Peusangan adalah sebuah Kecamatan yang terletak di wilayah
timur Kabupaten Bireuen, Kabupaten Bireuen sendiri dulunya merupakan bagian
dari wilayah Kabupaten Aceh Utara. Sejarah Aceh Utara sendiri tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu
Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan
tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511
sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa
penjajahan Belanda.
Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904,
yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh
Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander
Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah
Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang
dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust
Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah
Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh
Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara). Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi
dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur
(Wedana) yaitu:
1. Onder Afdeeling Bireuen
2. Onder Afdeeling Lhokseumawe
3. Onder Afdeeling Lhoksukon
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa
Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah
dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang
diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan
Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun
dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara
Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak
sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia
Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara
Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak
tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/
Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya
Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6
tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga)
Kewedanaan yaitu :
1. Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah
kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah
Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah
bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah
Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah
menjadi Kabupaten Bireun.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala
Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga
daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat
II Aceh Utara di Bireuen.
Peran Peusangan dalam pergerakan dan perubahan di Indonesia
juga tidak boleh dinafikan yaitu pada tanggal 5 Mei 1939 diadakan rapat di
sebuah gedung yang sekarang dikenal dengan Universitas Almuslim oleh sekelompok
ulama-ulama yang ada di Aceh, yang kemudian lahirlah Organisasi PUSA (Persatuan
Ulama Seluruh Aceh), yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA
berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar
terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini
bergabung dalam MIAI.
Menceritakan Negeri Peusangan ingatan kita tidak terlepas
dari romatika sejarah hikayat Malem Dewa, dan hubungannya dengan ”Negeri Di
Atas Angin” atau negeri ”Antara”. Mungkin kalau sekarang termasuk wilayah Tanah
Gayo Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon.
Kata Leuser, adalah nama gunung di tengahnya. Sedangkan kata
“Antara” ini mungkin bisa diartikan letaknya di antara kedua kabupaten Tanah
Gayo ini. Tetapi, di Aceh, Tanah Gayo Kabupaten Aceh Tengah juga sering disebut
sebagai negeri “Antara” atau “Negeri di Atas Angin”. Nama ini erat kaitannya
dengan legenda rakyat Aceh Tengah, Malem Dewa yang mengisahkan tentang
percintaan Malem Dewa dengan Peteri Bensu (Putri Bungsu) yakni seorang bidadari
yang nyasar ke Kerajaan Antara dan sayapnya untuk terbang disembunyikan Malem
Dewa yang jatuh cinta kepadanya.
Kisah Malem Dewa dan Peteri Bensu, adalah kisah cinta abadi
tiada taranya. Indah dan penuh dengan pengalaman suka duka serta rintangan
berat yang hampir saja berakhir karena ayah dan ibu Peteri Bensu berupaya
mengembalikan anaknya ke Kerajaannya di langit. “Negeri Antara” dalam legenda
Malem Dewa rakyat Aceh Tengah berada di sebuah gunung di atas Danau Laut Tawar.
Malem Dewa adalah putra seorang Raja Peusangan yang sekarang
masuk dalam wilayah Kabupaten Bireun. Malem Dewa sedang mandi di sungai dan
tiba-tiba ia mendapatkan sehelai rambut panjang hanyut di sungai. Dan ia
menelusuri Sungai Krueng Peusangan untuk mencari pemilik rambut yang ternyata adalah
milik Puteri Bensu.
Kisah di atas, entah benar atau sekedar mitos, yang pasti
hikayat tersebut sudah melagenda di dalam kultur masyarakat Peusangan, tetapi
hampir setiap orang Peusangan meyakini tentang kebenaran hikayat tersebut.
Sampai-sampai dulu dikisahkan oleh beberapa orang tua yang ada di Peusangan
setiap orang yang ingin menutur atau menceritakan tentang hikayat Malem Dewa
terlebih dahulu harus mengadakan kenduri untuk anak yatim. Yang paling terkenal
dan ahli dalam hal menceritakan hikayat Malem Dewa ini adalah almarhum Tgk.
Adnan PMTOH, konon kabarnya seniman tutur ini dalam menceritakan hikayat Melem
Dewa bisa memakan waktu tiga malam pertunjukan yang dihadiri oleh masyarakat.
Walaupun hikayat Malem Dewa ini menurut beberapa orang hanya
sekedar mitos, tapi masyarakat sangat meyakini itu adalah cerita yang
benar-benar terjadi, sehingga di daerah Awe Geutah yang terletak kurang lebih
10 kilometer arah selatan Kota Matangglumpangdua sebagai ibukota Kecamatan
Peusangan, sampai sekarang orang meyakini ada tupai peliharaan Malem Dewa,
orang-orang di sana menyebutnya ”Tupai Teungku Malem”.
Menurut cerita turun temurun, dahulu semasa Ampon Chiek
Peusangan masih ada setiap penduduk diwajibkan untuk menanam pohon buah-buahan
di depan rumahnya, terutama giri (jeruk bali), sehingga tidak heran sampai
sekarang jeruk bali telah menjadi komoditas khas Peusangan. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment