Headlines News :
Home » » Perang Aceh 1

Perang Aceh 1

Written By Unknown on Sunday, November 25, 2012 | 7:08:00 AM



Kemiskinan Eropa

Tahun 1817, Benua Eropa dilanda kemiskinan yang merajalela. Jerman yang baru saja menderita kekalahan Perang Dunia Pertama, Perancis yang dihantui kemiskinan akibat keserakahan Napoleon Bonaparte, dan berbagai kerumitan hidup para keluarga korban perang Eropa serta para remaja mantan tentara yang membela negaranya demi nafsu diktator seperti Adolf Hitler, Benito Musolini, Napoleon dan lainnya. Kebanyakan masyarakat Eropa mencari alternatif untuk dapat bertahan hidup dengan mimpi-mimpi. Mereka mendapatkan kabar bahwa di negeri timur yang jauh di sana ada berbagai impian tentang kesenangan, pelacuran dan bergelimangnya harta yang disediakan untuk mereka agar bersedia membantu para petualang Belanda, Portugis dan Spanyol serta Inggris. Rayuan timur membuat banyak remaja eropa ikut serta dalam sebuah misi baru, menguasai Hindia.

Pembukaan Terusan Suez

Dibukanya Terusan Suez tahun 1959 membuat jalur perdagangan Eropa bergerak berubah sangat cepat. Perdagangan yang awalnya harus melalui Afrika sampai ke selatan, saat itu menjadi lebih singkat dengan melewati Mesir dan berlayar melintasi selatan Asia. Hal ini berpengaruh pada pelayaran perdagangan di Indonesia (yang dahulu masih berupa kerajaan-kerajaan Nusantara). Jika dulu pelayaran akan melewati selat Sunda, untuk masuk ke Nusantara. Kini pelayaran akan melewati selat Malaka untuk langsung ke Laut China Selatan. Lebih singkat, murah dan sangat menguntungkan. Hal inilah yang membuat Batavia (yang berkedudukan di Jakarta kini) gerah. Perubahan jalur ini membuat daerah Aceh, Malaka, dan Singapura bergeliat menerima para pedagang. Bergeliat tidak hanya bersifat positif, para perompak pun ikut serta meramaikan perubahan jalur ini. Disinilah bermulanya pergolakan Aceh.

Tahun 1824, 30 tahun sebelum terusan Suez mulai dibangun, Belanda dan Inggris mempunyai sebuah perjanjian bilateral. Inti dari perjanjian itu adalah; Inggris akan menyerahkan semua kedudukannya di Sumatera (ketika itu bagian yang dikuasai inggris adalah Bengkulu dan sekitarnya) kepada Belanda (yang kala itu sudah menguasai Jawa dan sebagian Sumatera). Sebagai gantinya Inggris mendapatkan Malaka, Penang dan sebuah pulau kecil tidak bertuan, Singapura.

Seorang Rafles, yang untuk kemudian kita mengenalnya sebagai pendiri Singapura, termasuk orang yang memiliki andil dalam pergolakan di Malaka. Rafles yang awalnya adalah jendral buangan dari Jawa, pindah ke Bengkulu dan kemudian dibuang ke Singapura, meminta sebuah syarat pada perjanjian Belanda dan Inggris, Traktat London. Syaratnya adalah; “Jangan mengganggu kedaulatan Aceh”. Aceh menjadi bagian penting dalam perjanjian dua negara penjajah di tahun 1824. Hasil Traktat London, Rafles membangun Singapura, hingga kini namanya mendapat kehormatan besar di Singapura.

Saat itu (mulai 1810) Belanda tengah mengalami masa panceklik luar biasa, kekuasaan penuhnya di Jawa harus dimaksimalkan dengan metode tanam paksa untuk membiayai perang dengan berbagai kerajaan yang memberontak mulai dari Padang hingga Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Kebanyakan tentara yang mereka gunakan adalah para penduduk Jawa, Bugis, Maluku dan dari remaja-remaja sisa perang Eropa yang mereka datangkan dengan iming-iming mimpi manis di Timur Asia. Masuk ke dinas ketentaraan Belanda, adalah cara gampang saat itu untuk meraih kesenangan di Timur untuk mengenal sumber rempah-rempah, seni China dan Jepang, keindahan wanita Asia dan petualangan baru.

Di Eropa, sangat banyak pengusaha yang bersedia membiayai petualangan menemukan dunia perdagangan baru, termasuk petualangan di Hindia. Hal ini sangat menguntungkan bagi para ekspedisi sains dan sosial seperti Snock Hurgronje, Junghuhn dan Alexandre von Humboldt karena mereka dapat menemukan pelajaran baru. Douwes Dekker sendiri menulis karyanya Max Haveelar untuk menceritakan petualangan-petualangan di Nusantara.

Pembangunan Singapura

Pada masa ini juga Rafles mulai membangun Singapura, ia meminta Inggris mengirim buruh dari Jawa, Bugis dan lainnya untuk membuat sebuah pemerintahan baru yang ia kelola dibawah pengaruh kerajaan Inggris. Bersama temannya Alexandre Hare, Kapten Ross mereka membangun Singapura bersamaan dengan Van Hagen (belanda) dan H.M Lange (Denmark) dan King (Inggris) yang membangun kota-kota di Malaka termasuk Selangor, Penang, dan lainnya. Mereka memanfaatkan pertikaian saudara yang berebut tahta di suatu kerajaan dengan imbalan bala bantuan senjata dan mereka akan mendapatkan kompensasi kemudahan berdagang yang berakhir pada kekuasaan penuh pada daerah itu. ( Politik Adu Domba). Ada pula yang terkenal adalah James Brooke, yang ikut membangun kerajaan Brunei di Kalimantan.

Tahun 1850an, gejolak di Eropa sangat bergemuruh tentang perluasan Belanda dan Inggris di Timur Asia, ada yang mengecam (karena biaya perang mahal), ada yang mendukung (Sebagai bentuk ekspansi perdagangan). Batavia yang mulai gerah dengan kondisi itu makin merajalela dengan tanam paksanya, mereka menggunakan politik adu domba untuk mendapatkan kerajaan-kerajaan kecil di Siak (Sumatera Timur), Langkat, Deli sampai di Kampar. Meski mereka terikat Traktat London untuk tidak mengganggu Aceh, tapi pergolakan di perbatasan Aceh sangat meresahkan Eropa. Eropa (terutama Inggris) sangat tahu bagaimana efeknya jika mengganggu kedaulatan Aceh.

Pelanggaran Traktat London

Tahun 1860an, Traktat London mulai dilanggar. Pengusaha termakan rayuan ekspansi sampai ke Tanah Aceh. Suksesnya tembakau Deli yang laku di pasaran Eropa membuat pengusaha makin giat tanpa memperdulikan kesepakatan Politik. Terbukanya Terusan Suez memancing Belanda untuk segera menguasai daerah yang belum sama sekali mereka jamah, Aceh. Padahal dari letak geografis, Aceh harus benar-benar dikuasai, agar pelayaran dari Suez, bisa dengan mudah dikontrol, sebelum masuk ke Penang dan Singapura yang notabanenya adalah milik Inggris. Selat Sunda yang sebelumnya menjadi jalur sibuk, kini mulai tidak ramai, Belanda mesti berpikir keras untuk ikut ambil bagian dari perkembangan Terusan Suez. Tahun ini sampai 1870, ekspansi warga Eropa ke Hindia sangat banyak, ada pedagang, tentara dan warga sipil. Ditambah lagi ekspansi keagamaan dari Khatolik, Islam yang mulai meruntuhkan manisnya Budha dan Hindu serta menghapus pagan dan animisme di Hindia.

Aceh, mulai menggeliat. Dibukanya Suez membuat Aceh harus bersiap karena daerahnya akan dilalui banyak kapal. Aceh meminta bantuan Turki dan berbagai negara muslim lainnya. Hubungan kerja sama ekonomi, agama dan politik serta budaya mulai digalakkan. Hubungan Turki dan Aceh dimulai tahun 1868 saat sultan Hamid mengirimkan perutusannya ke Istambul.

Terusan Suez berdampak sangat besar. Afrika bagian barat dan selatan mulai dikucilkan, pendudukan Inggris, Belanda dan Perancis di Afrika mulai goyah, tak ada manfaat yang berarti selain tambang. Tahun 1870, Belanda mulai secara militer merasa perlu untuk menguasai Aceh, Traktat London mulai dipertimbangkan untuk dilanggar, media massa di Eropa dan Malaka memulai perang urat saraf dengan memanaskan situasi politik dan ekonomi. Belanda dan Inggris mulai membuat perjanjian baru lagi, tentunya Posisi Aceh menjadi sedemikian pentingnya bagi dua negara ini, Belanda ingin menyempurnakan Posisinya di Sumatera (karena Sumatera telah penuh dikuasai sampai Asahan), dan Inggris ingin berkuasa di Selat malaka (yang akan menjadi selat paling sibuk karena terusan Suez).

Multatuli sebenarnya sudah meramal jauh tentang hal ini, dia mengatakan, semakin jauh Belanda berusaha untuk menguasai Aceh, akan semakin cepat meruntuhkan Kekuasaan Belanda di Hindia. Multatuli adalah sebagian kecil tokoh yang mengecam niat Belanda menguasai Aceh. Aceh mulai membina hubungan dengan Turki, Itali dan Amerika Serikat.

Permulaan Perang

Tahun 1872, dimulai perundingan Belanda dengan Aceh, yang isinya lebih kurang adalah permintaan Belanda kepada Aceh untuk tunduk secara damai dan membiarkan pedagang eropa menduduki tanah Aceh. Pihak Aceh yang pada saat itu terbagi dua kubu, yaitu kubu Habib Abdurahman yang pro arab menentang Balanda dan pihak Sultan yang agak lunak dan mau bekerja sama dengan Belanda. Perutusan Aceh yang saat itu berkedudukan di Singapura dan Tanjung Pinang (Riau) mulai melakukan diplomasi besar-besaran dengan dunia luar yang menurut belanda merupakan pengkhianatan Aceh. Jawaban dari Aceh untuk penawaran Belanda : Tidak !!

Akhirnya 18 februari 1873, sebuah telegram pun dikirim dari Den Hag untuk memulai program penyerangan ke Aceh. Adalah seorang Jendral JHR Kohler dan Van Daalen yang memimpin ekspedisi ke Aceh untuk pertama kalinya, mereka mengumpulan senjata dan tentara (saat itu berjumlah 3000 orang + 1000 orang budak). Ikut pula pedagang China yang juga membiayai ekspedisi. Maret 1873, pelayaran dimulai, dengan tidak jelasnya instruksi dan perintah, apakah masih menanyakan perundingan dengan Sultan, atau langsung perang. Karena tidak jelas, maklumat perang dikumandangkan langsung di lapangan pada tanggal 26 maret 1873 dengan alasan Aceh telah melanggar perjanjian niaga, perdamaian, persahabatan yang dibuat tanggal 30 maret 1857 antara Aceh dan Belanda.

Kohler yang berpengalaman di Padang dan Jawa mengira, taktik menduduki tanah Aceh sama dengan pengalamannya dahulu. Dengan menguasai muara sungai, lalu masuk ke Keraton dan menduduki Istana. Tapi di Aceh beda, baru mendarat, mereka harus kehilangan 9 orang tewas, 46 orang luka karena kelewang. Pasukan ditarik ke kapal, penyerangan pertama gagal total. Belanda sangat miskin informasi akan Aceh, mereka tidak tahu dimana Sultan, dimana Istana. Pantai Aceh yang berawa membuat pendaratan semakin sulit. Pendaratan kedua, mereka menguasai Mesjid yang mereka kira adalah keraton. Mesjid ini yang kita kenal dengan Baiturahman dipertahankan mati-matian oleh pejuang Aceh. Setelah dikuasai beberapa jam, mesjid dapat dikuasai kembali oleh masyarakat Aceh, dan pasukan Belanda kembali ditarik di pelabuhan. Pendaratan kedua gagal total dengan kerugian yang semakin besar dan yang paling menonjol adalah hilangnya semangat dan keberanian tentara Belanda. Pendaratan ketiga dapat mencapai keraton, Sultan dipindah ke Leung Bata, tapi tidak lama keraton dapat direbut kembali (keraton sekarang daerah Pendopo Gubernur, Gunongan, Taman Putro Phang dan sekitarnya). Penyerangan ketiga gagal, Jendral Kohler mati ditempat. Total kerugian Belanda, 4 perwira tinggi, 52 bawahan, 27 perwira rendah tewas dan ratusan lainnya luka berat. Dalam Perang Aceh pertama Belanda mengalami kegagalan Total, kerugian Finansial yang sangat besar.

Kekalahan Belanda

Pasukan ekspedisi pulang ke Batavia dengan kepala tertunduk, Van Daalen mengejek ekspedisi ini dengan kalimat: “anda menunjukkan bahwa anda tidak tergolong dalam tumpukan besar orang-orang tolol yang menilai suatu ekspedisi semata-mata dari hasil, tanpa memperhatikan kagungan dan kemasyuran yang tercapai karenanya”. Beban perang belanda melonjak tinggi.

Belanda mempunyai pemikiran baru, Aceh tidak bisa ditaklukkan dengan sebuah ekspedisi militer, sebesar apapun tentaranya, perlu adanya taktik lainnya. Aceh bukanlah daerah lain yang bisa dikuasai dengan mudah, karena mereka berjuang demi tanah dan agama yang mereka anut. Perang Aceh pertama, dari Kemiskinan Eropa, Terusan Suez hingga pergolakan Belanda dan Inggris. Tahun 1873 dikenal sebagai awal mula Perang Aceh, Perang paling dahsyat yang pernah dilakukan Belanda, dengan berbagai kerugian materi dan fisik.

Perang Aceh pertama adalah bagian awal dari sekelumitnya perang di Tanah rencong, perang yang menjadikan Masyarakat Aceh terbiasa dengan Konflik yang berkepanjangan. Perang yang membuat Masyarakat Aceh tegar dan teguh pendiriannya terhadap Tanah dan Agamanya..[Sumber]
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©