Ilutrasi |
BANDA ACEH - Aceh memiliki sumber daya keuangan cukup besar dalam 20 tahun ini, sehingga butuh peran semua pihak untuk melakukan pengawasan agar penggunaannya tepat sasaran.
Menurut salah satu anggota tim lembaga Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Harry Masyarafah, total dana yang diterima Aceh baik dari dana otonomi khusus (Otsus) maupun reguler sampai 2027 nanti, diperkirakan mencapai Rp650 triliun.
"Suatu nilai yang sangat besar bagi Aceh yang hanya berpenduduk 4,5 juta jiwa," katanya dalam Training Advokasi Keuangan Daerah bagi CSO dan Media di Aceh, di Gedung Rumoh PMI, Banda Aceh, (26/11/2012).
Aceh mendapat kucuran dana Otsus sejak 2008. Setelah lima tahun menikmati dana Otsus dan reguler lainnya, berbagai kemajuan telah dicapai Aceh, tetapi masih ada ruang yang dukup besar untuk terus melakukan perbaikan.
Menurutnya, 15 tahun lagi untuk Aceh menerima dana Otsus, bukanlah waktu yang lama. Alokasi yang tidak tepat dan efektif, penghamburan akibat salah perencanaan seharusnya tidaklah terjadi lagi. Di situlah peran penting semua pihak, eksekutif, legislatif, LSM, universitas dan media.
"Beberapa analisis menunjukkan bahwa pembangunan yang kita impikan masih banyak tantangan yang perlu dipikirkan bersama, semoga ke depan lebih baik," ujar Harry.
Untuk meningkatkan mutu pengelolaan keuangan daerah, tentu perlu berbagai advokasi yang sistematis berbasis data dan informasi yang kuat.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hasbi Abdullah mengatakan, selama ini aktivitas advokasi dalam konteks keuangan daerah di Aceh masih bersifat kasuistik dan parsial.
"Selain itu, advokasi yang dilakukan tanpa kerjasama baik antar pemangku kepentingan dan tidak memiliki dukungan jaringan kuat, tidak menghasilkan perubahan yang berarti," sebut Hasbi saat membuka training tersebut.
Pelatihan untuk CSO dan media ini, diharapkan mendapatkan solusi untuk penguatan advokasi keuangan daearah di Aceh.
Hasbi menyebutkan, kepemerintahan yang baik menjadi isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini.
Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintah baik, sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penguatan terhadap peran dan fungsi aparatur pemerintahan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Dari perspektif DPRA misalnya, lembaga ini seharusnya dapat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan mengkondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan diri sendiri.
"Jika hal ini terjadi, maka akan memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan supremasi hukum di negara kita," ujar mantan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu.
Peran LSM dan media sangatlah diperlukan untuk mengawal proses penyelenggaraan pemerintah di daerah, khususnya dalam hal transparansi anggaran.
"Kami yakin masyarakat sudah terbuka untuk ikut serta menyelamatkan keuangan negara. Sudah tidak saatnya lagi sistem keungan di daerah ditutup-tutupi," sebutnya.
Sementara itu Team Leader Program CPDA – Bank Dunia Jakarta, Adrian Morel mengatakan, dengan pengalaman melewati konflik bersenjata dan bencana tsunami, Aceh menjadi salah satu daerah model bagi dunia internasional.
"Perdamaian dan pembangunan berkelanjutan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, menjaga perdamaian berarti membangun dengan baik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Aceh," paparnya.
Bank Dunia yang melalui program CPDA-nya mempunyai tujuan penguatan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Dengan dukungan Pemerintah Aceh, Bank Dunia juga telah melakukan beberapa kajian dan melakukan advokasi keuangan daerah dan belanja publik di provinsi itu sejak 2006. (wdi/okezone)
Menurut salah satu anggota tim lembaga Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Harry Masyarafah, total dana yang diterima Aceh baik dari dana otonomi khusus (Otsus) maupun reguler sampai 2027 nanti, diperkirakan mencapai Rp650 triliun.
"Suatu nilai yang sangat besar bagi Aceh yang hanya berpenduduk 4,5 juta jiwa," katanya dalam Training Advokasi Keuangan Daerah bagi CSO dan Media di Aceh, di Gedung Rumoh PMI, Banda Aceh, (26/11/2012).
Aceh mendapat kucuran dana Otsus sejak 2008. Setelah lima tahun menikmati dana Otsus dan reguler lainnya, berbagai kemajuan telah dicapai Aceh, tetapi masih ada ruang yang dukup besar untuk terus melakukan perbaikan.
Menurutnya, 15 tahun lagi untuk Aceh menerima dana Otsus, bukanlah waktu yang lama. Alokasi yang tidak tepat dan efektif, penghamburan akibat salah perencanaan seharusnya tidaklah terjadi lagi. Di situlah peran penting semua pihak, eksekutif, legislatif, LSM, universitas dan media.
"Beberapa analisis menunjukkan bahwa pembangunan yang kita impikan masih banyak tantangan yang perlu dipikirkan bersama, semoga ke depan lebih baik," ujar Harry.
Untuk meningkatkan mutu pengelolaan keuangan daerah, tentu perlu berbagai advokasi yang sistematis berbasis data dan informasi yang kuat.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hasbi Abdullah mengatakan, selama ini aktivitas advokasi dalam konteks keuangan daerah di Aceh masih bersifat kasuistik dan parsial.
"Selain itu, advokasi yang dilakukan tanpa kerjasama baik antar pemangku kepentingan dan tidak memiliki dukungan jaringan kuat, tidak menghasilkan perubahan yang berarti," sebut Hasbi saat membuka training tersebut.
Pelatihan untuk CSO dan media ini, diharapkan mendapatkan solusi untuk penguatan advokasi keuangan daearah di Aceh.
Hasbi menyebutkan, kepemerintahan yang baik menjadi isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini.
Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintah baik, sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penguatan terhadap peran dan fungsi aparatur pemerintahan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Dari perspektif DPRA misalnya, lembaga ini seharusnya dapat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan mengkondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan diri sendiri.
"Jika hal ini terjadi, maka akan memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan supremasi hukum di negara kita," ujar mantan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu.
Peran LSM dan media sangatlah diperlukan untuk mengawal proses penyelenggaraan pemerintah di daerah, khususnya dalam hal transparansi anggaran.
"Kami yakin masyarakat sudah terbuka untuk ikut serta menyelamatkan keuangan negara. Sudah tidak saatnya lagi sistem keungan di daerah ditutup-tutupi," sebutnya.
Sementara itu Team Leader Program CPDA – Bank Dunia Jakarta, Adrian Morel mengatakan, dengan pengalaman melewati konflik bersenjata dan bencana tsunami, Aceh menjadi salah satu daerah model bagi dunia internasional.
"Perdamaian dan pembangunan berkelanjutan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, menjaga perdamaian berarti membangun dengan baik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Aceh," paparnya.
Bank Dunia yang melalui program CPDA-nya mempunyai tujuan penguatan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Dengan dukungan Pemerintah Aceh, Bank Dunia juga telah melakukan beberapa kajian dan melakukan advokasi keuangan daerah dan belanja publik di provinsi itu sejak 2006. (wdi/okezone)
0 komentar:
Post a Comment