Headlines News :
Home » » Ganja Aceh

Ganja Aceh

Written By Unknown on Thursday, October 18, 2012 | 7:02:00 AM

 
 
Silahkan menikmati,” begitu kata petinggi sebuah Gampong di Pulo Aceh, Aceh Besar sambil menyodorkan satu talam ganja saat kami bertandang ke rumahnya sore itu. Begitu mendengar sambutan yang terasa amat aneh bagi saya tersebut, terbesiklah pertanyaan, “Apakah begitu vulgarnya menggunaan dan memproduksi ganja di pulau kecil ini?
Tapi tungggu dulu. Cerita tadi saya alami saat masih bekerja di sebuah NGO yang beroperasi Pulo Aceh tahun 2005. Segitu cerobohkah mereka? Tidak tuan! Kami, para ‘pelancong’ NGO ini, bukan orang asing lagi bagi warga pulo itu, karena lembaga tempat saya makan gaji sudah mendampingi dan mengadvokasi masyarakat Pulo Aceh setahun lebih. Makanya mereka percaya dan menceritakan berbagai suka duka, bahkan pernah membawa kami ke ladang ganja nun jauh di tengah belantara.
Ganja atau Marijuana
Alkisah, suatu pagi yang cerah, tiga sosok pemuda bertubuh tegap yang tak lain adalah pemuda setempat yang kesehariannya membantu kami dalam bertugas di sana. Salah satu di antaranya mengajak kami ke suatu tempat yang katanya ‘surga dunia’ yang telah dijanjikan sebelumnya. “Surga apaan, dan dunia mana?” tapi karena penasaran, ya ngikut sajalah!
Aduhai! Atau berjuta kata lain yang tak terungkap dengan lisan, di sana, di ladang itu, terhampar luas tanaman ganja alias kata bule mariyuana. Beumeutuah lon, tidak pernah melihat batang ganja sebesar dan setinggi itu. Batangnya kira-kira selengan manusia dewasa dan tinggi hingga mencapai dua meter, bahkan ada yang lebih. Cukuplah untuk latihan ‘perang gerilya’ di antara popohonan lebat itu. Bisa juga dikembangkan sebagai areal wisata ganja. Sang ka beutoi that! Yang jelas areal seluas puluhan hektar lebih tersebut khusus digunakan sebagai tempat budidaya komoditi unggulan ‘negeri 1001 rencong’ ini.
Tau tak, untuk menjangkau dataran tinggi itu, harus terlebih dahulu menempuh perjalanan ekstrim. Bayangkan saja, sebelum tiba di lokasi, kita harus mendaki bukit terjal, ditambah lagi hutan belantara yang masih asri saat itu. Banyak duri rotan di sana. Sesekali terdengar suara aneh hewan penghuni hutan tersebut. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan kira-kira dua jam, tampaklah dataran tinggi yang luas, tentunya setelah mencapai puncak bukit terjal itu. Tak ada tanda-tanda pemukiman penduduk di sana, yang ada hanyalah hutan, hutan, hutan dan belantara.
Mampus! Capek betul,” keluh kecilku. Tapi semua rasa lelah seakan terbayar oleh fenomena tanaman menggilakan itu. “Gunting saja, jemur sebentar, langsung bisa dilantak,” teriakan menggema dari seorang pemilik salah satu petak ladang itu. “Iya bang, nanti saya gunting,” jawabku dengan terengah-engah. Apanya yang digunting, melihat dan menghirup aromanya saja saya sudah mabuk, apalagi memakainya, bisa gila, kadang.
Ternyata ladang seluas itu bukan dimiliki satu orang, namun dimiliki beberapa orang. Petak ladang masing-masing cukup ditandai dengan cara mereka sendiri, tak ada yang mengerti tentang tanda itu kecuali mereka dan Tuhan mereka. Begitulah sepenggal kisah ekspedisi kecil-kecilan yang tak pernah direncanakan itu berlangasung dengan penuh kepuasan yang susah diungkapkan dengan ‘lidah telanjang.’
Apa dikata, aroma ganja pulo sepertinya tak lagi seharum dulu, ladang itu pun kabarnya tak lagi digarap warga. Pascatsunami menghantam pulau indah itu, banyak NGO, baik lokal maupun asing beroperasi di sana. Berbagai pembangunan dan bantuan ekonomi atau livelihood alias economic evitalization dilakoni para aktivis kemanusiaan di dua pulau kembar itu. Bantuan yang mengalir ke situ berupa, benih tanaman, boat, modal dagang, industri rumah tangga atau home industry, fasilitas public, rumah, sekolah, pusat perdagangan, rumah sakit, tempat ibadah, bahkan balai rapat dan kantor gampong sudah bertaraf baik di sana.
Berbagai progam pengembangan kapasitas ma­syarakat juga mewarna hari-hari 4.000 jiwa penduduk pulau barat laut Kota Banda Aceh. Dengan demikian, setidaknya mampu menekan produksi ganja secara perlahan tapi agak pasti, namun siapa menjamin masyarakat tak bergelut dengan tanaman warisan turun temurun tersebut? Anda?!
Sejarah Ganja Di Aceh

Berdasarakan sejarah, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.Cannabis atau ganja ini juga diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian.
Secara esensial ganja sendiri di sana dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat umbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.Julukan populis lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. 

Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.  Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo, gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot, weed, dope.
Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambatlaun mentradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan atau diberantas lagi di sana. 


Pelarang Ganja

Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.
Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling paling banyak satu milyar rupiah.
Di Aceh, dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja.
Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ganja untuk kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di negara kita ini tidak mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Semuanya Haram !!

Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Jika salah digunakan, zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.
Kesan Aceh sebagai ladang ganja memang telah mencoreng muka kita semua. Untuk mengatasi ini, dibutuhkan keterlibatan seluruh mayarakat. Peran Pemerintah Aceh dan ulama serta penegak hukum yang ‘masih sehat’ sangat menentukan endingnya kemelut ganja di Aceh. Lebih menentukan lagi bila disokong penuh oleh NGO baik lokal maupun asing dan elemen sipil yang masih ‘mengudara’ di Aceh saat ini.
Semoga 15 tahun mendatang, Aceh bebas dari efek negatif ganja dan dapat memanfaatkan potensi ganja sebagai komoditi ekspor unggulan untuk kepentingan industri maupun medis, tanpa harus disalah gunakan. Kalau tidak, seperti kata hadis maja, “’Uet han, toh tan.” Maksud pemerintah kita melindungi generasi Aceh dari pengaruh ganja tak berhasil, malah potensi ganja untuk kepentingan industri dan medis yang ujung-ujungnya mensejahterakan rakyat pun akhirnya melayang.
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©