaulatan Belanda di daerahnya pada
tanggal 24 April 1874. Adiknya Teuku Muda Ali tidak dapat menerima kerjasama
antara uleebalang Keureuto dengan Belanda. Ia memimpin perjuangan rakyat untuk
menentang kekuasaan Belanda yang berusaha untuk dapat menguasai Simpang Ulim
sepenuhnya.
Uleebalang Keureuto yang mengetahui maksud Belanda, kemudian meminta
kepada Belanda untuk dapat membantu Keureuto dengan alat persenjataan, katanya
cukup banyak mempunyai penduduk tetapi kekurangan persenjataan. Belanda tidak
mau memberikan bantuan persenjataan kepada Keureuto, karena Belanda juga sudah
mengatahui maksud sebenarnya dari uleebalang Keureuto, maka penyerangan ke
Simpang Ulim tidak dilaksanakan. Di sini kelihatan bahwa kelicikan Belanda
telah dapat ditandingi oleh uleebalang Keureuto. Mungkin ini pulalah sebabnya
seorang penulis Belanda dalam bukunya Aceh Oorlog mengatakan, “Rakyat Peusangan
terkenal terkenal karena tipu muslihatnya dan mereka mempunyai 12 macam tipu
daya” (38:78). Dengan demikian politik adu domba Belanda yang selama ini begitu
ampuhnya dalam melumpuhkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia telah gagal
diterapkan di Keureuto. Belanda benar-benar merasa tertipu di Keureuto.
Setelah uleebalang Teuku Muda Ali meninggal ia digantikan oleh istrinya
Cut Nyak Asiah. Setelah Cut Nyak Asiah meninggal, yaitu setelah van Heutsz
melakukan serangan besar-besaran ke seluruh daerah uleebalang di segenap
penjuru Aceh, diangkatlah Teuku Syamsarif sebagai Uleebalang Keureuto. Rakyat
yang tidak setuju dengan pengangkatan ini dan yang megitu membenci Belanda
melakukan perlawanan di bawah pimpinan Teuku Cut Muhammad yang sangat gigih
melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Pirak merupakan salah satu daerah uleebalang yang sekalipun setingkat
lebih rendah dari Keureuto, di dalam hal pemerintahan dan kehakiman berdiri
sendiri serta tidak tunduk di bawah kekuasaan Keureuto. Daerah ini mempunyai
lembaga kehakiman sendiri yang dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat rendah.
Kedudukan daerah ini disebut dengan istilah ben, seperti Ben Pirak, Ben
Seuleumak, dan lain-lain.
Sebelum perang Belanda di Aceh pecah, daerah Ben Pirak tidak begitu
terkenal dibandingkan daerah Keureuto. Setiap uleebalangnya diberikan gelar
Teuku Ben. Daerah-daerah keuleebalangan yang lebih besar (pada waktu
pemerintahan Belanda disebut Zelfbestuur) yang mempunyai darah uleebalangcut di
bawahnya, uleebalangnya diberi gelar Teuku Chik. Sebelum diduduki Belanda Pirak
diperintah oleh seorang uleebalang yang bernama Teuku Ben Daud. Pada masa yang
sama pula di Keureuto ada Cut Nyak Asiah, yang mewarisi tahta keuleebalangannya
itu dari suaminya.
Pirak pada masa kepemimpinan Teuku Ben Daud berada dalam keadaan yang
penuh ketenangan dan kedamaian. Ini disebabkan uleebalang yang memerintah
negeri itu adalah seorang uleebalang yang bijaksana selalu memperhatikan
keadaan rakyanya. Dia bukan saja uleebalang yang penuh kebijaksanaan dalam
menjalankan pemerintahan, tetapi dia juga seorang ulama. Dalam kedudukannya
sebagai seorang uleebalang dan ditambah dengan keahliannya dalam lapangan
agama, Teuku Ben Daud disenangi rakyatnya dan dihormati oleh pihak kawan dan
lawannya.
Teuku Ben Daud memperistrikan seorang gadis rupawan bernama Cut Jah, yaitu
anak uleebalang Ben Seuleumak. Orang-orang di kampung Pirak menamakannya Cut
Mulieng, karena ia berada dalam Kampung Muling daerah Seuleh. Dari perkawinan
inilah Teuku Ben Daud memperoleh keturunan lima orang anak yang terdiri atas
empat laki-laki dan satu anak perempuan. Anaknya yang tertua bernama Cut
Beurahim lalu disusul oleh Teuku Cut Hasan yang juga bergelar Teuku Muhammad
Ali.
Satu-satunya puteri dari Teuku Ben Daud yang lahir tahun 1870, diberi nama
Meutia. Meutia berarti mutiara. Meutia selain parasnya cantik tubuhnya juga
indah. Dalam pakaian upacara yang indah dengan menggunakan silluweue (celana)
Aceh yang terbuat dari sutera berwarna hitam, dengan baju berkancing
perhiasan-perhiasan emas dengna rambutnya yang hitam pekat serta dihiasi ulee
ceumara (kepala cemara) yang terbuat dari emas, dengan gelang kaki yang
melingkar pergelangan.
Sebagaimana lazimnya bagi anak perempuan di Aceh sebelum menanjak remaja.
Cut Nyak Meutia dididik dengan pelajaran-pelajaran agama di tempat-tempat
pengajian. Walaupun telah dewasa dan tinggal bersama keluarganya, pendidikan
tidak ditinggalkan. Kepadanya tetap diberikan pelajaran agama dengan
mendatangkan ulama ke rumahnya dan bahkan ayahnya sendiri yang ahli masalah
agama juga bertindak sebagai guru.
Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta penurut. Karena
pendidikan yang diterimanya dari kecil sampai dewasa ia merasakan dengan
sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama
manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda,
sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi kehidupan kalau di
luar ridha Allah SWT. Demikianlah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut
Nyak Meutia, bahkan keyakinan tersebut tertanam hampir di setiap dada rakyat
Aceh pada saat itu.
Pada masa Cut Nyak Meutia bernajak dewasa, keadaan politik di Aceh sedang
berada pada saat-saat kritis. Pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut
oleh Belanda dan daerah-daerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh.
Keadaan ini memberi pengaruh yang besar bagi kehidupan daerah-daerah yang masih
belum dikuasai Belanda, termasuk daerah Pirak.
Saat itu pendidikan semakin dipergiat untuk membendung perluasan kekuasaan
Belanda dengan cara menanamkan idiologi tentang pemahaman keislaman. Peran
dayah menjadi sangat penting saat itu, termasuk di Pirak. Salah satu dayah yang
terkenal di daerah ini adalah Dayah Tgk. Beuringen, yang khusus
menyelenggarakan pendidikan agama untuk kaum laki-laki.
Keadaan politik yang demikian menjadi pembicaraan luas dalam seluruh
lapisan masyarakat tidak saja dikalangan kaum laki-laki termasuk kaum
perempuan. Keadaan ini sangat mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena
keluarganya termasuk keluarga uleebalang yang taat kepada agama serta telah
menyatakan akan memusuhi Belanda serta akan menentang apabila musuh sampai ke
daerahnya. Dalam suasana demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya
ini turut mempengaruhi sikap Cut Nyak Meutia setelah dewasa.
Bersama dengan kepemimpinan Cut Nyak Aiah di Keureuto daerah Pirak berada
di bawah pemerintahan Teuku Ben Daud. Sewaktu Pemerintahan Belanda sampai ke
Aceh Utara, Teuku Ben Daud giat membantu Sultan Muhammad Daud dan Panglima
Polem, baik dalam bentuk fisik maupun material. Dia mengkoordinasi rakyatnya
untuk mengumpulkan perbekalan yang diperlukan oleh pasukan sultan serta
membentuk lasykar rakyat guna membantu sultan secara fisik. Bantuan yang
diberikan Teuku Ben Daud di perbesar lagi sewaktu pusat pertahanan sultan
berada di daerah Pasai sejak tahun 1901 sampai pertengahan tahun 1903, saat
mana sultan, Panglima Polem dan pengikut-pengikutnya turun bergerilya.
Teuku Ben Daud tetap aktif bersama-sama rakyat dan secara terus-menerus
menentang penajajahan Belanda sejak Belanda menguasai daerah Pasai, Keureuto
dan daerah-daerah lan di sekitarnya. Semenjak daerah demi daerah di Aceh Utara
dikuasai oleh Belanda, para ulama, di daerah uleebalang menyusun perlawanan
secara bersama guna menghadapi Belanda. Pucuk pimpinan Kesultanan Aceh tetap
berada pada Sultan Muhammad Daud dengan pusat pemerintahan berpindah tempat
dari satu pedalaman ke daerah lain yang lebih aman.
Perjuangan yang disusun oleh para uleebalang ini menyukarkan bagi Belanda
dalam usaha pasifikasinya di Aceh. Tindakan keras yang dilakukan van Heutsz
selaku Gubernur Sipil dan Militer untuk Aceh, diimbangi dengan perlawanan yang
keras oleh rakyat Aceh Utara di bawah keuleebalangannya masing-masing.
Para uleebalang yang telah diangkat oleh sultan dan diberikan cap
sikeureng tidak dianggap sah oleh Belanda. Oleh sebab itu, tidak jarang
pemerintah Belanda melakukan politik pecah belah dengan cara melakukan
pemecahan daerah-daerah yang besar menjadi beberapa daerah yang masing-masing
diperintah oleh seorang uleebalang.
Demikianlah keadaan ini berjalan cukup lama dan dalam masa yang begitu
panjang terdapat pulalah perubahan-perubahan politik, yaitu adanya uleebalang
yang mau bekerja sama dengan menandatangani Korte Verklaring, dan uleebalang
yang tetap meentang penjajahan Belanda sampai beberapa keturunan lamanya.
Daerah yang termasuk katagori pertama termasuk Keureuto di bawah Cut Nyak
Asiah yang diteruskan oleh Teuku Syamsarif dengan gelar Teuku Chik Bentara yang
resmi diangkat sebagai uleebalang Chik Keureuto oleh van Heutsz dalam tahun
1899. Adapun yang tergolong ke dalam kelompok yang kedua antara lain ialah
keulebalangan Pirak, di mana para uleebalangnya mulai dari Teuku Ben Daud dan
anaknya termasuk yang perempuan, yaitu Cut Nyak Meutia, tetap menentang
penjajahan Belanda sampai akhir hayat masing-masing.
Satu-satunya keturunan dari uleebalang Keureuto yang mempunyai pendirian
serta tekad yang sama dengan uleebalang Pirak adalah saudara Teuku Chik
Bentara, yaitu Teuku Cut Muhammad.
Teuku Ben Daud yang dibantu oleh anak-anaknya beserta pengikut-pengikutnya
tetap menolak menandatangani Korte Verklaring. Setelah daerah mereka dirampas
oleh musuh, mereka memindahkan pusat pemerintahan, yang sekaligus menjadi pusat
pertahanan, ke hulu Krueng Jambo Aye. Daerah ini sejak 1905 kemudian dijadikan
pula pusat pasukan Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe.
Mereka tetap bergerilya, sekalipun Sultan Muhammad Daud dan Panglima polem
telah turun dalam tahun 1903. Tekad untuk membebaskan kembali tanah endatu dari
kaphee penjajah, atau mati syahid, semakin membara di dada mereka. Tekad ini
tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun dan dalam bentuk bagaimana pun.
Selain bergerilya dan memindahkan pertahanan seperti pusat pemerintahan,
masih ada lagi taktik dan strategi lain yang mereka atur untuk menghadapi
musuh. Beberapa orang di antara anak Teuku Ben Daud yang laki-laki, di
antaranya Teuku Muhammad Syah dan Teuku Muhammad Ali, tidak selalu bersama-sama
dengan ayahnya yang berada di gunung-gunung. Mereka tetap di kampung sebagai
uleebalang Pirak yang diakui oleh rakyatnya kendati Belanda tidak mengakuinya.
Dengan bermodalkan kepercayaan rakyat, mereka mengumpulkan perbekalan yang
dibutuhkan pihak ayahnya. Teuku Ben Daud menyadari apabila semua rakyatnya
bergerilya dengan mudah Belanda bisa mengucilkan mereka dari rakyat. Selain itu
akan sulit memperoleh bantuan secara rutin untuk melanjutkan perjuangan.
Dengan taktik yang demikian Teuku Ben Daud dan pengikut-pengikutnya
bertahan puluhan tahun lamanya, serta menghadapi serangan demi serangan yang
dilancarkan oleh Belanda. Kemampuan bertahan tidak ditentukan oleh lengkapnya
persenjataan, tapi dukungan rakyat dan ulama sangat menentukan dalam rangka
membangkitkan semangat perjuangan dalam menentang penajajahan kaphee Belanda.
Menjelang meningkat dewasa Cut Nyak Meutia semakin menjadi gadis yang
tumbuh mempesona, dia cantik dengan tinggi tubuh yang ideal dan semampai dan
pembawaannya juga lemah-lembut. Tetapi dalam keelokan paras rupanya dan
kelembutan sikapnya dia mempunyai suatu pendirian yang sulit tergoyahkan. Sikap
tersebut merupakan warisan dari sifat ayahnya yang tegas dan mempunyai
pendirian yang teguh.
Kecantikan serta kehalusan budi pekerti inilah yang membuat setiap jejaka
berhasrat untuk mempersunting Cut Nyak Meutia untuk menjadi istri. Sehingga
banyak berdatangan orang-orang kepada Teuku Ben Daud sebagai utusan atau
telangkai (dalam bahasa Aceh disebut seulangkee). Mereka adalah orang-orang
yang telah menerima amanah dari Teukunya masing-masing untuk menghadap Teuku
Ben Daud guna meminang gadis jelitanya. Teuku Ben Daud haruslah
mempertimbangkan matang-matang setiap keputusan yang akan dijatuhkan terhadap
pinangan tersebut, meski dia tahu Cut Nyak Meutia tidak akan membantah setiap
pilihan yang telah dijatuhkan oleh ayahnya, hal ini karena sikap hormatnya pada
orang tua. Tetapi Teuku Ben Daud tidak mau bersikap otoriter dalam menentukan
pilihan untuk anak-anaknya, oleh sebab itu semua dilakukan dengan cara
musyawarah dengan anggota keluarga.
Dalam menghadapi keadaan tersebut, Cut Nyak Meutia belum menemukan pemuda
yang dapat menawan hatinya. Salah seorang pemuda yang semasa kecil telah
mengisi memori hidupnya adalah pemuda Teuku Cut Muhammad, yang merupakan teman
sepermainan sewaktu kecil. Sayangnya pemuda tersebut tidak pernah meminangnya.
Dari sekian banyak pinangan yang datang, banyak pula yang ditolak Teuku
Ben Daud karena tidak ada yang berkenan di hati Cut Nyak Meutia. Sampai
akhirnya pinangan dari Cut Nyak Asiah uleebalang Keureuto bagi Teuku Syamsarif,
anaknya yang ke dua dan kakak Teuku Cut Muhammad diterima Cut Nyak Meutia.
Setelah dicapai kata sepakat tentang perkawinan dan upacara-upacara
kebesaran lainnya, upacara perkawinan dilaksanakan pada tahun 1890. Upacara
perkawinan berlangsung dengan meriah, rakyat di Keureuto maupun rakyat di Pirak
menyambut baik perkawinan tersebut. Setelah upacara perkawinan tersebut selesai
Cut Nyak Meutia menetap di Keureuto bersama suaminya dan meninggalkan Pirak
dengan dengan aturan-aturan kehidupan dan keagamaan yang serba ketat dan
membenci kaphee Belanda.
Di keureuto ia memulai hidup baru yang penuh toleran terhadap Belanda
setelah Cut Nyak Asiah menandatangani Korte Verklaring. Tetapi Cut Nyak Meutia
tetap sebagai pribadi yang taat beragama dan tidak mudah tergoyahkan dalam
memusuhi Belanda sebagaimana ayah dan saudara-saudaranya. Tetapi walaupun
begitu di Keuroeuto pada awalnya kehidupan Cut Nyak Meutia dengan Teuku
Syamsarif penuh kedamaian tanpa perbedaan pendapat, tetapi tanpa kehadiran anak
telah menjadi pengganjal hubungan harmonis tersebut.
Perbedaan juga semakin kentara akibat sifat yang berbeda antara Teuku
Symasarif yang senang pada kedudukan yang tinggi dan terbiasa hidup dengan
Belanda, sedangkan Cut Nyak Meutia mempunyai sifat yang sebaliknya. Jadi jelas
ada perbedaan yang prinsipil antara keduanya. Yang seorang sangat memusuhi
Belanda yang seorang lagi senang hidup bersama Belanda, apalagi setelah
mendapat kedudukan uleebalang Keureuto.
Akibat perbedaan-perbedaan yang prinsipil ini akhirnya Cut Nyak Meutia
mulai menunjukkan perasaan-perasaan tidak senangnya kepada Teuku Syamsarif. Cut
Nyak Meutia mulai berusaha membujuk suaminya agar bersedia meninggalkan
kerjasama dengan Belanda dan membantu kaum muslimin yang sedang berjuang
mengusir Belanda yang terus-menerus menjajah naggroe endatu.
Tetapi usaha-usaha Cut Nyak Meutia untuk mengubah pendirian suaminya untuk
memihak kepada kaum muslimin ternyata sia-sia belaka. Hal ini membawa
pertentangan batin yang mendalam buat Cut Nyak Meutia. Pertentangan antara
pendiriannya yang teguh, dengan kenyataan yang ia hadapi sendiri sebagai istri
Teuku Syamsarif yang telah mengakui kekuasaan Belanda serta membantunya.
Kenyataan ini tidak bisa dielakkan selama ia masih menjadi istri Teuku
Syamsarif.
Pengangkatan Teuku Syamsarif sebagai uleebalang Keureuto oleh van Heutsz
dalam tahun 1899 untuk menggantikan Cut Nyak Asiah merupakan bukti keakrabannya
dengan Belanda. Pengangkatan suaminya sebagai uleebalang oleh Belanda sangat
melukai hatinya, sekalipun sesuai dengan kedudukan suaminya. Ia harus dipanggil
dengan sebutan Cut Nyak Meutia, sejalan dengan sebutan baru yang diberikan
kepada suaminya yaitu Teuku Chik Syamsarif dengan gelar Teuku Chik Bentara atau
Teuku Chik di Baroh.
Kedudukan sebagai Cut Nyak Meutia tidaklah membawa kebahagiaan dan
kesenangan bagi Cut Nyak Meutia. Makin besar pertentangan dan tekanan batin
yang dideritanya. Rakyat Keurouto pun tidak menyukai kedudukan Teuku Symasarif
sebagai uleebalang Keureuto, karena sebelumnya Sultan Daud telah mengaangkat
Teuku Cut Muhammad sebagai Teuku Chik Muhammad sebagai Teuku Chik atau
uleebalang Keureuto. Teuku Cut Muhammad sangat disenangi oleh rakyat, karena ia
adalah seorang yang cakap dan pemimpin perjuangan muslimin.
Sebagai puteri Teuku Ben Daud, Cut Nyak Meutia selalu tertarik kepada
pasukan muslimin yang sedang berjuang untuk melepaskan tanah airnya dari
penjajahan kafir. Hatinya terus memberontak kepada suaminya. Ia selalu
terkenang kepada ayah, saudara-saudaranya, dan lain-lain pasukan muslimin yang
tidak mengenal menyerah serta berjuang sampai titik darah penghabisan.
Teuku Chik Bentara sendiri telah lama memperhatikan tanda-tanda perubahan
sikap dan tingkah laku istrinya. Ia tidak mengetahui sebab-sebab perubahan pada
istrinya. Akhirnya ia menanyakan sendiri kepada Cut Nyak Meutia. Pada suatu
malam setelah selesai melaksanakan sembahyang magrib, keduanya duduk berhadapan
sebagaimana berlangsung selama ini. Teuku Chik Bentara bertanya kepada
istrinya, apakah yang menyebabkan Cut Nyak Meutia selama ini kelihatan selalu
murung dan bersedih hati. Cut Nyak Meutia mengangkat kepalanya sembari
memperbaiki duduknya. Di dalam hati ia berpikir inilah kesempatan yang baik
baginya. Ia menjawab dengan tenang dan penuh takzim kepada suaminya. “Adinda kira
kakanda telah tahu sebab musababnya”. Teuku Chik Bentara melanjutkan percakapan
dengan mengatakan, bahwa perempuan merasa beruntung kalau suaminya mendapat
derajat dan kedudukan yang tinggi. Cut Nyak Meutia segera menampiknya. Dia
mengatakan suaminya tidak tinggi dengan sewajarnya, melainkan ditinggikan oleh
musuh.
Setelah dialog antara Cut Nyak Meutia dengan Teuku Chik Bentara
berlangsung beberapa jam, Cut Nyak Meutia meminta kepada suaminya agar ia
dikembalikan ke rumah ayahnya di Pirak. Ia tidak dapat bertahan lagi di
Keureuto, karena suaminya telah jadi alat dan kaki tangan kaphee, yang oleh Cut
Nyak Meutia dianggap bertentangan dengan prinsip hidupnya. Teuku Chik Bentara
lebih tercengang lagi setelah mendengar tuntutan Cut Nyak Meutia. Ia tidak pernah
menduga bahwa tindakan yang dilakukannya selama ini akan menyebabkan terjadinya
perceraian. Teuku Chik Bentara berusaha membujuk Cut Nyak Meutia agar bersedia
mengubah pendiriannya, tetapi bagi Cut Nyak Meutia keputusannya tidak dapat
diganggu gugat. Dialog ini diakhiri dengan sembahyang isya bersama-sama, serta
diimami oleh Teuku Chik Bentara, seolah-olah antara mereka tidak pernah terjadi
sesuatu.
Beberapa hari kemudian Cut Nyak Meutia meninggalkan Keureuto kembali
kepada ayahnya di Pirak. Setelah beberapa hari kemudian Teuku Chik Bentara
meminta agar ia dipulangkan karena mereka belum bercerai. Teuku Ben Daud
menjawab biasanya yang dikirim dari satu tempat ke tempat lain adalah barang.
Cut Nyak Meutia adalah manusia bukan barang. Kalau Teuku Chik Bentara masih
menyukainya hendaklah menjemput sendiri. Inilah yang ditakuti oleh Teuku Chik
Bentara, karena antara mereka sudah berbeda pendirian. Teuku Ben Daud akhirnya
memutuskan agar Cut Nyak Meutia dan Teuku Chik Bentara diceraikan. Atas dasar
tidak pernah dijemput dan tidak pernah diberi nafkah selama berada di Pirak,
Teuku Chik Bentara dinyatakan dipisah dari istrinya, Cut Nyak Meutia.
Dengan demikian berakhirlah ikatan perkawinan mereka dan Cut Nyak Meutia
kembali menetap bersama keluarganya di Pirak. Cut Nyak Meutia terlepas dari
pertentangan dan tekanan batin yang cukup berat selama ini dan kini telah hidup
dengan bebas sebagimana layaknya seorang yang merdeka tanpa ikatan dan
penjajahan sedikit pun. Sejak menjanda, di dalam hatinya telah tertanam hasrat
untuk bergerilya bersama-sama muslimin lainnya. Tapi keinginan itu tidak
diperkenankan oleh ayahnya. Walaupun demikian ia selalu tertarik kepada
masalah-masalah peperangan melawan kaphee Belanda yang masih menyerang tanah
endatu.
Di dalam pasukan Teuku Ben Daud terdapat seorang pemuda bangsawan yang
selalu setia dalam setiap pertempuran, yaitu Teuku Cut Muhammad, saudara dari
Teuku Syamsarif, bergelar Teuku Chik Tunong. Mereka sama-sama memerintah daerah
Keureutoe yang telah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tunong dan Baroh. Dengan
pemuda Teuku Cut Muhammad inilah Cut Nyak Meutia kawin untuk kedua kalinya,
setelah menjanda beberapa lama. Teuku Cut Muhammad adalah seorang yang tidak
gila kepada pangkat dan kedudukan, bebas dari pengaruh asing. Ia sama sekali
tidak suka tunduk di bawah kekuasaan orang asing. Yang dianggapnya sebagai
musuh bangsa dan agama. Sikap ini berbeda dengan saudaranya, Teuku Symasarif
(Teuku Chik Di Baroh), yang semena-menda terus menandatangani Korte Verklaring
yang diajukan oleh kaphee Belanda.
Teuku Cut Muhammad turut melakukan perlawanan untuk mempertahankan tanah
endatunya dari serangan kaphee Belanda bersama-sama dengan Sultan dan Panglima
Polem menjadikan daerah Pasee atau Aceh Utara sebagai pusat pertahanan. Karena
jasa-jasanya yang besar kepada Sultan selama Sultan berada di daerah Pasee,
akhirnya Teuku Chik Muhammad memperoleh pengangkatan sebagai uleebalang
Keureuto dari Sultan dengan sebuah surat pengangkatan yang menggunakan cap
sikeureung (cap sembilan), oleh sebab itu daerah Keureuto terdapat dua orang
uleebalang, yaitu seorang yang diangkat oleh Belanda yang dinamakan uleebalang
Baroh (hulubalang bawah), yang diperintah Teuku Symasarif dengan memakai gelar
Teuku Chik di Baroh atau Teuku Chik Bentara.
Setelah kawin dengna Teuku Chik Muhammad, Cut Nyak Meutia kembali menemui
hidup yang penuh dengan kebebasan. Ia kembali dapat mengabdikan dirinya sebagai
seorang puteri bangsanya yang selalu tertarik kepada pihak muslimin, nun jauh
di gunung-gunung, pria-pria dan wanita-wanita yang berjuang di jalan Allah, di
mana ayah dan saudaranya berada.
Zentgraaf dalam bukunya mengatakan, “Sungguh sebuah cerita khusus atau
sebuah kisah mengenai kegiatan-kegiatan di dalam perang yang telah dilakukan
oleh Teuku Chik Tunong secara nekat dan gagah berani dengan didampingi istrinya
yang seperti mutiara itu. Tanpa disangka-sangka cepat sperti kilatan, ia dapat
memukul mush seperti di sini, sebentar di sana untuk kemudian menghilang
jauh-jauh. Ia sangat bijaksana untuk tidak selalu melakukan perlawanan terhadap
pasukan-pasukan Belanda” (46 : 117).
Cut Nyak Meutia bukan hanya bertindak sebagai pendamping buat Teuku Chik
Tunong, tapi ia juga berperan aktif sebagai pengatur strategi. Cut Nyak Meutia
bersama Teuku Chik Tunong mempergunakan taktik menyebar spion-spion untuk
menyiasati rencana-rencana yang akan dikerjakan oleh pihak musuh, taktik ini
berhasil dengan baik. Dengan mempergunakan taktik ini memperoleh beberapa
kemenangan gemilang. Dalam bulan Juli 1902 Teuku Chik Tunong mengetahui melalui
spionnya, bahwa Belanda akan melakukan patroli/operasi. Operasi ini dipimpin
oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan sersan van Steijn Parve dengan pasukan
berjumlah 30 orang sedadu. Akibat dari perlawanan tersebut, pihak Belanda telah
tewas ban Stijn Parve dan delapan serdadunya, sedangkan pasukan Teuku Chi
Tunong syahid 14 orang.
Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh semakin menambah semangat
pasukan Teuku Chik Tunong dengan pasukan musliminnya. Penyerangan selanjutnya
dilakukan dalam bulan Agustus 1902 terhadap pasukan Belanda yang sedang
melakukan patroli dari Simpang menuju ke Blang Ni. Teuku Chik Tunong
menempatkan pasukannya di dalam alang-alang yang tinggi dekat dengan jalan
tidak jauh dari Meunasah Jeuro. Dalam penyerangan ini pasukan muslimin dapat
menewaskan tujuh orang serdadu kaphee dan merampas lima pucuk senjata. Mendapat
kekalahan tersebut pasukan Belanda menambah bantuan 40 orang serdadu di bawah
pimpinan Letnan ban Gheel Gilddemeker, tapi pasukan kaum muslimin sudah duluan
menginggalkan arena pertempuran.
Dalam bulan September 1903 Swart selaku komandan datasemen yang
berkedudukan di Lhokseumawe meminta kepada Cut Nyak Asiah dan Teuku Syamsarif
agar menurunkan Teuku Chik Tunong. Apabila tidak dapat menurunkan Teuku Chik
Tunong maka Cut Nyak Asiah akan dijatuhi hukuman pembuangan (pengasingan) ke
Subang. Setelah menerima ancaman tersebut Cut Nyak Asiah berusaha menyampaikan
pesan-pesan tersebut melalu orang-orang kepercayaan Teuku Chik Tunong. Setelah
menerima pesan tersebut Teuku Chik Tunong pun beberapa hari kemudian turun
gunung.
Pertimbangan Teuku Chik Tunong bukanlah karena ancaman Swart kepada
ibunya, tetapi ia melihat bahwa pertengahan 1903 Sultan Muhammad Daud Syah
bersama-sama dengan pengikutnya seperti Panglima Polem, Muhammad Daud, Tuanku
Raja Kumala, dan lain-lain telah turun gunung menghentikan gerilya. Pada 5
Oktober 1903 Teuku Chik Tunong bersama-sama pengikutnya melaporkan diri kepada
Swart di Lhokseumawe. Ia diterima dengan baik dan dibenarkan menetap di
kenegerian Keureuto.
Turunnya Teuku Chik Tunong pada 5 Oktober 1903 ditandai dengan
dilangsungkannya pertemuan bersama antar Komandan Datasemen Belanda di
Lhokseumawe HNA Swart dengan Cut Nyak Asiah dan Teuku Chik Tunong. Belanda
mengira itu adalah awal penyerahan pejuang-pejuang Aceh yang masih berada di
hutan-hutan, sehingga mereka merasa sangat bergembira, dan kegembiraan tersebut
menjalar ke berbagai pos dan bivak Belanda sampai ke Kutaraja, karena pada awal
tahun 1905 Belanda memperkecil kekuatannya dengan menarik satu batalion tentara
ke Pulau Jawa. Tapi walaupun demikian mereka tetap terus memantau gerak-gerik
Teuku Chik Tunong, meresa tetap diawasi Teuku Chik Tunong sangat berhati-hati
dalam segal tindakannya sehari-hari, padahal Teuku Chik Tunong tetap menjalin
hubungan dengan pejuang muslimin secara rahasia.
Dalam keadaan yang aman Belanda tetap mengadakan patroli untuk mengejar
sisa-sisa pejuang Aceh yang masih tinggal. Dari sekian banyak patroli yang
mereka lakukan pada waktu aman ini, satu patroli benar-benar membawa petaka
yang menggemparkan Belanda dari Lhokseumawe dan Kutaraja sampai ke Batavia.
Malapetaka besar yang diderita Belanda tersebut terjadi pada 26 Januari 1905 di
Meurandeh Paya.
Kisah penyerbuan kaum muslimin di Merandeh Paya memang sangat fonomenal, 16
dari 17 anggota pasukan Belanda di bawah pimpinan Sersan Vollaers berhasil di
tewaskan oleh para pejuang kaum muslimin yang dipimpin Peutua Dullah dan
Keujruen Buah (eleebalangcut Buah) dengan cara mempergunakan tak tik yang
benar-benar tidak diperhitungkan oleh pasukan Belanda.
Bantuan yang dikirimkan dari Lhok Sukon ke Meurandeh Paya tiba, komandan
datsemen di Lhokseumawe telah mengetahui peristiwa tersebut melalui kaki
tangannya. Swart datang sendiri ke tempat terjadinya penyerangan tersebut. Ia
menyaksikan sendiri kondisi 16 mayat yang tubuhnya terkoyak-koyak, dan darah
berlumuran hampir membeku. Mayat sersan komandan ditemui tergeletak di atas
meunasah dengan buku di sampingnya dalam keadaan berlumuran darah. Kemudian
Swart memerintahkan pasukan yang telah tewas itu untuk dikebumikan dalam
kuburan massal.
Guna menebus kekalahan ini Swart telah memerintah pasukannya untuk mencari
pelaku-pelaku utama peristiwa tersebut, saat itu pasukannya diperkuat oleh
pasukan-pasukan pilihan yang terdapat di Lhokseumawe. Pengejaran terus-menerus
dilakukan oleh pihak Belanda, dan berhasil menemukan Peutua Dullah dan dalam
pertempuran yang cukup sengit akhirnya syahid akibat tembakan pihak Belanda di
bawah pimpinan Roempol.
Usaha lain yang dilakukan untuk mengetahui pelaku utama penyerangan di
Meurandeh Paya, Swart memberikan kepercayaan kepada Letnan van Vuuren yang
mahir berbahasa Aceh. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan akhirnya ditemukan
bukti yang melakukan penyerbuan adalah uleebalang Cut Buah (Keujruen Buah)
bersama-sama dengan Peutua Dullah. Van Vuuren juga berhasil mengungkap tabir
rahasia bahwa penyerbuan tersebut sesungguhnya dimatangkan oleh Teuku Chik
Tunong.
Entah itu tuduhan rekayasa atau bukan untuk melibatkan Teuku Chik Tunong,
akhirnya pada 5 Maret 1905 saat datang ke Lhokseumawe dalam sebuah urusan Teuku
Chik Tunong ditangkap oleh Belanda dan kemudian dijebloskan dalam tahanan.
Setelah dilakukan suatu pemeriksaan oleh van Vuuren akhirnya memutuskan bahwa
Teuku Chik Tunong dapat dibuktikan bersalah, akhirnya ia dijatuhi hukuman mati
di tiang gantungan. Vonis hukuman gantung ini akhirnya dibatalkan oleh Gubernur
Militer Aceh van Daalen di Kutaraja dan diganti dengan hukuman tembak.
Sebelum menjalani prosesi hukuman mati Teuku Chik Tunong terlebih dahulu
dipertemukan dengan istrinya tercinta Cut Nyak Meutia yang sedang hamil tua
(anak kedua) dan si buah hatinya Teuku Raja Sabi yang masih berumur lima tahun.
Sewaktu perjumpaan yang penghabisan dengan Cut Nyak Meutia, Teuku Chik Tunong
meminta istrinya untuk mendidik putranya, Teuku Raja Sabi, dengan dendam
terhadap kaphee, dan setelah ia dijatuhi hukuman Cut Nyak Meutia harus kawin
dengan Pang Nanggroe. Cut Nyak Meutia bersumpah saat itu akan melaksanakan
wasiat tersebut.
Dengan penuh ketenangan dan keyakinan pada pagi-pagi 25 Maret 1905 Teuku
Chik Tunong dibawa ke tepi pantai Lhokseumawe. Di sana telah ditempatkan satu
seksi tentara yang akan melaksanakan keputusan hukumannya, dan kedua kusuma
bangsa itu juga melarang mata mereka ditutupi, mereka sudah tidak sabar menuju
suatu tempat yang mereka idam-idamkan, yaitu Surga Jannatunna’im, dengan
mahkota syahid. Selamat jalan Teuku Chik Tunong… selamat jalan uleebalang Cut
Buah…
Selama dalam masa penantian lahir anaknya yang kedua dengan suaminya Teuku
Chik Tunong, Cut Nyak Meutia tidak pernah mengemukakan kepada siapapun ihwal
wasiat dari suaminya yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dia tetap
berada dalam keadaan yang penuh ketenangan serta tidak menampakkan sedikit pun
rasa dendam yang terpendam di dalam dadanya. Dalam masa itu dia banyak
mengadakan hubungan, baik dengan kawan-kawan lamanya seperti Pang Naggroe dan
pengikut lainnya yang setia, maupun dengan pihak saudara suaminya yang masih
berkuasa yaitu Teuku Chik Bentara dan Cut Nyak Asiah. Dia tidak pernah menuntut
apapun dari Teuku Chik Bentara yang merupakan hak suaminya, yang kini
sesungguhnya menjadi hak anaknya Teuku Raja Sabi, baik harta maupun kekuasaan.
Sikap ini menunjukkan seolah-olah Cut Nyak Meutia telah menyerah pada nasib serta
tidak berdaya meneruskan perjuangan. Padahal keadaan yang demikian hanya
bersifat semu, karena kenyataannya menjadi terbalik setelah Cut Nyak Meutia
melahirkan anaknya yang kedua dan ternyata meninggal pula.
Sepeninggal Teuku Chik Tunong rasa simpati rakyat terus mengalir kepada
Cut Nyak Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi. Sebagian penduduk yang turun
bersama Teuku Chik Tunong, kini secara terang-terangan memilihnya dan menentang
pihak uleebalang Teuku Chik Bentara yang masih memerintah. Rakyat ada yang
beranggapan bahwa Teuku Chik Tunong syahid karena turut didalangi oleh Teuku
Chik Bentara agar tidak ada lagi saingan dalam kepemimpinan di Keuretoe, karena
rakyat lebih menyukai Teuku Chik Tunong.
Setelah persalinan Cut Nyak Meutia, menurut tradisi di Aceh harus
beristirahat selama 44 hari (madeueng), yaitu tidur di atas balai-balai dan
menghadap api yang telah disediakan. Setelah menjalani masa persalinan selama
44 hari itu Cut Nyak Meutia kembali dalam keadaan suci jasmani dan rohani untuk
mendidik putranya Teuku Raja Sabi untuk tetap bermusuhan dengan Belanda. Tidak
diserahkan anaknya kepada pamannya Teuku Chik Bentara, yang menurut adat harus
mendidik serta membiayainya.
Sementara itu ia masih belum berani mengemukakan pesan yang kedua dari
suaminya kepada Pang Nanggroe, walaupun sebenarnya masa untuk itu telah sampai.
Sebagai seorang wanita, apalagi keturunan bangsawan, ia malu meminta seorang
laki-laki untuk menjadi suaminya. Hal ini tidak pernah terjadi di dalam
masyarakat Aceh dan perbuatan ini merupakan perbuatan yang pantang dilakukan
dan sangat tercela di mata masyarakat. Ia merencanakan jalan lain sebagaimana
lazimnya dikerjakan orang, yaitu melalui perantara.
Perantara tersebut adalah seorang ulama yang selalu berada di dalam
kelompok Teuku Chik Tunong, yaitu Teuku di Mata Ie. Kepadanya, Cut Nyak Meutia
menyampaikan segala maksud dan amanah, Teungku di Mata Ie menyatakan akan
berusaha untuk menyampaikan hal ini kepada Pang Nanggroe. Meski pada mulanya
Pang Naggroe menolak usul itu karena beralasan tidak sepadan, tapi setelah
diyakinkan oleh Teungku di Mata Ie, akhirnya Pang Nanggroe setuju dan akhirnya
keduanya dinikahkan oleh Teungku di Mata Ie.
Setelah keduanya menjadi suami-istri, bekas-bekas pengikut Teuku Chik
Tunong kembali menyatakan akan ikut bersama-sama untuk mengadakan gerilya,
karena mereka merasa ditipu oleh Belanda, karena dalam keadaan yang tidak
melawan Teuku Chik Tunong tetap ditembak mati. Sehingga mereka bertekad akan
tetap berjuang dengan pemimpin mereka yang baru, yakni Cut Nyak Meutia dan Pang
Nanggroe. Di samping itu ada Teuku Raja Sabi yang harus diselamatkan dari
Belanda.
Tidak lama kemudian mereka meninggalkan Keureotoe di waktu malam hari,
agar tidak diketahui Belanda, mereka dijemput Pang Lateh, saat meninggalkan
Keureuto Cut Nyak Meutia harus ditandu karena masih lemah habis bersalin.
Dengan dikawal oleh pasukan yang bersenjata lengkap Cut Nyak Meutia menuju
suatu tempat yang jauh dari jangkauan Belanda, yaitu kubu pertahanan ayahnya
sendiri Teuku Ben Daud Pirak, di hulu Krueng Jambo Aye. Di kubu ini Cut Nyak
Meutia disambut oleh ayah dan kakaknya serta panglima-panglima lainnya dengan
suka cita.
Sedangkan untuk keselamatan Teuku Raja Sabi penjagaannya dipercayakan
kepada beberapa orang anggota pasukan yang cukup berpengalaman, yang dijaga
dengan cukup baik. Kehadiran Cut Nyak Meutia dan putranya di wilayah
pertahanan, telah memperbesar laskar ayahnya dan kakaknya, dan memberi semangat
dan daya dorong buat mereka. Mereka juga didukung oleh ulama-ulama besar yang
mempunyai pengaruh yang luas seperti Teungku Chik di Paya Bakong dan saudaranya
Teungku Paya Bakong yang memakai gelar Teungki Chik di Mata Ie.
Teungku Chik Paya Bakong lebih dikenal dengan sebutan Tengku Supot Mata,
karena matanya yang tidak dapat melihat lagi. Dia dianggap oleh masyarakat
sebagai seorang yang “keramat”, ia mempunyai keahlian tidak bisa dilihat oleh
musuhnya dengan bersenjatakan sebuah bawar. Sedangkan saudaranya Teungku Paya
Bakong juga seorang ulama yang cukup terkenal sebelum tahun 1899. Ia disebut
juga Teungku di Mata Ie, yang kemasyurannya lebih dari Teungku Supot Mata.
Selain itu ada Teuku Mat Saleh yang sehari-hari bertugas mengajarkan mengaji
kepada Teuku Raja Sabi, kemudian ada Pang Lateh, Teungku di Barat Pang Johan
dan lain-lain.
Setelah tersiar kabar menghilangnya Cut Nyak Meutia dan Teuku Raja Sabi,
maka Belanda sangat marah, mereka mengadakan pemeriksaan dan memenjarakan
pemimpin masyarakat dan dilakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Hal
ini diketahui oleh Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia melalui dua utusan yang
membawa laporan, yaitu Neh Salem dan Lem Dalem. Setelah mendengar laporan
tersebut maka digelarlah suatu musyawarah dengan mengikutkan beberapa tokoh
yang berpengaruh. Diputuskan untuk melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi
Belanda. Ini merupakan awal dari perlawanan Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia
selama lima tahun kemudian sampai 1910.
Berkat tak tik dan strategi yang jitu kemenangan demi kemenangan di
peroleh oleh pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Pang Naggroe. Gempuran
yang dilakukan selalu menimbulkan ketakutan pihak kaphee. Dalam suatu
penyerbuan Pang Nanggroe dapat menewaskan dua orang dan empat orang luka-luka
dari pihak Belanda, selain itu mereka merebut sepuluh pucuk senapan dengan 750
butir peluru. Peristiwa itu terjadi pada 6 Mei 1909. Peristiwa ini telah
menggemparkan pucuk pimpinan Belanda baik yang berada di Lhokseumawe, Lhok
Sukon, dan sampai ke Kutaraja.
Dua puluh lima hari berselang, yaitu pada 15 Juni 1909, Pang Nanggroe
kembali membuat debut baru yang lebih menggemparkan Belanda. Dengan dua puluh
orang pasukannya ia menggempur sebuah bivak marsose di Keude (Idi). Dalam
penyerbuan ini pasukan kaum muslimin tidak begitu beruntung karena hanya bisa
membinasakan beberapa orang musuh saja dengan satu orang mati, delapan orang
luka-luka dan merampas satu pucuk senjata.
Dalam menghadapi kemelut politik di Keureuto dan untuk mengalihkan
perhatian rakyat dan memperkecil simpati pada Cut Nyak Meutia, pada tahun 1906
Belanda telah mengambil kebijakan dengan menghentikan Teuku Chik Bentara untuk
sementara waktu, tetapi siasat ini tidak membuahkan hasil. Sehingga pada 1907
Teuku Chik Bentara dikembalikan pada posisi semula.
Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia
membuat pemerintah baik yang di Kutaraja bahkan sampai ke Batavia semakin
gusar. Van Daelen selaku Gubernur Sipil dan Militer Aceh (1905-1908)
menggantikan van Heutsz, terkenal sebagai gubernur yang kejam dan berdisiplin
dalam menjalankan tugas-tugasnya di Aceh. Tidak mampu mengahdapi pasukan Pang
Nanggroe. Pemerintah Batavia menyadari, bahwa situasi yang mereka hadapi berada
dalam keadaan bahaya kalau tidak dipulihkan akan menyebabkan kehancuran semua
pekerjaan pasifikasi khusunya di daerah Aceh Utara (Keureutoe, Lhok Sukon,
Panton Labu, dan sekitarnya). Untuk menghadapi keadaan ini diputuskan untuk
membentuk sebuah koloni khusus, yang kemudian dinamakan dengan “koloni macan”
yang terdiri dari prajurit-prajurit tua yagn sarat pengalaman di Aceh.
Christoffel ditunjuk sebagai komandan pasukan. Tapi pasukan pilihan ini
akhirnya juga tidak berdaya menghadapi pasukan Pang Nanggroe.
Karena dianggap gagal dan terjadinya perubahan politik akhirnya
Chirstoffel, van Daelen meninggalkan Aceh. Di Kutaraja pada tahun 1908
digantikan Swart. Kebijakan baru ditempuh oleh Swart dengan mendekati rakyat
dan menghasut pasukan kaum muslimin, sehingga dengan demikian membuat pasukan
kaum muslimin mulai terpojok karena kurangnya distribusi makanan dari
masyarakat.
Dalam pertengahan tahun 1909 pihak Belanda dengan bersusah payah mencapai
pusat pertahanan pejuang Aceh di hulu Krueng jambo Aye, karena petunjuk
orang-orang gampong yang telah dijadikan tawanan. Terjadilah pertempuran yang
menyebabkan tewasnya Teuku Ben Pirak (abang Cut Nyak Meutia). Kemudian
pengejaran terhadap Pang Nanggroe semakin ditingkatkan.
Tahun-tahun terakhir Pang Nanggroe masih terus melaksanakan
penyerbuan-penyerbuan walaupun tidak sehebat masa-masa lampau. Di antaranya
dalam bulan Maret 1910 di daerah rawa-rawa Krueng Jambo Aye, kemudian disusul
lagi dengan bentrokan selanjutnya yaitu pada 30 Juli 1910 di daerah Buket Hagu
dan Paya Surian.
Tepatnya pada sore hari 26 September 1910, Brigade van Sloten yang telah
menempuh perjalanan yang cukup jauh dan berat di dalam rawa-rawa berada
kira-kira dua ratus meter dari pasukan Pang Nanggroe. Terjadilah tembak
menembak antara kedua pasukan, tiba-tiba Pang Nanggroe yang sedang memimpin
pasukannya mengundurkan diri sambil bertahan karena terkena peluru musuh. Pada
saat Pang Nanggroe jatuh, di sampingnya terdapat Teuku Raja Sabi yang berusaha
membantu. Pang Nanggroe yang mengetahui bahaya mengancam Teuku Raja Sabi. Dalam
keadaan luka parah sebelum ajalnya tiba, Pang Nanggroe membisikkan kepada anak
tirinya yang sedang membungkukkan kepala, “plueng laju……….jak sutot ma…………..lon
karap mate”. Yang artinya, lari dengan cepat meninggalkan tempat ini untuk ikut
dengan ibumu, saya sebentar lagi akan meninggal. Akhirnya Teuku Raja Sabi
berhasil menyelamatkan diri.
Kematian Pang Nanggroe yang dianggap watergues begitu berarti buat
Belanda. Dengan bersusah payah mayat Pang Nanggroe dibawa ke Lhok Sukon untuk
dipersaksikan kepada rakyat. Tetapi kematian Pang Nanggroe tidak menyebabkan
terhentinya perjuangan Cut Nyak Meutia. Ia kini memimpin sendiri perjuangan
selanjutnya.
Walaupun Pang Nanggroe telah syahid, Cut Nyak Mutia tidak bermaksud untuk
menyerah kepada Belanda. Ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama
para pengikutnya yang setia. Karena diketahuinya bahwa di daerah Gayo dan Alas
masih saja terjadi perlawanan rakyat menentang Belanda, maka Cut Nyak Mutia
berusaha menuju ke sana untuk menggabungkan diri. Tujuan utamanya ialah untuk
bertemu dengan Teungku di Mata Ie, salah seorang pemimpin perjuangan di Gayo
yang terus-menerus melakukan perlawanan. Dengan ditemanioleh empat puluh orang
pengikutnya yang setia Cut Nyak Mutia berangkat menuju ke daerah Gayo.
Sebulan sesudah syahidnya Pang Nanggroe, Komandan Datasemen Marsose
Belanda pada 22 Oktober 1910 memerintahkan Sersan Mosselman, seorang pemimpin
brigade yang terkenal dan telah cukup berpengalaman dalam perang gerilya, untuk
membuntuti pasukan Cut Nyak Mutia yang waktu itu diperkirakan di Lhok Reuhat.
Pada waktu itu kebetulan bulan puasa. Para pejuang yang selama ini berada
di gunung-gunung banyak yang turun ke gampong-gampong untuk menjenguk
keluarganya, menziarahi kuburan-kuburan para pemimpin perjuangan yang telah
syahid dan juga untuk mengurus berbagai kepentingan guna perlawanan terhadap
Belanda.
Mata-mata dipasang di setiap penjuru untuk membuntuti setiap pejuang yang
turun dari gunung dan memasuki gampong. Patroli yang dipimpin oleh Mosselman
bergerak kian kemari untuk mencari pasukan Cut Nyak Mutia. Setelah mendapat
berita pasukan yang dibuntuti berada di Lhok Reuhat, Mosselman sekitar pukul
empat pagi langsung menuju ke sana dengan kekuatan delapan pucuk karaben. Dari
peutua gampong ia memperoleh keterangan bahwa semalam sebuah pasukan pejuang
telah melewati kampungnya. Di dalam pasukan yang diperkiran berjumlah seratus
orang itu ada juga wanita dan anak-anak.
Mosselman segera melakukan pengejaran terhadap laskar pejuang Aceh
tersebut. Dengan mengikuti jejak-jejak kaki pejuang-pejuang Aceh. Mosselman
berusaha membuntuti terus pejuang-pejuang itu. Pada suatu tempat jejak-jejak
pejuang itu tidak menuju ke satu arah tetapi ke segala penjuru dan berbagai
arah yang berlainan. Hal ini membingungkan Mosselman dan serdadunya. Rupanya
laskar Aceh menggunakan siasat untuk menyesatkan lawan. Mosselman memilih jejak
kaki yang menuju ke timur untuk diikuti hingga sampai ke daerah yang
berawa-rawa yang dalam, yang tidak mungkin dilalui oleh manusia. Mosselman terpaksa
kembali ke tempat semula. Sementara hari telah malam dan tidak mungkin
dilakukan pengejaran yang belum tentu arahnya itu. Terpaksalah mereka
mendirikan bivak di tempat tersebut untuk bermalam.
Pada 23 Oktober 1910 pencarian jejak laskar pejuang Aceh diteruskan lagi.
Kira-kira pukul 10 ditemukan jejak yang menuju ke selatan. Jejak itu
diperkirakan telah dua hari lamanya. Perjalanan Mosselman ke arah selatan
kemudian kemudian dibalikkan ke arah timur, tetapi jejak-jejak itu menghilang.
Kemudian Mosselman bergerak ke arah tenggara ke sebelah kanan sungai. Di daerah
ini tidak satu pun jejak yang mereka dapati. Kembali mereka bergerak ke arah
timur melintasi pengkolan Krueng Peutoe. Pengejaran yang dilakukan pada hari
itu tidak membuahkan hasil.
Malam harinya Mosselman dan pasukannya bermalam di Alue Brien. Pada malam
harinya Mosselman mendengar adanya letusan di tengah malam. Mosselman
berpendapat bahwa letusan itu pasti ada hubungannya dengan acara kenduri arwah
Pang Nanggroe yang baru syahid itu, karena itu Mosselman berpendapat bahwa
pasukan yang sedang dibuntutinya itu pasti berada tidak berapa jauh lagi.
Pengejaran demi pengejaran yang sangat melelahkan yang dilakukan Mosselmen
turut dibantu juga oleh seorang pasukan pribumi yang berasal dari Menado yang
bernama Wokas, ia merupakan seorang pencari jejak yang lihai, yang akhirnya
pasukan Mosselman menemukan jejak pejuang-pejuang Aceh.
Setelah berhari-hari melakukan pengejaran dengan mengikuti jejak kaki
pejuang-pejuang Aceh yang kadang-kadang muncul dan kadang-kadang hilang
kembali, Mosselman tiba di suatu tempat di lereng-lereng pegunungan dengan
jurang-jurangnya yang curam. Mereka akhirnya berhasil juga melintasinya dan
kemudian tiba di sebuah alur yang kecil. Tiba-tiba Wokas menemukan jejak pada sehelai
daun yang di atasnya terdapat air ludah dari sirih. Ini merupakan suatu
keteledoran dari pasukan pejuang Aceh.
Setelah menemukan jejak itu, Mosselman dan pasukannya terus bergerak
mengikuti pasukan Aceh, dan kembali menemukan tempat istirahat lainnya dari dua
belas helai daun. Deperkirakan bahwa tempat itu dipergunakan pada malam hari
kemarin. Mosselman yakin bahwa ia semakin dekat dengan buruannya.
Karena pengejaran terus-menerus itu maka pasukan Mosselman berada dalam
keadaan letih sekali. Mereka juga sudah mulai jemu dan sudah banyak pula di
antaranya yang sudah luka-luka akibat lumpur dan batu kali.
Pada 25 Oktober 1910 pukul lima pasukan Mosselman bangun dan memasak
makanan. Setelah sarapan pagi dengan cepat mereka bergerak kembali hingga tiba
di daerah perairan Krueng Peutoe. Di sini salah seorang anak buah Mosselman
mengalami kecelakaan. Karena lapar, seorang marsose telah jatuh ketika pasukan
melintasi air terjun, tetapi keadaan tidak begitu parah. Berikutnya di sebuah
alur kecil mereka jumpai lagi sebuah tempat yang baru ditinggalkan pasukan
Aceh. Tempat ini terdiri atas enam belas buah pondok dari yang terkecil hingga
yang besar. Orang yang bermalam dalam tempat itu diperkirakan kurang lebih
enampuluh orang.
Pada jam dua belas pasukan Mosselman tiba di Krueng Putoe. Karena banyak
anggota pasukannya yang letih Mosselman memerintahkan agar Sersan Ribin dan
enam anggota lainnya berjalan lambat-lambat di belakang untuk menyertai dan
kemudian mengikuti Mosselman dari belakang. Agar tidak tersesat diharuskan
menyertai mereka.
Dengan beranggotakan sepuluh orang. Mosselman terus saja bergerak cepat
agar segera menemukan pasukan Aceh. Setelah bergerak agak lama, dua anggotanya
datang dan melapor bahwa mereka tidak sanggup lagi bergerak karena keletihan.
Mosselman kemudian meninggalkan kedua marsose yang keletihan itu dan
menggantikan dengan seorang marsose yang masih kuat. Ia terus saja bergerak.
Pada suatu saat pasukan Mosselman tiba di bagian selatan Gunung Lipeh dan
menurut perkiraannya tentulah pasukan laskar pejuang Aceh telah melintasi
sungai ke tepi kanan. Setelah bergerak kian kemari selama kurang lebih
seperempat jam sampailah mereka pada sebuah anak alur yang kecil. Di atas
sebuah tumpukan pasir kembali dijumpai jejak-jejak kaki akibat kurang
hati-hatinya salah seorang laskar pejuang Aceh.
Mosselman terus bergerak dan menyusuri sebuah alur, pada kira-kira pukul
empat sore mereka melihat asap mengepul ke udara. Ketika Mosselman sedang
bersiap-siap untuk mengintai, di hadapan mereka kira-kira dua ratus meter, ia
melihat seorang pejuang Aceh yang sudah sangat tua sedang dilarikan dengan
didukung oleh beberapa orang. Setelah Mosselman melihat bahwa orang yang sedang
dilarikan, mereka memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya dengan
melepaskan beberapa tembakan. Tembakan Belanda mengakibatkan orang tua tersebut
jatuh serta menimbulkan kepanikan pada pasukan Cut Nyak Meutia. Orang tua yang
syahid itu adalah seorang yang dianggap keramat yang bernama Teungku Supot Mata
(Teungku Chik Paya Bakong).
Dengan syahidnya Teungku Chik Paya Bakong, terjadilah tembak-menembak yang
seru antara pasukan Cut Nyak Meutia dengan pasukan Mosselman. Dalam
tembak-menembak ini posisi Mosselman lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan posisi Cut Nyak Meutia, karena mereka dapat berlindung di balik
batu-batu besar yang terdapat di sungai. Setelah melihat keadaan yang tidak
menguntungkan, segera Cut Nyak Meutia mengambil keputusan untuk menyerbu dengan
mempergunakan pedang, rencong dan lain-lain senjata. Ia sendiri tampil ke depan
dengan memberikan komando. Cut Nyak Meutia memegang pedang yang telah
dikeluarkan dari sarungnya sambil berteriak-teriak memberi komando kepada anak
buahnya menerkam musuh yang berusaha menangkapnya. Walaupun ia menyadari bahwa
dirinya telah terkepung rapat, tidak sedikitpun terlintas di wajahnya
keragua-raguan. Akhirnya tiga butir peluru Belanda yang dilepaskan Mosselman
mengenainya, sebutir di kepalanya dan dua butir di badannya. Ia rebah ke bumi.
Syahid lah Srikandi Aceh yang tidak pernah kenal menyerah itu sebagai pahlawan
bangsa, pada 25 Oktober 1910. Tempat syahid Cut Nyak Meutia bernama Pucuk
Krueng Peutoe (hulu Krueng Peutoe).
Bersama Cut Nyak Meutia syahid pula Teungku Paya Bakong yang lebih populer
dengan sebutan Teungku Mata Ie, Teungku Mat Saleh, dan lima orang pengawalnya.
Teuku Raja Sabi yang oleh Zentgraaf disebut sebagai “Putra Si Rajawali”
terlepas dari maut karena pada saat pertempuran sedang memancing di sungai.
Dengan syahidnya Cut Nyak Meutia perjuangan rakyat Keurueteo belum berakhir.
Karena Putra Si Raja Wali tetap meneruskan perjuangan bundanya.
Dengan demikian berakhirlah perjuangan Cut Nyak Meutia yang diteruskan
oleh anaknya, walaupun perlawanan di daerah Keureutoe dan Pirak tidak berhenti
sampai berakhirnya penjajahan Belanda di Aceh. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment