Sebuah kota mencerminkan value dan tingkat peradaban masyarakat di
wilayah tersebut. Tingkat peradaban dalam pembangunan kota antara lain
ditentukan oleh penggunaan teknologi dalam perencanaan pembangunan kota
tersebut. Membaca dan mendengar kebesaran sejarah Aceh, rasanya sulit
menemukan bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh masa lalu.
Diskusi tentang peradaban manusia dari primitive, modern,
postmodern dan seterusnya menimbulkan pertanyaan besar tentang apa dan
siapa sebenarnya Aceh. Apakah kebesaran peradaban Aceh adalah benar
adanya ? Atau pendahulu negeri itu hanya membesar-besarkan cerita
kepahlawanan dan kepemimpinannya tanpa ada bukti? Apa alasan untuk
membantah bahwa Aceh baru mengenal modernisasi dan sedang dalam proses
meninggalkan budaya primitif? Apa tidak mungkin sebaliknya? Apa pun
jawabannya, istana adalah salah satu simbol peradaban yang akan memberi
input terhadap value, ethic dan prinsip yang dipakai dalam pembangunan
Aceh pada masa lalu dan sekarang.
Pertanyaan umum yang muncul adalah: Jika Aceh pernah besar,
dimana bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh pada masa lalu? Berbicara
tentang kebesaran peradaban pada masa kerajaan, pertanyaan selanjutnya
yang muncul adalah: "Istana dan lingkungan sekitarnya seharusnya
merupakan tolok ukur bagaimana perencanaan fisik kota pada masa lalu
pernah diterapkan di Aceh. Pertanyaan itu terjawab oleh sebuah foto
istana Aceh yang dibuat Belanda dengan detil, sesaat setelah istana
direbut oleh pasukan Belanda saat agressi militer ke-2.
Berdasarkan Peta Istana Sultan Aceh Darussalam dan dari foto istana
Aceh, istana Aceh tersebut secara fisik dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Pertama, karakteristik umumnya adalah :
1. Memiliki batas yang jelas antara kawasan dalam dan luar
istana,Terbagi atas kawasan inti dan pendukungnya, Memiliki fungsi
sebagai benteng, pusat administrasi pemerintahan dan simbol
kemajuandalam bidang arsitektur, seni dan perencanaan kota, dan Bangunan
fisik bukan hanya kombinasi bangunan permanen dan tidak permanen,
tetapi juga dengan attribut landscape seperti pemandangan sungai,
gunung, pepohonan yang dipilih dengan sengaja (misalnya karena warna
daun, aroma, fungsi peneduh , dsb).
2. Kedua, batas komplek istana istana. Berdasarkan peta, kawasan diperkirakan memiliki batas sebagai berikut :
Depan kanan : pertemuan Krueng Daroy dan Krueng Aceh. Kiri depan : Pintu Masuk Mesjid Baiturrahman, atau sudut kiri ex halaman Hotel Aceh Samping Kanan : dibatasi oleh dinding di sekitar samping Kandang Meuh (Sekarang Komplek BAPERIS) Samping Kiri memiliki dinding pembatas yang diperkirakan memisahkan halaman taman Gunongan dan Pinto Khop dengan kawasan luar. Batas belakang kanan adalah sudut kanan lapangan Neusu, dulunya lapangan itu disebutkan difungsikan sebagai tempat menambat gajah. Menurut Peter Mundy, jumlah Gajah kerajaan sekitar 800 ekor, sehingga wajar jika panjang kawasannya lebih kurang sama dengan lebar kawasan istana. Batas belakang kiri adalah sudut kiri lapangan Neusu. Seluruh kawasan ini dipagari oleh dinding.
3. Ketiga, kawasan makam. Sebelah kanan sungai Kr. Daroy adalah
wilayah makam raja-raja dan pos pengawas. Sebelah kiri Kr. Daroy dapat
diklasifikasikan atas kawasan inti (dalam), taman, bangunan pendukung
pusat pemerintahan.
4. Keempat, kawasan inti. Kawasan ini merupakan tempat tinggal
Sultan, sekarang adalah kawasan pendopo (lihat no. 1 di peta) sebelum
dipisah oleh jalan di samping anjong Mon Mata. Hampir berbentuk segi
empat dengan ketinggian yang tidak sama dengan daerah bawahan. Peta
menunjukkan adanya batas antara kawasan inti dengan kawasan pendukung.
Bukti sejarah hanya menyatakan kawasan inti memilki dinding pemisah
dengan kawasan pendukung.
Foto-foto saat kawasan istana baru ditaklukkan menunjukkan adanya
kawasan dengan tanah yang lebih tinggi dan lebih rendah. Dengan
mengasumsikan bangunan istana Aceh mengambil inspirasi dari bangunan
istana negara sahabatnya yang meninggikan kawasan inti, diperkirakan
kawasan ini lebih tinggi agar bangunan istana pun menjadi bangunan
tertinggi sesudah Mesjid Raya Baiturrahman. Halaman depan istana
disebutkan oleh Bustanussalatin sebagai hamparan padang rumput untuk
pacuan kuda keluarga raja.
Bukti pendukung bahwa kawasan ini sengaja ditinggikan dapat
dilihat dari perbedaan tinggi kawasan Taman Putroe Phang dengan rumah
militer yang sejajar dengan Kawasan Pendopo.
Batas Kanan Depan : sebelum jembatan pertama dari dua jembatan
penghubung antara sebelah kanan dan kiri sungai. Bersebelahan dengan
pintu masuk kawasan Dalam
Batas Kiri Depan : wilayah kiri depan adalah wilayah kemiliteran dengan
bangunan yang tidak terlalu berbeda dengan istana. Hal ini disebabkan
karena jika raja memiliki lebih dari satu putra mahkota, mereka akan
menjadi pemimpin di kawasan kemiliteran. Bentuk arsitektur istana
seperti ini juga yang menyebabkan pasukan Kohler bingung menentukan
lokasi bangunan istana. Menurut Aceh Sepanjang Abad, pasukan Belanda
terjebak dalam pertempuran karena gagal membedakan antara lokasi istana,
Makam Poteujemaloy (sekarang jadi lokasi dapur dan tempat jemuran Bakso
Hendra Hendri), dan Komplek taman dan makam 12 Sultan pendiri Kerajaan
Aceh (Kandang XII
Batas kanan belakang adalah pertemuan Krueng Aceh dan Kr. Daroy.
Batas Kiri Belakang berhadapan dengan pintu masuk kawasan taman (Pinto
Khop)
5. Kelima, rumah keluarga Sultan. Kawasan Neusu adalah rumah
keluarga Sultan Aceh yang diambil seluruhnya oleh Serdadu Belanda
sebagai komplek tentara mereka. Selanjutnya, Belanda menggunakannya
untuk perumahan pegawai Kereta Api. Mengherankan, mengapa denah istana
di kawasan inti ada pada arsitek Itali yang melukiskan dengan detail
ruang raja, rumah pangeran, lokasi tiang bendera, dsb.
6. Keenam, Kawasan Taman. Bustanussalatin karangan Syiah Kuala
melukiskan Taman Darul Isky memiliki banyak bangunan pendukung (pagoda
cina, air mancur, , tiga buah tempat cui rambut putri, patung bejana
yang menumpahkan air ke sungai krueng daroydll). Makam di sebelah
gunongan adalah makam raja turunan Melayu dengan peti emas. Emas
tersebut sebagian masih di Museum Aceh dan sisanya di bawa ke Jakarta
awal 1990-an.
Taman ini pernah difungsikan sebagai tempat rekreasi bagi para
tamu terhormat kerajaan yang mengunjungi Aceh dan para pedagang besar
yang ingin membeli lada di Aceh. Misalnya Admiral De Bealieau dari
Perancis, yang memberi deskripsi detil tentang bangunan dan taman
istana. Sangat disayangkan, dokumen Bustanussalatin tidak memiliki lagi
lembaran yang menunjukkan kawasan penyimpanan harta kerajaan.
Bangunan atap pinto khop secara sengaja atau tak sengaja hampir
sama dengan bangunan istana Cina, Korea, Jepang yang memiliki dasar
arsitektur yang sama.
Atap Bangunan Pinto Khop
7. Ketujuh, dinding istana. Belum ada bukti kuat tentang tinggi dinding
istana. Namun, peta yang dibuat pedagang spanyol di bawah
mengindikasikan dinding lebih tinggi dari gajah, atau sekitar 3-4 meter,
sedangkan untuk gerbang lebih tinggi. Arsitektur gerbang dan penggunaan
gajah di Aceh tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Mughal. Sehingga,
bukan tidak mungkin jika gerbang istana Aceh mengikuti gaya gerbang
Mughal.
berdasarkan foto yang tampak Luar Istana Aceh, Lukisan Pedagang
Spanyol abad 16.
Foto yang dibuat Peter Mundy juga menunjukkan bahwa bangunan dalam
istana sudah mengenal penggabungan bangunan permanen dan tidak permanen.
Misalnya, bangunan untuk menonton adu gajah, ada bangunan berbentuk
benteng yang di atasnya memiliki tiang-tiang tanpa dinding untuk tempat
duduk raja dan dayang-dayangnya.
Untuk dinding Mesjid raya, ini mengisyaratkan bahwa dinding
kompleks mesjid raya lebih tinggi dari gajah, sehingga pelukisnya Peter
Mundy hanya bisa membuat sketch atap Mesjid Raya saja.
8. Kedelapan, sungai sebagai bagian dari istana dan benteng.
Banyak ahli sejarah sudah memberikan bukti adanya kaitan antara
kebudayaa Aceh dengan Mughal di India. Keberadaan sungai sebagai bagian
dari benteng dan istana juga ditemukan dalam pembangunan Taj Mahal dan
Benteng Agra di India.
Mungkin mengaitkan bangunan Taj Mahal dengan istana Aceh
terdengar berlebihan. Namun, pembangunan Makam Emas untuk Sultan
Iskandar Tsani sangat bernuansa kisah dibalik Taj Mahal. Bedanya,
Tajmahal adalah bangunan persembahan raja untuk permaisuri, sedangkan
bangunan makam dan taman disamping gunongan adalah persembahan sang
permaisuri, Tajul Alam Safiatuddin, kepada suaminya. Makam itu diyakini
telah dijarah habis-habisan namun lokasinya tepat di pinggir Krueng
Daroy. Tidak jauh beda dengan ide pembangunan Taj Mahal tepat di pinggir
Sungai Agra.
Diskusi :
Istana Aceh mengenal zona inti dan pendukung, yang dipisahkan dengan bangunan permanen, non permanen, sungai dan tumbuh-tumbuhan. Kawasan istana ikut memberi kontribusi terhadap kesehatan lingkungan kawasan pendukungnya, dan luar kawasan istana. Penderita pertama dari pencemaran sungai Krueng Daroy yang bermuara Mata Ie adalah keluarga kerajaan. Sehingga, kebersihan sungai menjadi concern kesultanan. ini menarik mengingat lingkungan sehat sudah menjadi concern di Aceh sejak abad XVI. Fasilitas kerajaan banyak yang didirikan di sepanjang sungai yang mengalir ke komplek istana. Mempertimbangkan pentingnya pengamanan sungai, misalnya untuk antisipasi banjir dan racun yang ditebarkan musuh, tidak mungkin jika sungai ini tidak diawasi oleh aparatur kerajaan. Situasi ini mengindikasikan bahwa konsep one river one management tidak mungkin belum dipraktikkan dalam management kota di Aceh tempo dulu. [FJ, Aceh Initiative]
==sumber
[1] A. Hasymi (1994) Kebudayaan Aceh dalam Sejarah [2] Reid, Anthony (1996) Indonesian Heritage; Early of Modern History [3] Aceh Sepanjang Abad *[www.artscraftindonesia.com artscraftindonesia]
0 komentar:
Post a Comment