Negeri Meureudu sudah terbentuk
dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa
(1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan
kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan
logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Dalam percaturan politik kerajaan
Aceh, negeri Meureudu juga memegang peranan penting. Hal itu sebagaimana
tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan
Undang-Undang (UU) Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra
Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh
K F van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang
terbit di negeri Belanda.
Kutipan Undang-Undang Kerajaan
Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah
kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala
aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan
Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu
kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng
Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik
di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap
berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk
mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah
dididirkan sultan Iskandar Muda di Negeri Meureudu. Benteng itu sekarang ada di
tepi sungai Krueng Meureudu.
Peranan Negeri Meureudu yang
sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika
Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung
Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai
Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat
perang, mendampingi Panglima Malem Dagang. Setelah Semenanjung Melayu, yakni
Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar
Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu
sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri
Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein,
sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negeri Meureudu negeri yang
langsung berada dibawah kesultanan Aceh dengan status nanggroe bibeueh (negeri
bebas-red). Dimana penduduk Negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan
kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban
istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok
(beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lumbung beras utama kerajaan.
Keistimewaan Negeri Meureudu
terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar
Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai
penguasa defenitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari
Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku
Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Pada zaman penjajahan Belanda,
Negeri Meureudu dirubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang
diperintah oleh seorang Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan
Meureudu telah diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah
kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.
Setelah tentara pendudukan Jepang
masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda, maka Jepang kemudian
mengambil alih kekuasaan yang ditinggalkan Belanda itu dan menjadi penguasa
baru di Aceh. Di masa penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh
seorang Suntyo Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.
Sesudah melewati zaman
penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi Pusat Kewedanan
sekaligus Pusat Kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai Kewedanan, negeri
ini telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan
Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan
Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada dibawah kontrol
Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Daerah kewedanan Meureudu
kemudian dijadikan sebagai Kabupaten Baru (Pidie Jaya) yang membawahi delapan
Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar Dua, Kecamatan Jangka Buya (pacahan Bandar
Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan Meureudu, kecamatan Meurah Dua (Pecahan
Meureudu), Kecamatan Trienggadeng, Kecamatan Panteraja (Pecahan Trienggadeng)
dan Kecamatan Bandar Baru. Delapan kecamatan di bagian timur kabupaten Pidie
ini ditetapkan sebagai Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu
kotanya.[Sumber]
0 komentar:
Post a Comment