M. Junus Djamil dalam bukunya
yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh
tahun1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul
wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan dengan berdirinya
Kerajaan Linge di daerah Gayo.tulisan tersebut bersumber dari keterangan Raja
Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu
raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di
daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.
Menurut Junus Djamil di sekitar
tahun 1025 di daerah Gayo telah berdiri Kerajaan Linge pertama yang dipimpin
oleh seorang raja yang namanya “Kik Betul” atau“Kawee Teupat”. Menurut sebutan
orang Aceh, pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah
dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.
Raja Lingga I, yang menjadi
keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua
seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga,
Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau
ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana. Dia
dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan
mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal
dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti
kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga
tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun termurun.
Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di
Pasai.Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang
Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di
Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge.Sampai sekarang masih
terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui.
Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi
bungsunya MeurahMege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih
untuk mengembara.
Baru 500 tahun kemudian yaitu
sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal
sebagai Raja Linge ke XIII. Raja Linge ke XIII terkenal, karena selain
kedudukannya di Tanah Gayo, juga mempunyai kedudukan penting di pusat Kerajaan
Aceh dan di dalam Pemerintah Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.
Ketika Portugis menyerang dan
merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa
mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera, sedang keluarganya diungsikan
ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh telah ikut
membantu Raja Malaka tersebut. Hubungan kerja sama ini telah berkembang
demikian rupa hingga terjadi pula suatu perkawinan yang dapat dikatakan sebagai
perkawinan politik antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Seorang putra
Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang
putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula
dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh yaitu Raja Linge ke XIII.
Raja Linge ke XIII juga duduk
dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb), sejak Sultan Aceh
berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.Karena kedudukannya yang
penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan
kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di tanah Gayo.
Dalam tahun 1533 terbentuklah
Kerajaan Johor baru yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge
XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh.
Dan dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping
menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor telah menugaskan kepada Raja
Linge XIII untuk membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah
Kerajaan Johor. Pulau tersebut kemudian terkenal dengan “Pulau Lingga”. Selama
Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga ini dia memperoleh dua orang anak
lelaki, seorang di antaranya bernama “Bener Merie” dan seorang lagi adiknya
bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga inilah kemudian Raja Linge XIII meninggal
dunia.
Setelah meninggalnya Raja Linge
XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam
dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil, yakni Bener Merie dan Sengeda.
Ketika kedua-duanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal
keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge
XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.
Demikianlah Bener Merie dan
Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui abang dari ayahnya yaitu
Raja Linge XIV.Tetapi malang nasib mereka, karena kedatangannya tidak diterima
dengan baik oleh Raja Linge XIV,malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya
Raja Linge XIII. Kedua -duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah
Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik
Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda
disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada
masa Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571.
Dalam suatu upacara di Kraton
Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada
mereka untuk mencari “gajah putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan
Tanah Gayo,untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada
siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya.
Walaupun dengan rasa kecewa Raja
Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih
tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih
tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh.
Pada upacara penyerahan gajah
putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan
diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan ternyata gagal, karena gajah putih
tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasanya jinak telah
berubah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar Raja Linge XIV yang
hampir-hampir tewas.
Akhirnya Sengeda yang dapat
menjinakkan gajah putih tersebut, dan menyerahkannya kepada Sultan dengan
tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan
peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja
Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie.
Mendengar keterangan Sengeda ini,
Sultan sangat murka, dan segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV.
Kemudian dimajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi beruntung,
bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan
Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan
membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya diperingan sekedar diturunkan
pangkatnya dan membayar diet atau semacam denda.
Segera setelah peristiwa gajah putih
ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge
XIV yang khianat itu. Kisah atau legenda lain mengenai peristiwa “gajah
putih”dan kisah “Sengeda” adalah berdasar versi yang ditulis oleh seorang
penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenal Mude Kala dalam
bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hamper sama, tetapi isinya jauh
berbeda.
Perbedaan terpenting antaranya
adalah menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda tersebut
berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan dalam
kisah dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih
dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di
Gayo Laut.
Menurut versi Mude Kala, karena
jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener
Merie,maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut.Sengeda
dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.
Asal mula legenda Gajah Puteh
Di negeri antara hiduplah seorang
pemuda yang bernama Sangeda. Dia adalah putra Raja Linge. Sangeda adalah pemuda
yang santun, sopan, dan rendah hati. Ia sangat di cintai oleh rakyatnya dan di
hormati oleh putra-putra raja yang lainnya.
Sebenarnya Sengeda mempunyai
seorang kakak yang bernama Bener Meriah. Ia mengungsi ke hutan karena di fitnah
menentang sang Raja. Di hutan dia bertapa dan terus berdo’a. Ia meminta pada
yang Sang Khalik agar dia di ubah wujudnya menjadi seekor Gajah Putih. Hal ini
dilakukannya agar ia dapat mendekatkan diri dan diterima kembali oleh keluarga
besarnya.
Pada suatu malam, Senegda
bermimpi tentang seekor Gajah Putih. Gajah itu mengamuk dan mengobrak-abrik
Kerajaan Linge. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Rejee, gurunya. Sengeda yakin
bahwa Gajah Putih itu adalah jelmaan kakak kandungnya. Oleh karena itu, sang
Guru mengajarkan bagaimana cara menjinakkan Gajah itu tanpa membunuhnya.
Sengeda terbangun dari tidurnya,
ia enghafal semua gerakan yang gurunya ajarkan di dalam mimpi. Awalnya memang
seperti gerakan bela diri, seperti yang pernah di pelajarinya ketika masih Di
Bukit Belang Gelee. Tetapi semakin lama bergerak, ia terlihat seperti
menari-nari. Tarian inilah ang di sebut Tari Guel. Keesokan harinya, kehebohan
terjadi di Kerajaan Linge. Seekor Gajah Putih mengamuk di alun-alun kerajaan.
Para penduduk melempari dan menyoraki gajah itu sejak masuk gerbang kerajaan,
sampai ke alun-alun.
Raja memerintahkan kepada
pengawal kerajaan agar memanggil dan orang sakti untuk menjinakkan si gajah.
Namun, seluruh semua benda tajam dan ilmu sakti tidak mebuat gajah putih itu
bergeming sedikitpun. Sengeda merasa sedih, ia tahu bahwa gajah putih itu
adalah jelmaan dari abang kandungnya. “Ayahanda, izinkan ananda menjinakkan
Gajah Putih itu,” Kata Sengeda. “Benarkah ?” kata Raja Ragu. “Dengan izin
Allah, dan restu ayahanda,” Sengeda meyakinkan.
Sengeda berangkat ke alun-alun
diiringi teman-teman seperguruannya. Ia menaiki Gajah Hitam didampingi gurunya
Rejee. Sengeda memerintahkan para penduduk agar tidak lagi menyerang sang
Gajah.
Ia meminta para rakyat menabuh
bunyi-bunyian. Tambur (tamur = gayo), canag (gamelan), gegedem ( rapaii atau
rebana), sampai gong semuanya di tabuh. Para kaum ibu di minta untuk menabuhkan
lesung padi atau jingki. Bunyi-bunyian itu akhirnya dapat menenangkan hati sang
gajah putih itu.
Lalu, tiga puluh pemuda yang dari
berbagai desa diperintahkan untuk membentu setengah lingkaran mengelilingi
gajah putih sabil bertepuk tangan dengan irama yang beraturan dan memuji
kebaikan-kebaikan Bener Meriah. Perlahan-lahan Sengeda bergerak menari dengan
irama yang sangat perlahan. Gajah Putih putih itu mulai bangun dan bergerak
maju mundur di tempat. Lambat laun gerak tari mulau terasa berirama gembira.
Gerakan ini di kemudian hari dikenal dengan tari Redep.
Gajah Putih mulai melngkah
mengikuti Sengeda. Lalu irama musik pun makin riang, gembira dan mulai kencang
yang disebut Cicang Nangka. Berjalanlah gajah putih ke gerbang istana. Raja
Linge telah menunggu di pintu istana (Umah pitu ruang) untuk menyambut sigajah
putih. Ine atau ibu dari Sengeda dan Bener meriah bersebuka atau meratap dengan
keharuan menyambut anaknya.
Di depan Raja Linge, gajah putih
menunduk dan menghormat layaknya seorang anak yang sujud pada orang tua. Air
mata mengalir dari kedua belah matanya. Kemudian Sengeda menceritakan kepada
kedua ayah dan ibunya bahwa gajah putih ini adalah kakak kandungnya Bener
Meriah. Dia meminta dirinya diubah menjadi gajah putih karena difitnah oleh
teman-temannya. Kini ia ingin kembali kekeluarganya. Maka terharulah kedua
orang tuanya itu yaitu Raja Linge dan permaisurinya.
Kabar tentang gajah putih yang
sakti itu sampai di telinga Raja Aceh Darussalam. Raja Aceh sangat tertarik,
dan meminta agar Gajah Putih itu di berikan kepada Kerajaan Aceh Darussalam.
Walaupun berat, akhirnya Raja Linge menyerahkan gajah putih itu kepada Raja
Aceh, sejak saat itu gajah putih itu dipelihara oleh Raja Aceh sebagai binatang
kesayangan Kerajaan Darussalam.
Saat ini nama Bener Meriah
dijadikan sebagai nama sebuah Kabupaten di Serambi mekah, setelah memisahkan
diri dari Kabupaten Aceh Tengah. Gajah Putih atau Gajah Puteh di jadikan simbol
Ksatria Kodam I Iskandar Muda Nanggroe Aceh Darussalam (sebelum dipindahkan ke
sumatra utara bergabung dengan Kodam I Bukit Barisan). Sikap Bener Menriah dalm
menjaga dan membela kehormatan diri dan keluarganya dilambangkan dengan Ponok
(Badik) yang terselip di pinggang mepelai Pria.
Legenda Gajah Putih juga
dipercaya sebagai awal mula terciptanya Tari Tradisional Guel yang hanya boleh
ditarikan oleh laki-laki serta didampingi oleh guru rejee, gajah hitam, tujuh
orang wanita penari utama, delapan wanita penari pengiring, dan seorang penari
pria sebagai simbol Sengeda. Kerajaan Linge pernah berdiri di tanah gayo. Tapak
dan bekas kerajaan tersebut masih bisa di temukan di Daerah Linge.
TARI GUEL, Simbolisasi Legenda
Sengeda dan Gajah Putih
Seni secara harfiah diartikan
sebagai suatu keindahan. Sebuah karya seni mengandung rasa keindahan dan
memberikan kepuasan batin bagi para penikmatnya. Oleh sebab itu apapun yang
menimbulkan pesona keindahan dan rasa kepuasan batin dianggap sebagai suatu
karya seni.
Perasaan akan keindahan merupakan
kebutuhan setiap manusia. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, untuk
memenuhi kepuasan batin akan keindahan manusia memerlukan karya seni. Dalam
pemenuhan kebutuhan akan rasa keindahan tersebut manusia menciptakan sebuah
karya seni yang disusun berdasarkan pemikiran-pemikirannya sehingga menjadi
suatu karya seni yang indah, yang menimbulkan kesenangan untuk dinikmati.
Dalam menciptakan suatu karya
seni, seringkali seorang seniman dipengaruhi oleh berbagai latar belakang baik
lingkungan budaya maupun lingkungan fisik. Maka, karya seni yang diciptakan
oleh suatu masyarakat tidak akan sama dengan masyarakat lain, walaupun akan
dijumpai kemiripan. Karya seni yang dihasilkan oelh masyarakat pesisir pantai
tidak akan sama dengan karya seni yang diciptakan oleh masyarakat pegunungan
atau pedalaman. Masyarakat pesisir akan menciptakan karya seni yang diambil
dari kehidupan sehari-hari. Menangkap ikan, gemuruh ombak,pasir laut menjadi
insipirasi mereka. Dari inspirasi tersebut terciptalah nyanyian yang bertempo
cepat, tarian dengan ritme yang bergelombang.
Berbeda halnya dengan masyarakat
pegunungan atau pedalaman yang dalam kehidupan sehari-harinya bergelut dengan
suasana sepi, ritme kehidupan yang lamban, mereka menciptakan karya seni yang
mengambil inspirasi dari gesekan dedaunan, gerakan hewan, suara binatang dan
sebaginya. Karya seni yang terciptapun memiliki ciri yang khas yakni, memiliki
ritme yang lamban, menirukan gerak dan suara binatang.
Tari Guel seringkali dipentaskan
oleh masyarakat Dataran tinggi Gayo pada waktu pesta perkawinan. Mereka masih
mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah dalam Tari
Guel.
Legenda Sengeda dan Gajah Putih
Pada masa lalu di dataran tinggi
Gayo tinggal dua orang kakak beradik yakni, Sengeda dan Bener Meriah bersama
ibu mereka. Suatu hari kedua kakak beradik itu menanyakan kepada ibunya
siapakah keluarga mereka sebenarnya. Diterangkanlah oleh ibu mereka bahwa ayah
mereka bernama Raja Lingga ke XIII, raja yang berkuasa di negeri Lingga.
Sedangkan dari pihak ibu mereka adalah keluarga Sultan Malaka. Raja Lingga yang
sekarang berkuasa adalah Abang kandung seayah dengan mereka. Sehabis
menceritakan asal usul keluarga mereka sang ibu menyerahkan dua pusaka
peninggalan almarhun ayahnya Raja Lingga XIII berupa sebilah pedang dan
sebentuk cincin permata yang dalam dua benda pusaka tersebut terdapat tulisan
yang bertuliskan bahwa kedua benda tersebut milik Raja Lingga yang diwariskan
secara turun temurun pada keturunannya. Mendengar cerita tersebut keduanya
sepakat untuk pergi ke Lingga untuk menemui Abang dan para kerabatnya.
Setelah mendapat izin dari
ibunya, keduanya berangkat menuju Lingga. Sesampainya di sana dengan diantar
oleh penguasa setempat, keduanya menghadap Raja Lingga XIV dengan hati penuh
suka cita. Di halaman Umah Tujuh Ruang tempat Raja Lingga XIV bertahta mereka
sangat terkagum-kagum akan keindahan tempat tersebut. Sesampainya di dalam Umah
Tujuh Ruang mereka takjup akan keindahan dan kemewahan tempat tersebut. Mereka
kagum akan kebesaran saudara mereka sebagai Raja Lingga XIV. Dihadapan raja dan
para pembesar Kerajaan Lingga lainnya, mereka menceritakan maksud kedatangan
mereka yang ingin bertemu dengan saudaranya dan juga para kerabat yang lain.
Diceritakan pula bahwa mereka adalah anak dari Raja Lingga XIII dan juga
keturunan keluarga Sultan Malaka. Tidak lupa mereka memperlihatkan pusaka
pemberian ibu mereka kepada para hadirin sebagai bukti bahwa mereka keturunan
Raja Lingga XIII.
Mendengar pengakuan dari kedua
kakak beradik tersebut seluruh hadirin terharu dan merasa bersyukur bahwa
keluarga mereka telah kembali. Namun dalam beberapa saat mereka terkejut akan
ucapan Raja yang menuduh mereka berbohong. Menurut raja mereka bukanlah
keluarga Raja Lingga XIII. Pusaka yang mereka miliki memang benar milik Raja
Lingga XIII, tetapi pusaka tersebut telah dicuri oleh seseorang setelah
membunuh Raja Lingga XIII. Dengan demikian kedua kakak beradik tersebut adalah
pembunuh Raja Lingga XIII.
Mendengar tuduhan tersebut
tentunya kedua kakak beradik terkejut bukan kepalang. Mereka sangat sedih bahwa
mereka dituduh membunuh Ayah mereka. Atas dasar itu, raja pun memutuskan
hukuman pada keduanya berupa hukuman mati. Mendengar titah raja yang demikian
seluruh hadirin sangat terkejut. Para pembesar kerajaan berusaha meluruskan
permasalahan dan meyakinkan raja bahwa kedua kakak beradik tersebut memang
benar-benar anak Raja Lingga XIII. Dengan segala cara para hadirin yang terdiri
dari para pembesar kerajaan dan kerabat istana membujuk raja untuk merubah
keputusan, namun hati baginda raja telah membantu dan tetap memerintahkan kakak
beradik tersebut untuk dihukum mati.
Untuk melaksanakan hukuman mati
tersebut baginda raja memerintahkan seorang algojo untuk memancung Bener
Meriah. Sedangkan Cik Serule salah seorang pembesar kerajaan ditugasi untuk
memancung Sengeda. Atas perintah tersebut algojo yang berhati bengis ini
langsung menyeret Bener Meriah dari Umah Tujuh Ruang untuk dipancung ditengah lapangan.
Dalam sekejap akhirnya Bener Meriah merenggangkan nyawanya di tanggan algojo.
Pakaian Bener meriah yang berlumuran darah dibawa algojo dan diserahkan pada
raja sebagai bukti Bener meriah telah mati.
Sedangkan Sengeda dibawa Cik
Serule ke suatu tempat untuk dibunuh. Dalam perjalanan ke tempat tersebut hati
Sengeda hancur lebur menyaksikan kepergian saudaranya Bener meriah di tangan
algojo atas perintah raja yang tamak. Sengeda telah pasrah dibawa kemanapun
oleh Cik Serule.
Tanpa diduga sebelumnya oleh
Sengeda, ternyata Cik Serule tidak membunuh Sengeda bahkan menyembunyikan
Sengeda di suatu tempat tersembunyi. Untuk membuktikan bahwa perintah dari
baginda Raja Lingga XIV telah dilaksanakan, Cik Serule meminta pakaian yang
dikenakan Sengeda dan melumuri pakaian tersebut dengan darah binatang. Cik
Serule memerintahkan Sengeda untuk tidak pergi meninggalkan tempat
persembunyaian sampai beliau datang menjemputnya.
Setelah merasa aman, Cik Serule
keluar dari tempat persembunyian dengan membawa pakaian Sengeda yang telah
berlumuran darah. Di tengah perjalanan menuju Umah Tujuh Ruang, Cik Serule
bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang memprotes keputusan raja namun tidak
berani membantahnya. Sesampainya di Umah tujuh Ruang tempat berdiamnya raja,
Cik Serule menyerahkan pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah sebagai
bukti bahwa tugas membunuh Sengeda telah dilaksanakan. Melihat bukti tersebut
Raja Lingga XIV merasa gembira, beliau yang hatinya penuh diliputi rasa iri dan
dengki merasa puas musuhnya telah tiada.
Seusai menghadap raja, Cik Serule
memohon izin untuk kembali ke rumahnya. Sebelum sampai ke rumahnya Cik Serule
mampir ke tempat persembunyian Sengeda dengan membawa bahan-bahan kebutuhan
hidup. Cik Serule berpesan kembali kepada Sengeda bahwa Sengeda harus tetap
bersembunyi di tempat tersebut sampai dirinya kembali.
Di tempat persembunyian Sengeda
hidup seorang diri. Berbagai aktivitas ia lakukan untuk mengusir kesepian.
Namun, setelah cukup lama bersembunyi kesepian tetap menerpa Sengeda apalagi jika
ia mengingat peristiwa kematian saudaranya Bener meriah.
Ketika kesepian itu tidak dapat
terbendung lagi, Sengeda berniat meninggalkan tempat persembunyian, namun
sebelum sampai niatnya itu terlaksana, Cik Serule tiba mengunjungi Sengeda di
tempat persembunyian. Tanpa diduga oleh Sengeda sebelumnya, ternyata Cik Serule
telah mempunyai rencana untuk dirinya. Cik Serule menyuruhnya untuk tinggal di
kediaman Cik Serule. Selama tinggal di rumah Cik Serule Sengeda mengerjakan
tugas menjaga kebun dan ternak milik Cik Serule. Selama mengerjakan tugasnya
Sengeda bekerja sangat rajin. Melihat kerajinan dan kepatuhan Sengeda, Cik
Serule merasa sayang dengannya. Oleh sebab itu Sengeda telah dianggap anak oleh
Cik Serule.
Suatu hari dalam tidurnya Sengeda
bertemu dengan saudaranya Bener meriah. Dalam mimpi tersebut Bener meriah
memberi petunjuk agar Sengeda meminta izin pada Cik Serule untuk ikut
mengiringi Cik Serule ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai bekal ke
ibukota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda diperintahkan membawa sebilah pisau
kecil yang sangat tajam dan sebilah upih betung yang terbagus dan terlebar.
Sesampai di ibukota Sengeda
diharuskan mencari jalan agar dia dapat diizinkan memasuk ke dalam keraton
Darul dunia. Pada hari persidangan Sengeda diperintahkan untuk duduk di Balai
Gading (balai tempat istirahat raja-raja). Dalam mimpinya tersebut Bener meriah
memerintahkan Sengeda melukis seekor gajah di upih betung dengan pisau kecil
yang telah dibawa. Setelah selesai mainkanlah lukisan tersebut niscaya akan
datang seorang putri menghampiri diri mu. Jika putri tersebut bertanya ukiran
apakah itu, jawablah itu merupakan lukisan gajah putih yang cantik rupawan dan
kuat. Jika ditanya keberadaan gajah putih tersebut jawablah berada di negeri
Lingga dan jika Sultan bersedia menyuruhmu menangkap gajah putih tersebut, kamu
sanggup melaksanakannya. Jangan takut aku akan selalu membantu mu. Demikianlah
ucapan Bener meriah dalam mimpi Sengeda.
Terjaga dari mimpi tersebut,
Sengeda berpikir dengan keras. Dia sadar bahwa apabila melaksanakan amanat
Bener meriah dalam mimpinya itu, jika ketahuan maka nyawa Sengeda menjadi
taruhannya. Selain itu juga keselamatan Cik Serule juga ikut terancam. Namun setelah
mempertimbangkan masak-masak dan berdoa pada Allah s.w.t, Sengeda berteguh hati
melaksanakan amanat Bener meriah.
Pada suatu hari terdengar rencana
Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai utusan Raja Lingga
menghadiri sidang tahunan. Mendengar rencana tersebut Sengeda teringat akan
mimpinya, menghadaplah Sengeda pada Cik Surele dan memohon untuk diajak serta
dalam rombongan Cik Serule ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Mendengar
permohonan tersebut Cik Serule mengabulkannya. Maka berangkatlah Sengeda
beserta rombongan Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika telah berada di ibu kota
kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda berusaha mencari kesempatan untuk dapat masuk
ke dalam keraton Darul Dunia. Ketika seluruh pembesar kerajaan Aceh Darussalam
beserta utusan raja-raja taklukan sedang melaksanakan sidang, Sengeda berhasil
masuk ke dalam keraton Darul dunia dan menuju Balai gading. Sesampai di sana ia
memainkan lukisan gajah yang telah ia lukis di atas upih bambu yang telah ia
persiapkan dari rumah. Pada saat memainkan lukisan tersebut, Sengeda kagum,
karena pantulan cahaya matahari yang mengenai lukisan tersebut dan memantul
kembali ke tembok keraton membuat lukisan gajah tersebut menjadi sangat indah.
Sesuai dengan mimpinya, tidak berapa lama datanglah seorang putri yang ternyata
salah seorang putri Sultan Aceh. Sang putri menanyakan gambar tersebut pada
Sengeda. Diceritakan oleh Sengeda tentang gajah putih sesuai dengan petunjuk
Bener meriah dalam mimpinya. Mendengar cerita Sengeda, hati Sang putri terpikat
dan memohon pada ayahnya Sultan Aceh Darussalam untuk memerintahkan Cik Serule
membawakan gajah putih.
Mendengar permintaan putrinya,
Sultan Aceh memerintahkan Cik Serule untuk menangkap gajah putih yang dimaksud.
Mendengar permintaan Sultan Aceh, Cik Serule bingung bukan kepalang karena dia
tidak mengetahui pengetahuan sama sekali tentang gajah putih yang dimaksud.
Mengetahui hal itu Sengeda menceritakan seluruh mimpinya pada Cik Serule dan
menenangkan hati Cik Serule dengan menyatakan kesanggupannya untuk menangkap
Gajah putih dan mempersembahkannya pada Sultan Aceh.
Setiba di Lingga, Cik Serule
melaporkan perintah Sultan Aceh pada Raja Lingga XIV. Kemudian Raja Lingga XIV
memerintahkan pada seluruh rakyat untuk membantu Cik Serule menangkap gajah
putih.
Untuk menangkap gajah putih di
rimba Gayo, Sengeda memohon pada Cik Serule mengadakan kenduri sekedarnya dan
berdoa di makam saudaranya Bener meriah. Selain itu juga Sengeda meminta pada
penduduk kampung yang akan ikut menangkap gajah putih untuk membawa berbagai
macam alat musik untuk dimainkan setelah berdoa di makan Bener meriah.
Mendengar permintaan Sengeda, hati Cik Serule merasa bingung tidak mengerti apa
hubungan menangkap gajah putih dengan berdoa di makam Bener meriah. Namun
karena keyakinannya terhadap Sengeda, Cik serule mengabulkannya.
Pada hari yang telah ditentukan
berangkatlah Sengeda bersama Cik serule dan rombongan menuju makam Bener meriah
dengan membawa bahan makanan untuk kenduri serta tidak lupa membawa alat-alat
kesenian.
Sesampainya di makam Bener meriah
mereka berdoa pada Allah s.w.t agar niat mereka dapat terlaksana dengan baik.
Selesai berdoa mereka pun melaksanakan kenduri sambil memainkan alat-alat
kesenian yang telah mereka persiapkan. Di saat bersamaan, Sengeda memerintahkan
beberapa orang yang tidak membawa alat musik untuk menari. Dengan alunan sedih,
Sengeda menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya ditinggal saudara
kandungnya Bener meriah. Tari, syair lagu dan alunan musik yang sedih tersebut
membentuk suatu rangkaian yang sampai saat ini dikenal sebagai “Tari Guel”.
Ketika mereka sedang asik menari
dan memainkan musik, tiba dari arah rumpun bambu muncul seekor gajah putih yang
besar dan cantik. Melihat hal itu Sengeda memerintahkan para penduduk untuk
terus memainkan tarian tersebut dengan hati yang ikhlas. Mendengar suara alunan
musik dan gerak tari yang ritmis tersebut gajah putih bagaikan tersihir.
Sengeda dengan didampingi Cik serule menghampiri gajah putih yang telah jinak tersebut
untuk menangkap dan mengikatnya.
Keberhasilan Sengeda dan Cik
serule menangkap gajah putih membuat hati Raja Lingga XIV berbunga-bunga
membayangkan hadiah yang akan ia terima. Tanpa menunggu lama raja memerintahkan
Sengeda dan Cik Serule untuk mendampinginya mengantar gajah putih tersebut ke
ibukota kerajaan Aceh Darussalam untuk dipersembahkan pada Sultan Aceh. Selama
dalam perjalanan sekali-kali Cik Serule menepung tawari gajah putih tersebut
agar tetap jinak.
Singkat cerita sampailah
rombongan ke hadapan Sultan Aceh. Melihat gajah putihyang diinginkannya putri
sultan merasa gembira hatinya. Atas keberhasilan tersebut sultan memberikan
hadiah dalam upacara kebesaran. Sebelum acara penyerahan hadiah dilaksanakan,
Raja Lingga XIV menghampiri gajah putih untuk memamerkan pada seluruh negeri
bahwa dia telah berhasil menangkap gajah putih. Tanpa diduga, gajah putih
tersebut mengamuk dan menyemprotkan Raja Lingga dengan air lumpur. Untung saja
kejadian tersebut cepat diketahui oleh Sengeda dan Cik serule sehingga raja
lingga dapat diselamatkan dari amukan gajah.
Pada hari pemeberian hadiah,
Sultan Aceh yang bijaksana sangat tertarik akan kisah Sengeda yang telah
berhasil menangkap gajah putih. Maka ditanya pula asal usul Sengeda. Memenuhi
permintaan Sultan, Sengeda dengan didampingi Cik Serule dan Raja Lingga XIV
menceritakan dengan sebenarnya asal usul Sengeda dan tidak lupa diceritakan
pula peristiwa kematian saudara kandungnya Bener Meriah. Untuk memperkuat
cerita Sengeda, sultan memerintahkan untuk menghadirkan ibu Sengeda. Setibanya
di ruang sidang, ibu Sengeda menceritakan kembali asal-usul Sengeda. Mendengar
cerita Sengeda dan ibunya, murka lah baginda pada Raja Lingga XIV yang begitu
bengis telah memerintahkan algojo untuk membunuh saudara sendiri. Atas
perbuatannya tersebut sultan memutuskan menghukum mati Raja Lingga XIV.
Demikianlah legenda Sengeda dan
Gajah putih. Dari legenda inilah tari guel berasal. Begitulah sejarah dari
cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan,
namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik
Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali
sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam
begitu dekat dan bersahaja.
Sebagaimana yang telah disebutkan
di atas bahwa tari guel tidak bisa terlepas dari legenda Sengeda dan gajah
putih. Berbagai simbolisasi yang mewakili legenda tersebut terdapat pada tari
guel. Bahkan dapat dikatakan bahwa tari guel merupakan reinkarnasi dari legenda
tersebut.
Tari Guel dibagi dalam empat
babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung,
Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah
(Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan.
Sementara jumlah para penari
dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara
8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang
menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong.
Penari pria dalam setiap penampilannya
menjadi primadona dan merupakan simbol yang mewakili tokoh-tokoh dalam legenda
tersebut. Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang
mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat
persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe
(Pengantin Laki-Laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu
yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.
Tari Guel memang unic, tari
tersebut mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan
bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran
Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar
biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya mempengaruhi antara
Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan
kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar
biasa sepanjang tarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu
menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan
orang tuanya. Tidak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena
persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment