Oleh: Darmansyah
Telapak kaki Geureute, tengah hari, di ujung siang pekan kedua September. Terik matahari menyengat ke ubun-ubun. Gradasi langit yang dipantulkan bentangan samudera menebarkan uap air dan menyebabkan jarak pandang menjadi balur. Sebuah truk tronton yang baru saja melintas melenguhkan auman ketika si sopir menurunkan handle ke angka satu dan menggila pedal gas untuk menerabas liuk pinggang gunung simbol “anak ketelatan” itu.
Di telapak kaki Geureute, terdengar dentum ombak samudera ketika menerjang ceruk jemarinya dan menyisakan lenguh bunyi kresek-kresuk. Bunyi yang berpadu menjadi harmoni ketika angin laut mengibas dedaunan pepohonan bukit gunung cadas itu.
Bunyi yang menjalar untuk mengabarkan kepada pengunjung bahwa di sejumput tanah sisa, yang kini berdiri bangunan peristirahatan dengan nama Taman Persahabatan, pernah didatangi “hantu laut” tsunami, yang memakan tanah perkampungannya dan mewakafkan sebuah desa Kuburan Syahid ke pelukan laut. Tsunami yang mengirimkan ratusan jenazah anak-anak asoe lhok-nya untuk berjirat di kaki langit samudera.
Datanglah ke taman hadiah USAID itu. Sebuah taman yang nyaris lengkap fasilitasnya, tapi dibiarkan terbengkalai. Taman Persahabatan di sisi kanan, kalau dari Banda Aceh, yang banyak pemudik tak tahu lokasinya. Taman yang letaknya persis di telapak kaki Geureute sebelum naik pendakian. Pasnya sebelum melewati jembatan kecil di pangkal gunung.
Datanglah ke sana untuk menyerap serpihan kisah humbalang laut yang tak menyisakan satu pun penduduknya di pagi Minggu, 26 Desember 2004 silam, ketika sakratul maut menjemput mereka. Datanglah ke telapak Geureute itu di hari-hari sekarang ketika destinasi baru telah mengubah garis pantainya dan pohon cemara laut mulai merimbun meneduhkan bangku-bangku di sepanjang pantainya.
Nikmatilah pantai berpasir putih memanjang dari ujung kota kecamatan, Lhong, dan saksikan juga heritage dari gundukan tanah dan puing-puing jembatan yang membentuk pulau kecil di tubir laut. Saksikan gradasi yang menguap bersama pantulan matahari siang yang menjilat samudera tak bertepi. Jangan tinggalkan tempat itu ketika matahari sore mencapai kaki langit dan mengumbar warna kekuningan di ufuk barat serta pelototilah jilatan cahaya memanjang bak lenggok tarian meseukat di sekujur lautnya.
Tak memerlukan waktu panjang untuk mencapai telapak kaki Geureute di Kilometer 63 dari Banda Aceh itu. Butuh 45 menit jarak tempuh untuk tiba di sana dengan melintas dua gunung, Paro dan Kulu. Dua gunung yang bersambung usai melintasi Desa Leupeung, Layeun dan Lhok Seudu yang keindahannya ditelantarkan pejabat negeri ini.
Nikmatilah jalan sensasi untuk tiba di sana, yang dimulai dari Lhoknga hingga ke Lhong. Jalan sensasi yang dibangun dari uang hibah USAID, lembaga donor Pemerintah Amerika Serikat, sebesar 282 juta US dollar sepanjang 150 kilometer itu berujung di Calang, Ibukota Aceh Jaya.
Jalan ini, istilahnya kerennya disebut dengan jalan interseksi. Jalan yang memangkas banyak kelokan dengan membelah bukit dan gunung kecil, menimbun jurang untuk bisa dipacu hingga 200 kilometer perjam di ruas-ruas tertentu. Biaya perkilometernya, kalau dirata-ratakan Rp 23 milyar. “Jalan termahal dan jalan terbaik non-tol di negeri ini,” kata Hermawan Saputra, pejabat Dirjen Bina Marga.
“Jalan ini berkonstruksi sekelas tol, tapi tak berbayar. Mana ada jalan negara semahal itu kalau dibiayai dari rupiah. Ini jalan dengan lembaran dollar. Ya, pantas bagus,” kata pejabat itu setengah berkelakar.
Jalan itu juga telah memutus rantai isolasi selama enam tahun, usai tsunami 2005 hingga 2011, ke pantai barat Aceh. Isolasi yang sempat memulangkan ingatan anak-anak “ketelatan”—eehhh… anak- anak selatan—ke sebuah masa ketika ayahnya pergi ke Koetaradja dengan menyeberangi tujuh rakit dan meniti jalan borok hingga enam hari enam malam serta pernah menghancurkan generasinya menjadi generasi tukang tenung yang berpenyakit rendah diri.
Untuk tip melintas di jalan tol non-bayar ini, terutama untuk sampai di telapak Geureute, hati-hati dengan sapi berkeliaran di sepanjang lintasan. Bermula dari Lhoknga, Leupung hingga sepanjang ruas Lhong. Ratusan kecelakaan telah terjadi di lintasan ini dengan kasus menabrak sapi atau menghindar kerumunannya, terutama perjalanan malam hari.
Di sebuah kesempatan, pertengahan tahun lalu, ketika kami bertemu dengan Donald Albraight, petinggi USAID, ia mengejek dengan gaya canda sembari mengatakan, “Saya telah menemukan kandang sapi terpanjang di dunia.” Sedikit terkekeh ia membisikkan kalimat setengah seloroh, “Mengurus sapi saja pemimpin Anda nggak becus, bagaimana dengan mengurus……”
Kaki Geureute dan Geureute sendiri adalah sensasi destinasi perawan yang dialpakan untuk dijual sebagai wisata alam dan pantai. Di sini ada perpaduan keindahan alam dengan serpihan kisah ngilu ganasnya gergasi laut memakan isi negeri. Di sini juga ada heritage onggokan gampong yang jadi pulau kecil di lepas pantai. Ada kerangka jembatan yang dulunya bagian jalan negara di ujung tubir.
Taman Persahabatan di tumit Geureute dengan fasilitas mushala dan rumah peristirahatan pengunjung, lahan parkir beraspal mulus dan cemara laut yang merindangi bangku-bangku semen di pantainya, kini seperti tak bertuan.
Ketika di tengah hari, minggu lalu itu, kami singgah dengan nasi bungkus yang kami beli di Calang, dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, tiga bis ukuran medium sedang bertakziah di sana. Serombongan penumpangnya hanya bisa berhuuu….hhuuu…ria tanpa ada pemandu yang memberitahu nama gampong beserta riwayat sejumput tanah dan pantai yang masyaallah indahnya itu. Inilah dosa bawaan kita terhadap tanah keindahan diabaikan. Sebuah kisah sedih bagaimana pejabat yang anak negeri ini sendiri menelantarkan sebuah kampung pecahan “kerikil surga” yang dicampakkan ke bumi.
Kampung yang dikatakan Alfian, anak Desa Kuburan Syahid yang luput dari kematian di hari humbalang itu, melumatkan tanah milik indatunya karena ia baru saja menikah ke Bireuen. Alfian yang kami jumpai di sebuah kedai kopi di Banda Aceh lewat informasi seorang kawan selalu menghela nafas panjang ketika bercerita tentang musnahnya garis turunan. Alfian yang mengenang sebuah kuburan keramat tempat penumpang menyelipkan rupiah di batu nisannya dan sebuah rangkang tempat pejalan melakukan shalat yang dijamak.
Anak muda itu juga mengenang tentang barisan rumah makan berdinding papan lapuk tapi eungkot-nya gurih bisa mengusik ingatan. Kenangan Alfian kecil yang pernah bekerja di sebuah warung di sana.
Itulah tanah perpaduan yang menyatukan keindahan pantai, lekuk gunung cadas, gradasi warna langit dan warisan bermaklumat tentang telah tamatnya sebuah babak kehidupan di negeri bertuah ini. Babak yang meninggalkan serpihan kisah yang kini tak lagi didendangkan semacam hikayat. Dendang hikayat yang dulu menjadi petuah di cerita Malem Diwa. (nuga.co)
Telapak kaki Geureute, tengah hari, di ujung siang pekan kedua September. Terik matahari menyengat ke ubun-ubun. Gradasi langit yang dipantulkan bentangan samudera menebarkan uap air dan menyebabkan jarak pandang menjadi balur. Sebuah truk tronton yang baru saja melintas melenguhkan auman ketika si sopir menurunkan handle ke angka satu dan menggila pedal gas untuk menerabas liuk pinggang gunung simbol “anak ketelatan” itu.
Di telapak kaki Geureute, terdengar dentum ombak samudera ketika menerjang ceruk jemarinya dan menyisakan lenguh bunyi kresek-kresuk. Bunyi yang berpadu menjadi harmoni ketika angin laut mengibas dedaunan pepohonan bukit gunung cadas itu.
Bunyi yang menjalar untuk mengabarkan kepada pengunjung bahwa di sejumput tanah sisa, yang kini berdiri bangunan peristirahatan dengan nama Taman Persahabatan, pernah didatangi “hantu laut” tsunami, yang memakan tanah perkampungannya dan mewakafkan sebuah desa Kuburan Syahid ke pelukan laut. Tsunami yang mengirimkan ratusan jenazah anak-anak asoe lhok-nya untuk berjirat di kaki langit samudera.
Datanglah ke taman hadiah USAID itu. Sebuah taman yang nyaris lengkap fasilitasnya, tapi dibiarkan terbengkalai. Taman Persahabatan di sisi kanan, kalau dari Banda Aceh, yang banyak pemudik tak tahu lokasinya. Taman yang letaknya persis di telapak kaki Geureute sebelum naik pendakian. Pasnya sebelum melewati jembatan kecil di pangkal gunung.
Datanglah ke sana untuk menyerap serpihan kisah humbalang laut yang tak menyisakan satu pun penduduknya di pagi Minggu, 26 Desember 2004 silam, ketika sakratul maut menjemput mereka. Datanglah ke telapak Geureute itu di hari-hari sekarang ketika destinasi baru telah mengubah garis pantainya dan pohon cemara laut mulai merimbun meneduhkan bangku-bangku di sepanjang pantainya.
Nikmatilah pantai berpasir putih memanjang dari ujung kota kecamatan, Lhong, dan saksikan juga heritage dari gundukan tanah dan puing-puing jembatan yang membentuk pulau kecil di tubir laut. Saksikan gradasi yang menguap bersama pantulan matahari siang yang menjilat samudera tak bertepi. Jangan tinggalkan tempat itu ketika matahari sore mencapai kaki langit dan mengumbar warna kekuningan di ufuk barat serta pelototilah jilatan cahaya memanjang bak lenggok tarian meseukat di sekujur lautnya.
Tak memerlukan waktu panjang untuk mencapai telapak kaki Geureute di Kilometer 63 dari Banda Aceh itu. Butuh 45 menit jarak tempuh untuk tiba di sana dengan melintas dua gunung, Paro dan Kulu. Dua gunung yang bersambung usai melintasi Desa Leupeung, Layeun dan Lhok Seudu yang keindahannya ditelantarkan pejabat negeri ini.
Nikmatilah jalan sensasi untuk tiba di sana, yang dimulai dari Lhoknga hingga ke Lhong. Jalan sensasi yang dibangun dari uang hibah USAID, lembaga donor Pemerintah Amerika Serikat, sebesar 282 juta US dollar sepanjang 150 kilometer itu berujung di Calang, Ibukota Aceh Jaya.
Jalan ini, istilahnya kerennya disebut dengan jalan interseksi. Jalan yang memangkas banyak kelokan dengan membelah bukit dan gunung kecil, menimbun jurang untuk bisa dipacu hingga 200 kilometer perjam di ruas-ruas tertentu. Biaya perkilometernya, kalau dirata-ratakan Rp 23 milyar. “Jalan termahal dan jalan terbaik non-tol di negeri ini,” kata Hermawan Saputra, pejabat Dirjen Bina Marga.
“Jalan ini berkonstruksi sekelas tol, tapi tak berbayar. Mana ada jalan negara semahal itu kalau dibiayai dari rupiah. Ini jalan dengan lembaran dollar. Ya, pantas bagus,” kata pejabat itu setengah berkelakar.
Jalan itu juga telah memutus rantai isolasi selama enam tahun, usai tsunami 2005 hingga 2011, ke pantai barat Aceh. Isolasi yang sempat memulangkan ingatan anak-anak “ketelatan”—eehhh… anak- anak selatan—ke sebuah masa ketika ayahnya pergi ke Koetaradja dengan menyeberangi tujuh rakit dan meniti jalan borok hingga enam hari enam malam serta pernah menghancurkan generasinya menjadi generasi tukang tenung yang berpenyakit rendah diri.
Untuk tip melintas di jalan tol non-bayar ini, terutama untuk sampai di telapak Geureute, hati-hati dengan sapi berkeliaran di sepanjang lintasan. Bermula dari Lhoknga, Leupung hingga sepanjang ruas Lhong. Ratusan kecelakaan telah terjadi di lintasan ini dengan kasus menabrak sapi atau menghindar kerumunannya, terutama perjalanan malam hari.
Di sebuah kesempatan, pertengahan tahun lalu, ketika kami bertemu dengan Donald Albraight, petinggi USAID, ia mengejek dengan gaya canda sembari mengatakan, “Saya telah menemukan kandang sapi terpanjang di dunia.” Sedikit terkekeh ia membisikkan kalimat setengah seloroh, “Mengurus sapi saja pemimpin Anda nggak becus, bagaimana dengan mengurus……”
Kaki Geureute dan Geureute sendiri adalah sensasi destinasi perawan yang dialpakan untuk dijual sebagai wisata alam dan pantai. Di sini ada perpaduan keindahan alam dengan serpihan kisah ngilu ganasnya gergasi laut memakan isi negeri. Di sini juga ada heritage onggokan gampong yang jadi pulau kecil di lepas pantai. Ada kerangka jembatan yang dulunya bagian jalan negara di ujung tubir.
Taman Persahabatan di tumit Geureute dengan fasilitas mushala dan rumah peristirahatan pengunjung, lahan parkir beraspal mulus dan cemara laut yang merindangi bangku-bangku semen di pantainya, kini seperti tak bertuan.
Ketika di tengah hari, minggu lalu itu, kami singgah dengan nasi bungkus yang kami beli di Calang, dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, tiga bis ukuran medium sedang bertakziah di sana. Serombongan penumpangnya hanya bisa berhuuu….hhuuu…ria tanpa ada pemandu yang memberitahu nama gampong beserta riwayat sejumput tanah dan pantai yang masyaallah indahnya itu. Inilah dosa bawaan kita terhadap tanah keindahan diabaikan. Sebuah kisah sedih bagaimana pejabat yang anak negeri ini sendiri menelantarkan sebuah kampung pecahan “kerikil surga” yang dicampakkan ke bumi.
Kampung yang dikatakan Alfian, anak Desa Kuburan Syahid yang luput dari kematian di hari humbalang itu, melumatkan tanah milik indatunya karena ia baru saja menikah ke Bireuen. Alfian yang kami jumpai di sebuah kedai kopi di Banda Aceh lewat informasi seorang kawan selalu menghela nafas panjang ketika bercerita tentang musnahnya garis turunan. Alfian yang mengenang sebuah kuburan keramat tempat penumpang menyelipkan rupiah di batu nisannya dan sebuah rangkang tempat pejalan melakukan shalat yang dijamak.
Anak muda itu juga mengenang tentang barisan rumah makan berdinding papan lapuk tapi eungkot-nya gurih bisa mengusik ingatan. Kenangan Alfian kecil yang pernah bekerja di sebuah warung di sana.
Itulah tanah perpaduan yang menyatukan keindahan pantai, lekuk gunung cadas, gradasi warna langit dan warisan bermaklumat tentang telah tamatnya sebuah babak kehidupan di negeri bertuah ini. Babak yang meninggalkan serpihan kisah yang kini tak lagi didendangkan semacam hikayat. Dendang hikayat yang dulu menjadi petuah di cerita Malem Diwa. (nuga.co)
0 komentar:
Post a Comment