BAGI penikmat kuliner, nama ayam tangkap tentulah
tak asing lagi. Nama yang unik dan cita rasa yang bisa menggoyang lidah
membuat makanan Aceh ini dikenal luas. Karena itu, taklah lengkap jika
bertandang ke ujung Pulau Sumatera ini tanpa mencicipi masakan khasnya.
Ayam tangkap kadang juga disebut ayam sampah atau ayam semak. Tapi jangan salah. Nama “sampah” disertakan karena ayam goreng ini bercampur dengan dedaunan yang dipakai tak hanya sebatas penambah aroma, tapi juga enak dimakan. Rasanya garing seperti kerupuk.
Untuk mencari ayam tangkap bukanlah perkara sulit. Ia bisa ditemui di hotel berbintang, seperti Hermes Palace Hotel atau Sultan Hotel, atau di sejumlah rumah makan, seperti Rumah Makan Aceh Spesifik di Lambaro, Aceh Besar, Rumah Makan Ujong Batee, di Jambo Tape, Banda Aceh; atau Rumah Makan khas Aceh Rayeuk, di Lueng Bata, Banda Aceh.
Meski demikian, yang paling dikenal sebagai penyedia ayam tangkap dengan citarasa tinggi adalah Rumah Makan Ayam Tangkap Cut Dek. Rumah makan yang buka dari pukul 09.00 WIB sampai 22.00 WIB ini berada di Jalan Lambaro-Banda Aceh, Meunasah Manyang, Pagar Air, Aceh Besar dan Jalan Panglima Nyak Makam, Lampineung, Banda Aceh.
Ayam tangkap memiliki rasa yang beragam; gurih, sedikit manis, dan asin. Paduan rasa ini dikarenakan bumbunya berasal dari rempah-rempah khas Aceh yang terserap ke dalam daging. Tulang-tulang ayam yang berbalut daging bisa dengan mudah dikunyah karena sudah garing.
Untuk bahan baku utama, ayam tangkap menggunakan ayam kampong aceh.
“Ayam kampong (aceh) dagingnya lebih bermutu, padat, juga lebih empuk. Berbeda dengan ayam lain. Kalau ayam lain susah dapat cita rasa ayam tangkap sesungguhnya,” jelas Win Akustia, Manajer Rumah Makan Ayam Tangkap Cut Dek.
Ayam yang dipilih berusia lima sampai enam bulan. Di usia ini ayam lebih sehat, dagingnya tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek. Ayam ini didapat dari peternak khusus di Aceh; sebagai pemasok tetap ke Rumah Makan Ayam Tangkap Cut Dek.
Perihal bumbu, bahannya juga sangat mudah didapat di Aceh. Rempah-rempahnya terdiri dari bawang merah Aceh (bentuknya pedas), bawang putih, bawang merah, kunyit, garam, dan merica secukupnya. Sedangkan untuk menambah aroma, digunakan dedaunan seperti daun tumurui atau salam koja, cabai hijau, dan daun pandan.
Semua rempah-rempah dihaluskan dan dilumuri ked aging ayam yang sudah dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Sebelumnya, ayam direbus dan diberi jeruk nipis. Di Rumah Makan Cut Dek, segala bumbu diracik oleh koki khusus yang sudah dipercaya sejak dulu.
“Tidak boleh sembarang orang yang racik. Kalau takarannya salah, bisa bergeser rasanya,” tutur Win.
Ayam yang sudah dipotong kecil-kecil, kira-kira sebesar ibu jari, itu akan menyerap segala bumbu rempah-rempah. Setelah itu ia digoreng dengan minyak malinda yang sudah panas. Saat penggorengan, daun tumurui, daun pandan, dan cabai hijau dimasukkan. Dedaunan ini tidak dibuang saat ayam siap disajikan. Selain menampilkan daya tarik, dedaunan itu juga berfungsi sebagai lalapan kering pelengkap potongan ayam. Seperti kerupuk, hanya dari daun. Dan usai matang, ayam tangkap pun sudah bisa disajikan.
Ayam tangkap tak bisa seketika dihidangkan setelah dipesan. Bukan karena harus menangkap terlebih dahulu ayamnya, tetapi mereka butuh waktu untuk menggoreng dan menyortir tiap bahan dan rempah yang akan digunakan untuk bumbu.
“Ini kita lakukan untuk menjaga citarasa. Kalau disajikan dalam keadaan hangat, baru matangn, rasanya lebih nikmat,” kata Win.
Menurut Win, ayam tangkap sudah ada sejak 1996. Bermula di Rumah Makan Cut Dek, saat itu orang menyebut ayam goreng. Adapun ayam tangkap ini berawal dari eksperimen. Koki rumah makan ini mencoba memadukan ayam dengan daging dan dedaunan, seperti daun tumurui dan pandan.
Baru sekitar 2005 ayam goreng ini berganti nama dengan ayam tangkap. Entah siapa yang memulai menyebutnya demikian, yang jelas ayam goreng ini kemudian terkenal dengan nama ayam tangkap.
“Kemana-mana, orang sudah menyebut ayam tangkap,” ujar Win yang menjual satu porsi ayam tangkap, untuk empat orang, seharga Rp60 ribu.
Popularitas ayam ayam tangkap membuatnya menjadi salah satu ikon makanan khas Aceh. Karena sudah dikenal luas, ayam tangkap lalu dipatenkan oleh pemiliknya, Cut Dek. Cut Dek adalah nama alias dari pemilik rumah makan tersebut, yakni Marzuki Budiman. Sejak 2007, Ayam Tangkap Cut Dek sudah tercatat sebagai produk resmi yang dilindungi Undang-Undang.
Sejauh ini Win sudah ditawari untuk membuka cabang di luar kota dan luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Namun, pihaknya belum siap. Salah satu alasannya adalah persoalan citarasa. Bumbu dan bahan baku ayam tangkap sulit didapat di luar Aceh.
“Kalaupun ada, (rasanya) tidak sama. Ayam di sini (Aceh) beda dengan ayam di daerah lain. Rasanya enggak akan ‘dapat’ nanti,” ujar Win. (Disarikan dari buku “Jejak Kuliner Indonesia” karya JNE)
(tty)
0 komentar:
Post a Comment