Demi menangani serangan gajah liar terhadap permukiman warga, sejumlah dokter hewan spesialis gajah dari beberapa negara Asia berkumpul di Universitas Syiah Kuala akhir Maret lalu. Di Aceh serangan gajah liar meningkat berkelindan dengan meluasnya perambahan hutan. Konflik manusia dengan gajah tak terhindarkan. Gajah diburu dan dimusuhi. Akibatnya, populasi gajah di Aceh menurun. Pada 2011, menurut Badan Konservasi Sumber Daya Aceh, hanya tersisa 540 ekor. Padahal, pada zaman Kesultanan Aceh abad ke-17, gajah memenuhi rimba dan menjadi simbol keagungan.
Sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan. Menurut M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya. “Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah,” tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.
Sultan Perlak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas, sebagaimana dikutip Djamil dari Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany. Sementara Marcopolo menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar kepunyaan raja.
Dalam Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurutnya, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh Kerajaan Delhi (India).
Ketika Kesultanan Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat dengan baik.
Gajah-gajah liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin dengan emas dan permata. Suatu pemandangan yang dapat ditemukan di India.
Kebanggaan Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17. Iskandar Muda, calon sultan, akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya, seekor anak gajah, menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat Syah, memberikan gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Iskandar senang menerimanya.
Dia menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan anak gajah itu. Menginjak usia 7 tahun, dia mulai berburu gajah liar yang berada dalam hutan. Saat beranjak dewasa, Iskandar Muda telah mahir menunggangi gajah. Mengutip Hikayat Aceh, Anthony Reid dalam “Elephants and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh,” dimuat dalam An Indonesian Frontier, menyebut sultan muda itu berlatih menunggang gajah tiap Senin dan Kamis. Sultan muda itu meneruskan tradisi kemahiran sultan Aceh dalam menunggangi gajah.
Tamu-tamu asing Kesultanan Aceh terpukau dengan gajah-gajah di sana. Sebaliknya, Aceh membanggakan gajah-gajahnya pada tamu-tamu asing. Untuk menyambut tamu asing, gajah dipersiapkan sebaik mungkin, baik perangai, kesehatan maupun perhiasannya. John Davies, navigator Inggris, mengungkapkan pengalamannya mengunjungi istana sultan pada 1599. “Saya berkendara ke istananya dengan seekor gajah,” tulis Davies dalam “Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk, 1599,” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe.
Dia juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping. Catatan Francois Martin, pedagang Prancis, pada 1602 menguatkan cerita Davies. Hukuman mati dengan gajah dikenakan pada pezina dan pembunuh.
Meski gajah sempat menjadi alat eksekusi, fungsi utama gajah sebagai simbol kebesaran kesultanan Aceh tak terbantahkan. Augustin de Beaulieu, pedagang Prancis, menyaksikan bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar para gajah pada 1621. Dalam catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda”, dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia menyebut Aceh memiliki 900 ekor gajah. Karena melimpahnya armada gajah, Aceh tak memerlukan benteng kota. “Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota sesungguhnya,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh.
Gajah-gajah itu dilatih berperang sehingga tak takut ketika suara senapan yang memekakkan berbunyi disamping telinga besarnya. Sultan memberikan gajah-gajah itu nama sedangkan rakyat memberi penghormatan kepada gajah-gajah yang sultan gunakan. Ketika parade, gajah-gajah itu diiringi bunyi-bunyian yang membahana dari alat-alat musik seperti terompet, tamborin, dan simbal.
Catatan lain mengenai gajah Aceh berasal dari Peter Mundy, pelancong Inggris. Meski hanya mengunjungi Aceh selama 10 hari, dia melihat upacara besar yang menyertakan banyak gajah pada 1637. Dia mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan mengundang semua rakyat hadir, dari jelata hingga bangsawan.
Dalam upacara itu, 30 gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada empat gajah tiap barisnya. Sebagian gajah ditutupi kain sutra sehingga hanya terlihat kaki, telinga, mata, dan belalai mereka. Gajah raja terlihat mencolok. Dengan hiasan kain mewah yang menutupi hampir seluruh tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya, gajah itu berada paling belakang. Menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh, tesis pada Australian National University, “dalam masa damai, gajah menjadi bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat Aceh.”
Ito menambahkan Aceh tak hanya mengoleksi gajah tapi juga mengeskpor atau membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa wilayah seperti Srilanka. Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), kepemilikan gajah tak terbatas lagi pada sultan. Orang kaya boleh memilikinya. Seiring meredupnya Kesultanan Aceh, gajah tak lagi menempati posisi penting dalam upacara keagamaan atau armada perang. Memasuki abad ke-20, nasibnya semakin naas; hanya menjadi barang buruan dan dagangan. Bahkan menjadi musuh warga.
0 komentar:
Post a Comment