“Silahkan menikmati,” begitu kata petinggi sebuah Gampong di Pulo
Aceh, Aceh Besar sambil menyodorkan satu talam ganja saat kami
bertandang ke rumahnya sore itu. Begitu mendengar sambutan yang terasa
amat aneh bagi saya tersebut, terbesiklah pertanyaan, “Apakah begitu vulgarnya menggunaan dan memproduksi ganja di pulau kecil ini?”
Tapi tungggu dulu. Cerita tadi saya alami saat masih bekerja di sebuah NGO yang beroperasi Pulo Aceh tahun 2005. Segitu cerobohkah mereka? Tidak tuan! Kami, para ‘pelancong’
NGO ini, bukan orang asing lagi bagi warga pulo itu, karena lembaga
tempat saya makan gaji sudah mendampingi dan mengadvokasi masyarakat
Pulo Aceh setahun lebih. Makanya mereka percaya dan menceritakan
berbagai suka duka, bahkan pernah membawa kami ke ladang ganja nun jauh
di tengah belantara.
Ganja atau Marijuana
Alkisah,
suatu pagi yang cerah, tiga sosok pemuda bertubuh tegap yang tak lain
adalah pemuda setempat yang kesehariannya membantu kami dalam bertugas
di sana. Salah satu di antaranya mengajak kami ke suatu tempat yang
katanya ‘surga dunia’ yang telah dijanjikan sebelumnya. “Surga apaan, dan dunia mana?” tapi karena penasaran, ya ngikut sajalah!
Aduhai! Atau berjuta kata lain yang tak terungkap dengan lisan, di sana,
di ladang itu, terhampar luas tanaman ganja alias kata bule mariyuana. Beumeutuah lon,
tidak pernah melihat batang ganja sebesar dan setinggi itu. Batangnya
kira-kira selengan manusia dewasa dan tinggi hingga mencapai dua meter,
bahkan ada yang lebih. Cukuplah untuk latihan ‘perang gerilya’ di antara popohonan lebat itu. Bisa juga dikembangkan sebagai areal wisata ganja. Sang ka beutoi that! Yang jelas areal seluas puluhan hektar lebih tersebut khusus digunakan sebagai tempat budidaya komoditi unggulan ‘negeri 1001 rencong’ ini.
Tau tak, untuk menjangkau dataran tinggi itu, harus terlebih dahulu
menempuh perjalanan ekstrim. Bayangkan saja, sebelum tiba di lokasi,
kita harus mendaki bukit terjal, ditambah lagi hutan belantara yang
masih asri saat itu. Banyak duri rotan di sana. Sesekali terdengar suara
aneh hewan penghuni hutan tersebut. Setelah menempuh perjalanan yang
melelahkan kira-kira dua jam, tampaklah dataran tinggi yang luas,
tentunya setelah mencapai puncak bukit terjal itu. Tak ada tanda-tanda
pemukiman penduduk di sana, yang ada hanyalah hutan, hutan, hutan dan
belantara.
“Mampus! Capek betul,” keluh kecilku. Tapi semua rasa lelah seakan terbayar oleh fenomena tanaman menggilakan itu. “Gunting saja, jemur sebentar, langsung bisa dilantak,” teriakan menggema dari seorang pemilik salah satu petak ladang itu. “Iya bang, nanti saya gunting,”
jawabku dengan terengah-engah. Apanya yang digunting, melihat dan
menghirup aromanya saja saya sudah mabuk, apalagi memakainya, bisa gila,
kadang.
Ternyata ladang seluas itu bukan dimiliki satu orang, namun dimiliki
beberapa orang. Petak ladang masing-masing cukup ditandai dengan cara
mereka sendiri, tak ada yang mengerti tentang tanda itu kecuali mereka
dan Tuhan mereka. Begitulah sepenggal kisah ekspedisi kecil-kecilan yang
tak pernah direncanakan itu berlangasung dengan penuh kepuasan yang
susah diungkapkan dengan ‘lidah telanjang.’
Apa dikata, aroma ganja pulo sepertinya tak lagi seharum dulu, ladang
itu pun kabarnya tak lagi digarap warga. Pascatsunami menghantam pulau
indah itu, banyak NGO, baik lokal maupun asing beroperasi di sana.
Berbagai pembangunan dan bantuan ekonomi atau livelihood alias economic
evitalization dilakoni para aktivis kemanusiaan di dua pulau kembar itu.
Bantuan yang mengalir ke situ berupa, benih tanaman, boat, modal
dagang, industri rumah tangga atau home industry, fasilitas public,
rumah, sekolah, pusat perdagangan, rumah sakit, tempat ibadah, bahkan
balai rapat dan kantor gampong sudah bertaraf baik di sana.
Berbagai progam pengembangan kapasitas masyarakat juga mewarna
hari-hari 4.000 jiwa penduduk pulau barat laut Kota Banda Aceh. Dengan
demikian, setidaknya mampu menekan produksi ganja secara perlahan tapi
agak pasti, namun siapa menjamin masyarakat tak bergelut dengan tanaman
warisan turun temurun tersebut? Anda?!
Berdasarakan sejarah, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan
Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan
memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu.
Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian,
obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit
perut, beri-beri hingga malaria.Cannabis atau ganja ini juga diolah
untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja
dewa dan ritual kematian.
Secara esensial ganja sendiri di sana dianggap tumbuhan liar biasa
layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok.
Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai
dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor
geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di
belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat
umbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan
teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.Julukan populis
lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu
mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa
ilmiahnya disebut Cannabis.
Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte
Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir. Menurut
sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika
Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah
itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama
pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang
membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman
tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi
tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda
nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo, gelek, cimeng atau
rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot, weed, dope.
Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai
dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambatlaun mentradisi
di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau
bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit
dihilangkan atau diberantas lagi di sana.
Pelarang Ganja
Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti
masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan
pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan
proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang
No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah,
jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan
hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium
dan kokain.
Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor,
mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda
paling paling banyak satu milyar rupiah.
Di Aceh, dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di
gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng
menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia
ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan
ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung
dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja.
Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ganja untuk
kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja
terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di negara kita ini tidak
mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997, Semuanya Haram !!
Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena
zat THC. Jika salah digunakan, zat ini bisa mengakibatkan pengguna
menjadi mabuk sesaat. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan
ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan
dipantau dengan proses yang benar.
Kesan Aceh sebagai ladang ganja memang telah mencoreng muka kita semua.
Untuk mengatasi ini, dibutuhkan keterlibatan seluruh mayarakat. Peran
Pemerintah Aceh dan ulama serta penegak hukum yang ‘masih sehat’ sangat
menentukan endingnya kemelut ganja di Aceh. Lebih menentukan lagi bila
disokong penuh oleh NGO baik lokal maupun asing dan elemen sipil yang
masih ‘mengudara’ di Aceh saat ini.
Semoga 15 tahun mendatang, Aceh bebas dari efek negatif ganja dan dapat
memanfaatkan potensi ganja sebagai komoditi ekspor unggulan untuk
kepentingan industri maupun medis, tanpa harus disalah gunakan. Kalau
tidak, seperti kata hadis maja, “’Uet han, toh tan.” Maksud
pemerintah kita melindungi generasi Aceh dari pengaruh ganja tak
berhasil, malah potensi ganja untuk kepentingan industri dan medis yang
ujung-ujungnya mensejahterakan rakyat pun akhirnya melayang.
0 komentar:
Post a Comment