Monumen Radio Rimba Raya adalah
sebuah tugu yang dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang
berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda.
Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada
27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di kampung Rime
Raya, kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain menjadi
tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang menarik untuk
dikunjungi.
Sejarah Radio Rimba Raya
Menurut sejarahnya, perangkat
Radio Rimba Raya itu dibeli pada Jhon Lee (seorang blasteran Manado-China) yang
menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba
Raya itu dibeli di Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota
Bireuen, perangkat itu dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai
komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara, oleh
pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat
itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah.
Sebelumnya, perangkat radio itu
direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bius, kecamatan Silih Nara. Namun
karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak aman, penjajah Belanda sedang
memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka peralatan tersebut
ditempatkan di kampung Rime Raya.
Setelah melewati perjuangan berat
dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya awal Desember 2008, Radio Rimba
Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada
dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan
kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan
negara dari penjajahan Belanda.
Peran Dalam Kemerdekaan Indonesia
Pada awalnya, selain mengudara
untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim
berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan
bersenjata.Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu,
menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara,
radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat
perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia
melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di
dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio
Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap
hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu
selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga
dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di
New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita
yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi
tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio
Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan
nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan
satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia. Radio ini terus berperan
sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda
pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya
Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi
yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan. Di
Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan
kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah
gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayung (sekarang pusat kota). Pemancar
di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayung, dihubungkan dengan kabel dan selain
juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu
Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu
tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19
Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar
diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah
yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu
dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan,
mengingat risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus
mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko
yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya,
Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Sebelumnya, untuk mendapatkan
radio itu Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya
(Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie
pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947). Perangkat radio dan kelengkapannya
itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai
”Yu”, Langsa, Aceh Timur.
Radio Rimba Raya itu juga sempat
dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai
pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh
pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah
Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan
kemerdekaan di tanah air.
Hingga tahun 1950, Radio Rimba
Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan,
RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan
radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.
Sekarang ini perangkat
peninggalan Radio Rimba Raya itu tidak diketahui jejaknya, apakah masih ada
atau sudah hilang sama sekali,. Kalaupun masih ada perangkat radio itu,
kemungkinan tersimpan di Museum Jogyakarta
Radio Rimba Raya berjasa sangat
besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda
ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah
dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Aceh
Tengah. Bahkan, siaran Radio Rimba Raya saat menyampaikan berita tentang
Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di
Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina)
bahkan Australia dan Eropa sehingga negara-negara luar mengetahui bahwa
Republik Indonesia masih ada.
Pada awalnya, selain mengudara
untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim
berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata.
Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan
lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Dalam tempo
enam bulan mengudara, dia telah mampu membentuk opini dunia serta
"membakar" semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh
beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia
yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri
akbar di Aceh.
Radio Rimba Raya setiap hari juga
melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain
diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip
oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang
Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio
Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke
wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio
Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan
nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan
satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai
saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27
Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment