Lonceng Cakra Donya merupakan
benda bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Menurut
sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho
yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan
China dengan Kerajaan Aceh.
Cakra Donya adalah lonceng yang
berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm
dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala
atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya
terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina
bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah
dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat
dibaca lagi.
Pada dasarnya Cakra Donya adalah
nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra
Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis
di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung
dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam
kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna
mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya
dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut. Rantai Cakra
Donya panjangnya 9,63 cm adalah rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk
menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid
Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915.
Sejarah
Catatan sejarah tertua dan
pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber
tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556),
disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra bagian utara pada
abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha(sebelum masuknya agama
Islam).Pada abad ke 13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan
zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282,
diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin)
utusan ke Tiongkok. Di dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam
pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai
kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li
(Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao
(penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun
1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai negara Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16.
Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok
dengan negara-negara Timur Tengah, di mana para pedagang dari berbagai negara
mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau
Timur Tengah, India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah
disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batutah/Batistuta (abad 14) dalam
perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal
dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak
barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada
abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan
memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai
pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan
Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam
keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh
para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau
menetap di Pasai. Di kota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa,
seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja
Pasai.
Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh
Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13.
Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai
bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan
dan multietnis. Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting
yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra
Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh
Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada
waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat di seluruh
Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Kekuasaan Aceh pada saat itu
meliputi Barus, Tiku, Pariaman(Minangkabau), Riau, Siak, sebagian Bangkahulu
dan sebagia Semenanjung Malaya(Johor, Pahang, Perak). Aceh meluaskan kekuasaannya
dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan
sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional.
Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia,
Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll. Pada saat itu
Aceh menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman. Di kota kerajaan
ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan perkampungan dari
berbagai bangsa, seperti kampong Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali
dan Eropah lainnya. Kota Banda Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan
yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh
juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
Pada waktu itu orang Aceh telah
menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di
Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis).
Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan
Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah
dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang
Tionghoa. Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama
Sultan Iskandar Tsani (1636-41).
Periode pemerintahan Iskandar
Tsani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode
pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik
ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan
dan ajaran Islam.
Pada jaman Iskandar Tsani ini, di
ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman
Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan
Nuruddin ar-Raniri(orang Ranir, Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf).
Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai
Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan orang Tionghoa di bidang
perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17.
Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada
juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali
datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-kapal (Jung)
Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok).
Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin
lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
Bersama dengan kapal itu juga
datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll.
Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam
lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual di depan pintu rumah. Maka
selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina"
yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya
orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan
baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa
diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard).
Cakra Donya
Lonceng atau genta yang terkenal
dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium
Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh
Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya
lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra
Donya"
(Cakra Dunia) waktu melawan
Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya. Kapal Cakra Donya ini
bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar,
sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (Teror Dunia).
Kemudian Loncengyang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat
dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Raya Baiturrahman
yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini
dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang
(halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah
kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti
dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Lonceng raksasa Cakra Donya
merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi yang disimpan
di Museum Aceh. Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan sebuah bingkisan Maharaja
Cina yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Di atas Lonceng
tersebut tertera aksara Cina "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo". [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment