Kemiskinan Eropa
Tahun 1817, Benua Eropa dilanda
kemiskinan yang merajalela. Jerman yang baru saja menderita kekalahan Perang
Dunia Pertama, Perancis yang dihantui kemiskinan akibat keserakahan Napoleon
Bonaparte, dan berbagai kerumitan hidup para keluarga korban perang Eropa serta
para remaja mantan tentara yang membela negaranya demi nafsu diktator seperti
Adolf Hitler, Benito Musolini, Napoleon dan lainnya. Kebanyakan masyarakat
Eropa mencari alternatif untuk dapat bertahan hidup dengan mimpi-mimpi. Mereka
mendapatkan kabar bahwa di negeri timur yang jauh di sana ada berbagai impian
tentang kesenangan, pelacuran dan bergelimangnya harta yang disediakan untuk
mereka agar bersedia membantu para petualang Belanda, Portugis dan Spanyol
serta Inggris. Rayuan timur membuat banyak remaja eropa ikut serta dalam sebuah
misi baru, menguasai Hindia.
Pembukaan Terusan Suez
Dibukanya Terusan Suez tahun 1959
membuat jalur perdagangan Eropa bergerak berubah sangat cepat. Perdagangan yang
awalnya harus melalui Afrika sampai ke selatan, saat itu menjadi lebih singkat
dengan melewati Mesir dan berlayar melintasi selatan Asia. Hal ini berpengaruh
pada pelayaran perdagangan di Indonesia (yang dahulu masih berupa
kerajaan-kerajaan Nusantara). Jika dulu pelayaran akan melewati selat Sunda,
untuk masuk ke Nusantara. Kini pelayaran akan melewati selat Malaka untuk
langsung ke Laut China Selatan. Lebih singkat, murah dan sangat menguntungkan.
Hal inilah yang membuat Batavia (yang berkedudukan di Jakarta kini) gerah.
Perubahan jalur ini membuat daerah Aceh, Malaka, dan Singapura bergeliat
menerima para pedagang. Bergeliat tidak hanya bersifat positif, para perompak
pun ikut serta meramaikan perubahan jalur ini. Disinilah bermulanya pergolakan
Aceh.
Tahun 1824, 30 tahun sebelum
terusan Suez mulai dibangun, Belanda dan Inggris mempunyai sebuah perjanjian
bilateral. Inti dari perjanjian itu adalah; Inggris akan menyerahkan semua
kedudukannya di Sumatera (ketika itu bagian yang dikuasai inggris adalah Bengkulu
dan sekitarnya) kepada Belanda (yang kala itu sudah menguasai Jawa dan sebagian
Sumatera). Sebagai gantinya Inggris mendapatkan Malaka, Penang dan sebuah pulau
kecil tidak bertuan, Singapura.
Seorang Rafles, yang untuk
kemudian kita mengenalnya sebagai pendiri Singapura, termasuk orang yang
memiliki andil dalam pergolakan di Malaka. Rafles yang awalnya adalah jendral
buangan dari Jawa, pindah ke Bengkulu dan kemudian dibuang ke Singapura,
meminta sebuah syarat pada perjanjian Belanda dan Inggris, Traktat London.
Syaratnya adalah; “Jangan mengganggu kedaulatan Aceh”. Aceh menjadi bagian
penting dalam perjanjian dua negara penjajah di tahun 1824. Hasil Traktat
London, Rafles membangun Singapura, hingga kini namanya mendapat kehormatan
besar di Singapura.
Saat itu (mulai 1810) Belanda
tengah mengalami masa panceklik luar biasa, kekuasaan penuhnya di Jawa harus
dimaksimalkan dengan metode tanam paksa untuk membiayai perang dengan berbagai
kerajaan yang memberontak mulai dari Padang hingga Kalimantan, Sulawesi dan
Maluku. Kebanyakan tentara yang mereka gunakan adalah para penduduk Jawa,
Bugis, Maluku dan dari remaja-remaja sisa perang Eropa yang mereka datangkan
dengan iming-iming mimpi manis di Timur Asia. Masuk ke dinas ketentaraan
Belanda, adalah cara gampang saat itu untuk meraih kesenangan di Timur untuk
mengenal sumber rempah-rempah, seni China dan Jepang, keindahan wanita Asia dan
petualangan baru.
Di Eropa, sangat banyak pengusaha
yang bersedia membiayai petualangan menemukan dunia perdagangan baru, termasuk
petualangan di Hindia. Hal ini sangat menguntungkan bagi para ekspedisi sains
dan sosial seperti Snock Hurgronje, Junghuhn dan Alexandre von Humboldt karena
mereka dapat menemukan pelajaran baru. Douwes Dekker sendiri menulis karyanya
Max Haveelar untuk menceritakan petualangan-petualangan di Nusantara.
Pembangunan Singapura
Pada masa ini juga Rafles mulai
membangun Singapura, ia meminta Inggris mengirim buruh dari Jawa, Bugis dan
lainnya untuk membuat sebuah pemerintahan baru yang ia kelola dibawah pengaruh
kerajaan Inggris. Bersama temannya Alexandre Hare, Kapten Ross mereka membangun
Singapura bersamaan dengan Van Hagen (belanda) dan H.M Lange (Denmark) dan King
(Inggris) yang membangun kota-kota di Malaka termasuk Selangor, Penang, dan
lainnya. Mereka memanfaatkan pertikaian saudara yang berebut tahta di suatu
kerajaan dengan imbalan bala bantuan senjata dan mereka akan mendapatkan
kompensasi kemudahan berdagang yang berakhir pada kekuasaan penuh pada daerah
itu. ( Politik Adu Domba). Ada pula yang terkenal adalah James Brooke, yang
ikut membangun kerajaan Brunei di Kalimantan.
Tahun 1850an, gejolak di Eropa
sangat bergemuruh tentang perluasan Belanda dan Inggris di Timur Asia, ada yang
mengecam (karena biaya perang mahal), ada yang mendukung (Sebagai bentuk
ekspansi perdagangan). Batavia yang mulai gerah dengan kondisi itu makin
merajalela dengan tanam paksanya, mereka menggunakan politik adu domba untuk
mendapatkan kerajaan-kerajaan kecil di Siak (Sumatera Timur), Langkat, Deli
sampai di Kampar. Meski mereka terikat Traktat London untuk tidak mengganggu
Aceh, tapi pergolakan di perbatasan Aceh sangat meresahkan Eropa. Eropa
(terutama Inggris) sangat tahu bagaimana efeknya jika mengganggu kedaulatan
Aceh.
Pelanggaran Traktat London
Tahun 1860an, Traktat London
mulai dilanggar. Pengusaha termakan rayuan ekspansi sampai ke Tanah Aceh.
Suksesnya tembakau Deli yang laku di pasaran Eropa membuat pengusaha makin giat
tanpa memperdulikan kesepakatan Politik. Terbukanya Terusan Suez memancing
Belanda untuk segera menguasai daerah yang belum sama sekali mereka jamah,
Aceh. Padahal dari letak geografis, Aceh harus benar-benar dikuasai, agar
pelayaran dari Suez, bisa dengan mudah dikontrol, sebelum masuk ke Penang dan
Singapura yang notabanenya adalah milik Inggris. Selat Sunda yang sebelumnya
menjadi jalur sibuk, kini mulai tidak ramai, Belanda mesti berpikir keras untuk
ikut ambil bagian dari perkembangan Terusan Suez. Tahun ini sampai 1870,
ekspansi warga Eropa ke Hindia sangat banyak, ada pedagang, tentara dan warga
sipil. Ditambah lagi ekspansi keagamaan dari Khatolik, Islam yang mulai
meruntuhkan manisnya Budha dan Hindu serta menghapus pagan dan animisme di
Hindia.
Aceh, mulai menggeliat. Dibukanya
Suez membuat Aceh harus bersiap karena daerahnya akan dilalui banyak kapal.
Aceh meminta bantuan Turki dan berbagai negara muslim lainnya. Hubungan kerja
sama ekonomi, agama dan politik serta budaya mulai digalakkan. Hubungan Turki
dan Aceh dimulai tahun 1868 saat sultan Hamid mengirimkan perutusannya ke Istambul.
Terusan Suez berdampak sangat
besar. Afrika bagian barat dan selatan mulai dikucilkan, pendudukan Inggris,
Belanda dan Perancis di Afrika mulai goyah, tak ada manfaat yang berarti selain
tambang. Tahun 1870, Belanda mulai secara militer merasa perlu untuk menguasai
Aceh, Traktat London mulai dipertimbangkan untuk dilanggar, media massa di
Eropa dan Malaka memulai perang urat saraf dengan memanaskan situasi politik
dan ekonomi. Belanda dan Inggris mulai membuat perjanjian baru lagi, tentunya
Posisi Aceh menjadi sedemikian pentingnya bagi dua negara ini, Belanda ingin
menyempurnakan Posisinya di Sumatera (karena Sumatera telah penuh dikuasai
sampai Asahan), dan Inggris ingin berkuasa di Selat malaka (yang akan menjadi
selat paling sibuk karena terusan Suez).
Multatuli sebenarnya sudah
meramal jauh tentang hal ini, dia mengatakan, semakin jauh Belanda berusaha
untuk menguasai Aceh, akan semakin cepat meruntuhkan Kekuasaan Belanda di
Hindia. Multatuli adalah sebagian kecil tokoh yang mengecam niat Belanda
menguasai Aceh. Aceh mulai membina hubungan dengan Turki, Itali dan Amerika
Serikat.
Permulaan Perang
Tahun 1872, dimulai perundingan
Belanda dengan Aceh, yang isinya lebih kurang adalah permintaan Belanda kepada
Aceh untuk tunduk secara damai dan membiarkan pedagang eropa menduduki tanah
Aceh. Pihak Aceh yang pada saat itu terbagi dua kubu, yaitu kubu Habib
Abdurahman yang pro arab menentang Balanda dan pihak Sultan yang agak lunak dan
mau bekerja sama dengan Belanda. Perutusan Aceh yang saat itu berkedudukan di
Singapura dan Tanjung Pinang (Riau) mulai melakukan diplomasi besar-besaran
dengan dunia luar yang menurut belanda merupakan pengkhianatan Aceh. Jawaban
dari Aceh untuk penawaran Belanda : Tidak !!
Akhirnya 18 februari 1873, sebuah
telegram pun dikirim dari Den Hag untuk memulai program penyerangan ke Aceh.
Adalah seorang Jendral JHR Kohler dan Van Daalen yang memimpin ekspedisi ke
Aceh untuk pertama kalinya, mereka mengumpulan senjata dan tentara (saat itu
berjumlah 3000 orang + 1000 orang budak). Ikut pula pedagang China yang juga
membiayai ekspedisi. Maret 1873, pelayaran dimulai, dengan tidak jelasnya
instruksi dan perintah, apakah masih menanyakan perundingan dengan Sultan, atau
langsung perang. Karena tidak jelas, maklumat perang dikumandangkan langsung di
lapangan pada tanggal 26 maret 1873 dengan alasan Aceh telah melanggar
perjanjian niaga, perdamaian, persahabatan yang dibuat tanggal 30 maret 1857
antara Aceh dan Belanda.
Kohler yang berpengalaman di
Padang dan Jawa mengira, taktik menduduki tanah Aceh sama dengan pengalamannya
dahulu. Dengan menguasai muara sungai, lalu masuk ke Keraton dan menduduki
Istana. Tapi di Aceh beda, baru mendarat, mereka harus kehilangan 9 orang
tewas, 46 orang luka karena kelewang. Pasukan ditarik ke kapal, penyerangan
pertama gagal total. Belanda sangat miskin informasi akan Aceh, mereka tidak
tahu dimana Sultan, dimana Istana. Pantai Aceh yang berawa membuat pendaratan
semakin sulit. Pendaratan kedua, mereka menguasai Mesjid yang mereka kira
adalah keraton. Mesjid ini yang kita kenal dengan Baiturahman dipertahankan
mati-matian oleh pejuang Aceh. Setelah dikuasai beberapa jam, mesjid dapat
dikuasai kembali oleh masyarakat Aceh, dan pasukan Belanda kembali ditarik di
pelabuhan. Pendaratan kedua gagal total dengan kerugian yang semakin besar dan
yang paling menonjol adalah hilangnya semangat dan keberanian tentara Belanda.
Pendaratan ketiga dapat mencapai keraton, Sultan dipindah ke Leung Bata, tapi
tidak lama keraton dapat direbut kembali (keraton sekarang daerah Pendopo
Gubernur, Gunongan, Taman Putro Phang dan sekitarnya). Penyerangan ketiga
gagal, Jendral Kohler mati ditempat. Total kerugian Belanda, 4 perwira tinggi,
52 bawahan, 27 perwira rendah tewas dan ratusan lainnya luka berat. Dalam
Perang Aceh pertama Belanda mengalami kegagalan Total, kerugian Finansial yang
sangat besar.
Kekalahan Belanda
Pasukan ekspedisi pulang ke
Batavia dengan kepala tertunduk, Van Daalen mengejek ekspedisi ini dengan
kalimat: “anda menunjukkan bahwa anda tidak tergolong dalam tumpukan besar
orang-orang tolol yang menilai suatu ekspedisi semata-mata dari hasil, tanpa memperhatikan
kagungan dan kemasyuran yang tercapai karenanya”. Beban perang belanda melonjak
tinggi.
Belanda mempunyai pemikiran baru,
Aceh tidak bisa ditaklukkan dengan sebuah ekspedisi militer, sebesar apapun
tentaranya, perlu adanya taktik lainnya. Aceh bukanlah daerah lain yang bisa
dikuasai dengan mudah, karena mereka berjuang demi tanah dan agama yang mereka
anut. Perang Aceh pertama, dari Kemiskinan Eropa, Terusan Suez hingga
pergolakan Belanda dan Inggris. Tahun 1873 dikenal sebagai awal mula Perang
Aceh, Perang paling dahsyat yang pernah dilakukan Belanda, dengan berbagai
kerugian materi dan fisik.
Perang Aceh pertama adalah bagian
awal dari sekelumitnya perang di Tanah rencong, perang yang menjadikan
Masyarakat Aceh terbiasa dengan Konflik yang berkepanjangan. Perang yang
membuat Masyarakat Aceh tegar dan teguh pendiriannya terhadap Tanah dan
Agamanya..[Sumber]
0 komentar:
Post a Comment