Headlines News :
Home » » 8 Destinasi Wisata Sejarah dan Budaya Bangsa Aceh

8 Destinasi Wisata Sejarah dan Budaya Bangsa Aceh

Written By Unknown on Sunday, March 3, 2013 | 9:00:00 AM



Bagi anda pengagum sejarah Aceh tempo dulu, situs-situs yang mewartakan kehebatan Aceh di masa dahulu merupakan tempat yang masuk kategori wajib untuk dikunjungi. Sebab dengan demikian, rasa cinta terhadap sejarah akan semakin kental saja, bila sudah melihat “produk budaya” itu dari dekat.
Bukan hanya itu, melalui objek wisata yang mengandung nilai sejarah, setiap orang bisa melihat ke masa lalu, bahwa peradaban Aceh sudah sedemikian gilang-gemilang. Bagi publik Aceh sendiri, hal tersebut tentunya menjadi semacam pembangkit semangat untuk mengatakan bila bangsa yang mendiami ujung Sumatera ini, punya marwah yang tinggi sejak masa lampau.
Nah apa saja objek wisata atau situs sejarah yang mampu membangkitkan “maruah” bangsa itu? The Globe Journal sejak Senin- Selasa (8-9/10) telah merangkum delapan situs sejarah Aceh yang wajib dikunjungi oleh siapapun yang menginjakkan kakinya di negeri Iskandar Muda ini. Berikut laporannya
Pinto Khop
Pinto KhopFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalPinto Khop
Pinto Khop ini merupakan pintu penghubung antara Istana raja dan taman Putroe Phang. Pintu ini berbentuk kubah, selain berfungsi sebagai pintu penghubung, juga berfungsi sebagai tempat beristirahat Putroe Phang yang merupakan istri Sultan Iskandar Muda. Biasanya sang permaisuri akan beristirahat di sini setelah merasa lelah berenang di kolam yang dibangun di tempat itu . Bangunan ini dibuat oleh Raja Aceh Sultan Iskandar Muda untuk sang permaisurinya Putro Phang, yang sebelumnya merupakan istri raja Pahang. Namun karena sebuah peristiwa politik, perempuan yang cantik jelita itu diberikan kepada Iskandar Muda.
Letak bangunan ini di Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman. Kota Banda Aceh. Lokasinya masih satu komplek dengan Gunongan yaitu di taman Putroe Phang (di masa Iskandar Muda disebut taman Gairah atau taman sari).               
Gunongan
GunonganFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalGunongan
Gunongan merupakan sebuah simbol rasa cinta Iskandar Muda kepada putri Kamaliah (Putro Phang). Sebab sang permaisuri sering dilanda rindu akan kampung halamannya Negeri Pahang (Malaysia sekarang). Untuk mengobati rindu itu, Sultan kemudian membangun gunung kecil sebagai maket dari pegunungan yang mengelilingi istana Negeri Pahang.
Gunongan terletak di komplek taman Ghairah atau yang sekarang dikenal dengan Taman Putroe Phang. Dulunya komplek ini merupakan bagian dari Istana Darul al-Dunya.
Di sebelah kanan Gunongan, terdapat sebuah sungai yang bernama  Krueng Daroy. Sungai ini sengaja dibuat oleh Iskandar Muda untuk mengalirkan air dari Mata Ie ke Krueng Aceh, melewati kompleks istana Sultan (aliran sungai Krueng Daroy bisa dilihat mengalir di sisi Meuligoe Gubernur Aceh)
Dengan air Krueng Daroy inilah, Putroe Phang sering mandi di kompleks Gunongan. Sebab, selain bangunan berbentuk gunung, Iskandar Muda juga membangun tempat pemandian bagi permaisuri.
Gunongan ini berukuran tinggi 9,5 meter bila di tilik dengan teliti merupakan bangunan gunung-gunungan yang menyerupai bunga dan dibangun dalam tiga tingkat. Bentuknya yang eksotis semakin menerangkan bila cinta Iskandar Muda kepada Putri Kamaliah begitu mengharu biru dan dalam.  
Kerkoff Peucut 
Kerkhof PeutjutFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalKerkhof Peutjut
Kerkoff dalam bahasa Belanda berarti halaman gereja  atau kuburan. Kerkoff yang ada di Aceh ini sejatinya adalah kuburan prajurit Belanda dari berbagai jenjang pangkat dan satuan militer yang beragam. Jumlah secara keseluruhan pusara itu adalah sebanyak lebih kurang 2.200 nama.
Pintu gerbang Kerkoff dibangun pada tahun 1893 Masehi. Pada dindingnya dipahat nama-nama pasukan Belanda yang tewas dari berbagai medan perang di Aceh. Seperti dari medan laga Samalanga, Gedong, Sigli, dan berbagai tempat lainnya di Aceh. Nama-nama pasukan itupun mulai dari nama Belanda sampai Jawa, Batak, Ambon dll. Namun dominannya mereka yang berasal dari Eropa.
Kerkoff merupakan bukti sejarah bila perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia begitu gigih. Belanda mengakui sendiri bila perang melawan Aceh merupakan pengalaman paling buruk bagi pasukan tempur negeri penjajah itu. Kepahitan itu melebihi perang yang mereka lakukan ketika melawan Napoleon.
Di komplek makam juga terdapat makam Meurah Popok, yautu putra tunggal Sultan iskandar Muda, yang dijatuhi hukuman pancung karena dituduh berzina.
Pemberian nama Kerkoff Peucut juga berhubungan dengan sang putra mahkota. Banyak hal menarik yang bisa dipelajari di komplek makam ini. Seperti kisah hidup para prajurit secara singkat, mulai dari hidup sampai tewas. Semua cerita itu di pahat di atas makam.
Rumah Cut Nyak Dhien
Rumah Cut Nyak DhienFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalRumah Cut Nyak Dhien
Museum ini merupakan duplikat dari rumah Cut Nyak Dhien. Tentu anda sudah sangat mengenal pahlawan wanita yang satu ini bukan? Lokasinya di Lampisang. Bentuk museum ini menurut keterangan, merupakan duplikasi dari wujud asli rumah sang pahlawan yang berbentuk rumoh Aceh.
Rumah asli sang pahlawan telah dibakar habis oleh Belanda pada tahun 1893 saat terjadi perang besar. Hanya fondasinya saja yang tersisa (sampai sekarang bentuk asli fondasi masih dipertahankan)
Selain fondasi yang merupakan peninggalan asli, ada juga sumur yang berada di belakang rumah. Bentuk sumur ini tinggi. Sehingga siapapun yang mau mengambil air haruslah melalui lantai dapur dibalakang rumah. Menurut informasi, cincin sumur sengaja ditambah oleh Cut Nyak Dhien agar tidak bisa dimasukkan racun oleh Kafe penjajah dan kaki tangannya.
Di museum rumoh Cut Nyak Dhin ini, selain kita dapat menyaksikan bentuk rumah yang sangat luar biasa itu, juga ada foto-foto yang berkaitan dengan perjuangan beliau serta suaminya Teuku Umar Johan Pahlawan.
Tujuan pemerintah membangun kembali replika rumah itu adalah untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhien dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda. Di museum ini juga di pajang berbagais enjata tradisonal masyarakat Aceh tempo dulu, mulai dari parang sampai dengan tombak.
Dakota RI-001 Seulawah
Pesawat Dakota RI-001Foto: Muhajir Juli | The Globe JournalPesawat Dakota RI-001
Dakota RI-001 Seulawah, adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan Indoensia yang pertama yaitu Garuda Indonesia Airways. Dalam sejarahnya, pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan republik Indonesia.
Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, sumber tenaga dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.
Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry.
Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar)
Untuk mengenang jasa-jasanya terhadap Republik Indonesia, Pemerintah membangun monumen Replika pesawat tersebut di lapangan Blang Padang Banda Aceh. Bagi siapapun yang hendak melihat pesawat pertama milik Indonenesia itu, silahkan saja berkunjung ke lapangan itu.
Masjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman Banda AcehFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalMesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Pada saat Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya.
Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968). Mesjid ini kemudian telah diperluas dan saat ini memiliki 7 kubah.
Dalam riwayat disebutkan, Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu.
Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang sangat fanatik terhadap agama Islam.
Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah dengan berkubah satu.
Di halaman mesjid Baiturrahman, terdapat monumen peringatan bahwa salah seorang jenderal besar Belanda telah meregang nyawa di sana. Dia adalah J.H.R. Kohler, pemimpin pasukan Belanda yang pertama kali mendarat di Aceh pada tanggal 6 April 1873. Pada tanggal 10 April pasukan Belanda merebut Mesjid Raya, tetapi karena tekanan - tekanan yang diberikan oleh pejuang - pejuang Aceh, pada malam itu juga mereka terpaksa mundur.
Pada tanggal 14 April Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk kembali menyerbu Mesjid Raya yang waktu itu juga berfungsi sebagai benteng pertahanan. Walau usaha merebut mesjid berhasil, tapi pada hari itu Kohler tewas karena tembakan penembak jitu dari kalangan pejuang Aceh. Akibatnya  seluruh rencana penyerbuan Belanda menjadi berantakan dan mereka mengundurkan diri.
Ucapan Kohler yang terkenal pada saat-saat maut merenggut jiwanya: "0, God, ik ben getroffen!"("Ya Tuhan, aku terkena peluru!")
Makam Syiah kuala
Komplek Makam Syiah Kuala di Banda AcehFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalKomplek Makam Syiah Kuala di Banda Aceh
Syiah Kuala lahir pada tahun 1001 H (1591 M) dan wafat pada 23 Syawal 1106 H (1696 M), beliau dimakamkan di Gampong Manasah Dayah Kuala yang sekarang bernama Gampong Dayah Raya Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Lokasi makam yang tepat berada di depan Samudera Hindia, menambah keelokan tempat ini. Di komplek itu, sang ulama besar dikuburkan se komplek dengan orang-orang alim lainnya yang kemungkinan besar merupakan pengikut sang syaikh.
Syiah Kuala merupakan ulama besar Aceh yang sempat menjabat sebagai Khadi Malikul Adil pada masa era keratuan Aceh (raja perempuan). Lokasi makam ini sering dikunjungi oleh para peziarah religius dari berbagai penjuru tanah air dan manca negara. Dalam catatan pengurus, tamu yang paling banyak datang berasal dari Sumatera Barat.
Lonceng Cakradonya
Lonceng CakradonyaFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalLonceng Cakradonya
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho dari Cina kepada Sultan Iskandar Muda.. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.
Lonceng ini berukuran 11/2 m dan lebar 1 m. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang manacakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan.
Sekarang  Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadai simbol atau icon khusus Kota Aceh.
Dinasti bugis
Makam sultan Aceh keturunan BugisFoto: Muhajir Juli | The Globe JournalMakam sultan Aceh keturunan Bugis
Selain lonceng cakradonya, di lokasi mesium Aceh juga ada makam para raja Aceh yang berasal dari dinasti Bugis. Dalam sejarah, Aceh pernah diperintah raja-raja keturunan Bugis sejak tahun 1727. Mereka adalah keturunan seorang bangsawan Bugis bernama Daeng Mansur.
Ada empat makam raja turunan Bugis di komplek ini yaitu Sultan Ala Uddin Ahmad Syah, Sultan Ala Uddin Johan Syah, Sultan Muhammad Daud Syah dan Pocut Muhammad. Lengkap dengan tarikh berkuasa. Selainempat makam raja, juga terdapat pusara lainnya yang disebut-sebut sebagai makamnya sanak kerabat para sultan.
Itulah delapan objek wisata sejarah Aceh yang layak untuk anda kunjungi. Ternyata, bangsa Aceh telah sejak zaman dahulu bergaul dengan berbagai bangsa, kosmopolit, dan punya sejarah yang gilang gemilang. selamat berwisata.
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©