MINGGU pagi, 25 November 2012. Suasana hari tidak begitu cerah. Matahari ditutup awan November yang berarti musim penghujan. Hampir tiap malam di bulan ini hujan turun. Banyak kawasan di Takengen yang banjir. Seperti Mongal, Jalan Lintang, Abdul Wahab (Kebayakan), Belang Kolak I, dan Terminal .
Penyebab banjir, tentu saja parit atau gorong-gorong yang tidak lagi mampu menampung air hujan. Meluber dan menggenangi pemukiman. Bahkan tembok, Musara Alun Belang Kolak 1 Takengen, jebol digerus air.
Pembangunan di Takengen, tidak dirancang untuk ukuran puluhan tahun kedepan. Apa lagi ratusan tahun. Seperti rancangan kaum eropa yang dirancang hingga ratusan tahun sehingga model dan lahan tetap terjaga, teratur dan bebas banjir.
Semua rencana pembangunan dilakukan sesaat dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Dari fee proyek . APBK tahunan yang didominasi fisik. Pembangunan pagar kantor bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran. Tapi untuk kopi dan pertanian lainnya, hehehe kecil sekali.Inilah faktanya, TST (Tau Sama Tau). Berlaku dari hulu ke Hilir. Dari APBN,APBA dan APBK. Kelirumologi.
Tujuanku kali ini adalah Bergendal. Bergendal terkenal setelah dinamai oleh Belanda. Masyarakat lokal dulu menyebutnya Simpang Teritit. Simpang Teritit atau Teritit jauh lebih dikenal setelah Belanda hengkang.
Bergendal, nama asing ini murni dari Belanda yang memiliki lahan perkebunan disini. Beberapa orang menyebut arti Bergendal adalah lembah dan bukit. Tapi setelah bersemedi bersama “awan google”, arti diatas kurang kena.
Bergendal menurut kamus Bahasa Indonesia-Belanda, lebih cocok kepada Gunung (Berg) dan lembah (Dal) . Sambungan kedua kata ini secara lidah Gayo disebut “Bergendal”. Bergendal terkenal karena kopi Arabika Gayo-nya.
Bergendal selain berarti bekas perkebunan Belanda di Gunung dan Lembah, tapi juga dijadikan nama Kampung. Kampung Bergendal Kecamatan Wih Pesam. Menurut seorang warga Kampung Bergendal, Siti Kana Inen Firdaus, kelahiran 1946 di Tansaril Takengon, Bergendal bermakna ganda.
Dulunya, pada saat lokasi Bergendal dijadikan perkebunan kopi Belanda, nama asisten perkebunan disana yang berbangsa Belanda adalah Marhendal. Jadi Bergendal yang berarti Gunung dan Lembah, mirip juga dengan asisten perkebunan, Marhendal.
Meski Siti Kana bukan penduduk asli Bergendal, namun Siti Kana banyak sedikitnya tahu sejarah perkebunan Kopi Bergendal dari suaminya, Abdussamad (almarhum) yang putra asli setempat. Diceritakan Siti Kana,
Penyebab banjir, tentu saja parit atau gorong-gorong yang tidak lagi mampu menampung air hujan. Meluber dan menggenangi pemukiman. Bahkan tembok, Musara Alun Belang Kolak 1 Takengen, jebol digerus air.
Pembangunan di Takengen, tidak dirancang untuk ukuran puluhan tahun kedepan. Apa lagi ratusan tahun. Seperti rancangan kaum eropa yang dirancang hingga ratusan tahun sehingga model dan lahan tetap terjaga, teratur dan bebas banjir.
Semua rencana pembangunan dilakukan sesaat dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Dari fee proyek . APBK tahunan yang didominasi fisik. Pembangunan pagar kantor bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran. Tapi untuk kopi dan pertanian lainnya, hehehe kecil sekali.Inilah faktanya, TST (Tau Sama Tau). Berlaku dari hulu ke Hilir. Dari APBN,APBA dan APBK. Kelirumologi.
Tujuanku kali ini adalah Bergendal. Bergendal terkenal setelah dinamai oleh Belanda. Masyarakat lokal dulu menyebutnya Simpang Teritit. Simpang Teritit atau Teritit jauh lebih dikenal setelah Belanda hengkang.
Bergendal, nama asing ini murni dari Belanda yang memiliki lahan perkebunan disini. Beberapa orang menyebut arti Bergendal adalah lembah dan bukit. Tapi setelah bersemedi bersama “awan google”, arti diatas kurang kena.
Bergendal menurut kamus Bahasa Indonesia-Belanda, lebih cocok kepada Gunung (Berg) dan lembah (Dal) . Sambungan kedua kata ini secara lidah Gayo disebut “Bergendal”. Bergendal terkenal karena kopi Arabika Gayo-nya.
Bergendal selain berarti bekas perkebunan Belanda di Gunung dan Lembah, tapi juga dijadikan nama Kampung. Kampung Bergendal Kecamatan Wih Pesam. Menurut seorang warga Kampung Bergendal, Siti Kana Inen Firdaus, kelahiran 1946 di Tansaril Takengon, Bergendal bermakna ganda.
Dulunya, pada saat lokasi Bergendal dijadikan perkebunan kopi Belanda, nama asisten perkebunan disana yang berbangsa Belanda adalah Marhendal. Jadi Bergendal yang berarti Gunung dan Lembah, mirip juga dengan asisten perkebunan, Marhendal.
Meski Siti Kana bukan penduduk asli Bergendal, namun Siti Kana banyak sedikitnya tahu sejarah perkebunan Kopi Bergendal dari suaminya, Abdussamad (almarhum) yang putra asli setempat. Diceritakan Siti Kana,
Siti Kana Inen Firdaus--Siti Kana kelahiran 1947, penduduk Kampung Bergendal Kecamatan Wih Pesam adalah salah seorang saksi yang masih mengingat tentang perkebunan Belanda di Bergendal.(Lintas Gayo |Win Ruhdi Bathin)
Belanda di Bergendal memiliki luas lahan sekitar 300 hektar. Waktu itu, luasan lahan diukur dengan sebutan parang. 1 Parang = 16 rante.
Rumah asisten perkebunan Belanda disebut warga setempat dengan Umah Ilang. Artinya rumah merah karena dicat merah. Kini rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Dibongkar setelah tanah perkebunan Belanda ini dialihkan kepada warga setempat. Demikian halnya perumahan pekerja.
Disebelah rumah Inen Firdaus, masih di Kampung Bergendal. Hingga kini masih bisa dilihat bekas prosesing kopi Belanda. Berupa bak dengan empat petak. Panjang sekitar 10 meter lebih dengan lebar sekitar 5 meter.
Bak ini memiliki tinggi sekitar 0.5 meter dari permukaan tanah di bagian Timur. Sementara fondasi bangunan memiliki tinggi sekitar 1.5 meter lebih. Bak ini diduga lokasi pembersihan gabah kopi setelah difermentasi . Dengan dua saluran air masuk dan keluar.
Bangunan ini masih terlihat kokoh dengan besi dibagian fondasi. Lebihlanjut dikatakan Siti Kana, setelah Belanda meninggalkan perkebunan kopi Bergendal ini, perusahaan ini beralih ke pemerintah Indonesia dan dikelola oleh orang yang disebut “Ayah Rahman”.
Selanjutnya dibebaskan dan dibagikan kepada masyarakat setempat pada tahun 1948. Bergendal selain perkebunan kopi Belanda, juga merupakan nama kopi varietas lokal arabika yang disebut “Kopi Bergendal”.
Belanda kala itu hanya menanam satu varietas kopi arabika sehingga tampak seragam dan teratur. Kini , tidak lagi. Lokasi perkebunan Belanda sudah dimiliki warga setempat dengan varietas yang tidak seragam.
Selain ketidakseragaman varietas, sistim pengelolaaan kopi diantara petani juga berbeda-beda. Warga memiliki rata-rata satu hektar lahan. Meski ada juga yang lebih. Diantara kebun ada jalan-jalan penghubung yang dipenuhi rumah warga sepanjang sisi jalan.
Selain perkebunan kopi arabika di Bergendal, Belanda, tambah Inen Firdaus, juga memiliki tiga lahan kopi arabika lainnya. Belang Gele, dengan luas lahan 120 hektar. Burni Bius dan Paya Tumpi. Sementara di Blok C , Lampahan, Belanda mengembangkan kopi Robusta.
Komoditi Belanda lainnya adalah Teh Redlong yang dikenal sangat disukai, termasuk Ratu Belanda. Selain itu, Belanda juga mengolah pinus mercusi untuk diambil getahnya (terpentin). Pabrik Teh Belanda di Pondok Baru Kecamatan Janarata Bener Meriah , dulu merupakan pabrik yang besar dan megah. Kini tak berbekas.
Hal yang sama terjadi pada pabrik terpentin di Lampahan. Masih tersisa sedikit sisa bangunan pabrik terpentin yang bisa dilihat di pinggir jalan Lampahan. Berupa bekas penyulingan terpentin.(Win Ruhdi Bathin/lintasgayo)
Rumah asisten perkebunan Belanda disebut warga setempat dengan Umah Ilang. Artinya rumah merah karena dicat merah. Kini rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Dibongkar setelah tanah perkebunan Belanda ini dialihkan kepada warga setempat. Demikian halnya perumahan pekerja.
Disebelah rumah Inen Firdaus, masih di Kampung Bergendal. Hingga kini masih bisa dilihat bekas prosesing kopi Belanda. Berupa bak dengan empat petak. Panjang sekitar 10 meter lebih dengan lebar sekitar 5 meter.
Bak ini memiliki tinggi sekitar 0.5 meter dari permukaan tanah di bagian Timur. Sementara fondasi bangunan memiliki tinggi sekitar 1.5 meter lebih. Bak ini diduga lokasi pembersihan gabah kopi setelah difermentasi . Dengan dua saluran air masuk dan keluar.
Bangunan ini masih terlihat kokoh dengan besi dibagian fondasi. Lebihlanjut dikatakan Siti Kana, setelah Belanda meninggalkan perkebunan kopi Bergendal ini, perusahaan ini beralih ke pemerintah Indonesia dan dikelola oleh orang yang disebut “Ayah Rahman”.
Selanjutnya dibebaskan dan dibagikan kepada masyarakat setempat pada tahun 1948. Bergendal selain perkebunan kopi Belanda, juga merupakan nama kopi varietas lokal arabika yang disebut “Kopi Bergendal”.
Belanda kala itu hanya menanam satu varietas kopi arabika sehingga tampak seragam dan teratur. Kini , tidak lagi. Lokasi perkebunan Belanda sudah dimiliki warga setempat dengan varietas yang tidak seragam.
Selain ketidakseragaman varietas, sistim pengelolaaan kopi diantara petani juga berbeda-beda. Warga memiliki rata-rata satu hektar lahan. Meski ada juga yang lebih. Diantara kebun ada jalan-jalan penghubung yang dipenuhi rumah warga sepanjang sisi jalan.
Selain perkebunan kopi arabika di Bergendal, Belanda, tambah Inen Firdaus, juga memiliki tiga lahan kopi arabika lainnya. Belang Gele, dengan luas lahan 120 hektar. Burni Bius dan Paya Tumpi. Sementara di Blok C , Lampahan, Belanda mengembangkan kopi Robusta.
Komoditi Belanda lainnya adalah Teh Redlong yang dikenal sangat disukai, termasuk Ratu Belanda. Selain itu, Belanda juga mengolah pinus mercusi untuk diambil getahnya (terpentin). Pabrik Teh Belanda di Pondok Baru Kecamatan Janarata Bener Meriah , dulu merupakan pabrik yang besar dan megah. Kini tak berbekas.
Hal yang sama terjadi pada pabrik terpentin di Lampahan. Masih tersisa sedikit sisa bangunan pabrik terpentin yang bisa dilihat di pinggir jalan Lampahan. Berupa bekas penyulingan terpentin.(Win Ruhdi Bathin/lintasgayo)
0 komentar:
Post a Comment