Sultan Ibrahim Mansyursyah
(1838-1870), merupakan Sultan Aceh terbesar di abad ke XIX, pada saat itu
Sultan dan para pembesar-pembesarnya telah mengetahui maksud dan tujuan Belanda
yang sedang berupaya untuk menguasai wilayah-wilayah kerajaan Aceh seluruhnya.
Belanda pada saat itu hanya sedang menanti kesempatan yang baik dan waktu yang
tepat untuk mewujudkan niat jahatnya untuk menguasai Kerajaan Aceh. Karena
menurut Belanda selama kerajaan Aceh masih berdiri, Belanda tidak akan bisa
leluasa menguasai sendiri perairan Selat Malaka. Oleh sebab itu mereka harus
segera menduduki wilayah dan pusat kerajaan Aceh tersebut.
Menurut pendapat Belanda, mereka
akan didahului oleh bangsa Eropa lainya yang menjadi saingan, seperti Inggris,
Prancis, Italia, dan yang paling mereka khawatirkan adalah Amerika. Untuk itu
Belanda harus bertindak cepat menguasai kerajaan Aceh sebelum Bangsa lain
mendahuluinya. Karena itulah makanya Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyursyah dalam
tahun 1854 telah memerintahkan kemanakannya Tuanku Pangeran Husain dengan
mempergunakan 200 buah perahu pukat berikut ± 1000 orang prajurit Aceh untuk
berangkat ke Sumatera Timur, guna mengadakan konsolidasi dan meyakinkan
Raja-raja setempat (Asahan, Kota Pinang, Serdang, Deli, Langkat dan
sebagainya), bahwa wilayah mereka adalah bahagian dari kerajaan Aceh, dan
Belanda suatu ketika pasti akan mencaplok wilayah tersebut untuk dimasukan ke
dalam jajahannya, dan sejak semula harus disadari bahwa Belanda itu adalah
musuh Agama, musuh bangsa dan musuh setiap insan yang cinta merdeka.
Berkat penerangan dari Tuanku
Pangeran Husein, akhinya Raja-raja setempat pun menyadari bahwa berhasilnya
nenek moyang mereka menjadi raja dan orang besar di tempat tersebut adalah
karena diangkat dan dibesarkan oleh Sultan Aceh, bukan oleh yang lainnya, dan
merekapun mengakui bahwa dirinya adalah petugas dari Sultan Aceh. Untuk
mengukuhkan kedudukan, Sultan Alaidin Ibrahim Mansyursyah memberikan kepada
mereka sarakata pengangkatan yang baru, masing-masing dengan gelar, hak dan
kekuasaan dan batas-batas daerah, serta diiringi dengan tanda-tanda kebesaran
dan sebagainya.
Dalam tahun 1857, rupanya Belanda
telah berhasil memaksa Raja Siak Seri Indrapura untuk menanda tangani sebuah
surat pengakuan bahwa negerinya termasuk segala rantau dan jajahan takluknya,
di mana dimasukkannya juga wilayah Asahan, Deli Serdang dan Langkat serta
Tamiang ke dalamya untuk berada di bawah kedaulatan Belanda dan sebagian dari
jajahan Belanda.
Karena apa yang diperkirakan
sebelumnya telah benar-benar terbukti, maka Sultan Aceh Alaiddin Ibrahim
Mansyursyah, pada awal tahun 1858 telah menunjuk dan mengangkat Tuanku Hasyim
Banta Muda menjadi Timbalan (Vice Boy) Sultan Aceh untuk wilayah-wilayah Aceh
Timur, Langkat, Deli Serdang, di mana Tuanku Hasyim boleh memilih sendiri
staf-stafnya. Kemudian Tuanku Hasyim segera berangkat ke tempat tugasnya, guna
menghadapi, mematahkan, menggagalkan atau sekurang-kurangnya menghalangi niat
busuk Belanda yang ingin menggeranyangi wilayah kerajaan Aceh yang jauh dari
Ibu Kota, terutama wilayah subur di Sumatera Timur, padahal sebelumnya baik
Inggris bahkan Belanda dari dulunya mengakui bahwa daerah itu adalah sah
termasuk dalam kedaulatan Aceh Darussalam, malah menurut pengakuan Sultan Aceh
sendiri wilayahnya sampai ke Tanah Putih Ayam Denak di Riau.
Untuk melaksanakan tugas yang
dibebankan Sulthan, dan melihat Panglima Teuku Nyak Makam seorang yang berbakat
serta cerdas, Tuanku Hasyim mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai asisten dan
pembantunya. Walaupun akhirnya seluruh daerah Sumatera Timur itu dapat dikuasai
juga oleh Belanda, tetapi bukanlah berarti Tuanku Hasyim tidak sukses dalam
tugasnya. Ini terbukti, kecuali Langkat sendiri yang didorong oleh ambisi dan
kepentingan pribadinya yang terang-terangan menjemput Belanda ke Bengkalis,
maka raja-raja yang lain sewaktu Residen Netscher dari Bengkalis mengadakan
pemeriksaan ke Deli Serdang dan Asahan tidak ada satupun yang mengaku bahwa
Siak berkuasa atas negeri mereka.
Tegasnya mereka menolak
kedaulatan Belanda baik langsung maupun tidak langsung, apalagi melalui Siak
atas negerinya. Kesimpulannya baik karena faktor Tuanku Hasyim atau faktor
kesetiaan kepada Aceh dari Raja Deli, sehingga menyebabkan rencana Belanda
untuk menguasai Sumatera Timur di tahun 1862 itu telah gagal sama sekali, dan
Belanda terpaksa pulang ke Bengkalis dengan tangan hampa.
Dalam tahun 1863 Tuanku Hasyim
telah mendapat bantuan tenaga dari pusat dengan didatangkannya Laksamana Teuku
Cut Lateh Raja Muda Meureudu, di mana Raja Muda Meureudu tersebut menyinggahi
pula kedudukan raja demi raja di Sumatera Timur itu sampai ke Asahan. Kecuali
Langkat sendiri, maka Deli apalagi Serdang, lebih lebih lagi Asahan segera
menyambut baik kedatangan Panglima Aceh tersebut dengan perasaan gembira dan
bangga.
Sebaliknya karena adanya Tuanku
Hasyim Banta Muda yang telah menjadi menantu pangeran, Musa Langkat yang
merupakan mertuanya yang sengaja memasukkan Belanda menjadi gagal untuk
menandatangani surat penyerahan Langkat kepada Belanda. Untuk menghadapi
kemungkinan serangan mendadak dan besar-besaran dari Belanda, maka Tuanku
Hasyim bersama Teuku Mudah Cut Lateh, Tuanku Hitam (adik Hasyim) dan Panglima
Nyak Makam membuat kubu-kubu pertahanan di Teluk Ham, Pulau Kampai, Pulau
Sembilan, Kuala Gebang, Pangkalan Siantar, Bogak, Tualang Cut dan tempat-tempat
strategis lainnya.
Saat itu Panglima Teuku Nyak
Makam ditugaskan untuk mempertahankan Benteng Pulau Sembilan yang berseberangan
dengan Pulau Kampai, sehingga sewaktu Residen Netscher mencoba menggempur
benteng Aceh di tempat tersebut dengan mudah saja prajurit-prajurit Aceh
memuntahkan pelurunya dari dua jurusan ke kapal perang Belanda tersebut,
sehingga Netscher tersebut terpaksa lari ikut pulang ke pangkalannya.
Pada tahun berikutnya Belanda
mencoba lagi menyerang pertahanan Aceh di Teluk Ham Pulau Kampai dan Pulau
Sembilan, tetapi hasilnya buat Belanda ialah tewasnya beberapa orang serdadu
lautnya. Sejak itu buat sementara Belanda telah mengalihkan perhatiannya ke
Asahan dan Serdang yang dianggap Belanda keras kepala, karena setia kepada Aceh
dan tak mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Belanda kafir angkara murka
itu. Pada tanggal 23 Mei 1863 Residen Netscher dari Bengkalis mengirimkan surat
ancamannya kepada kedua Raja tersebut. Teuku Sultan Basyaruddin Syaiful
Alamsyah Serdang menolak mentah-mentah untuk sekedar menerima surat tersebut,
malah mengusir si pembawanya untuk segera berangkat dari hadapannya.
Sebaliknya Sultan Ahmad Syah
Asahan, telah membalas dengan pedas surat Netscher itu dan mengatakan kepada
pembawanya: “Saya sama sekali tidak mengerti kenapa Belanda begitu hebohnya
kepada Asahan, kenapa mereka tidak berani langsung menyerang dan menaklukkan
Aceh kalau mereka berkuasa“.
Dengan keputusan pemerintah
Hindia Belanda tertanggal 25 Agustus 1865, tanggal 20 Agustus 1865 berangkatlah
enam buah kapal perang Belanda dengan memuat 1000 orang serdadunya di bawah
pimpinan Kapten P.A.van Rees, angkatan daratnya dipimpin oleh Mayor W.E.F.van
Hemskreeck dan pimpinan politiknya langsung dipegang oleh Residen Riau
Netscher. Tanggal 12 September 1865 mereka tiba di Asahan dan Residen Netscher
langsung menyampaikan ultimatum perang kepada Sultan Asahan, yang ditulis di
atas kapal Jambi tertanggal 12 September 1865. Isinya antara lain meminta
kepada Sultan supaya memilih dua kemungkinan, yaitu menyerahkan kedaulatan
negeri Asahan atau perang. Sulthan Asahan sedikitpun tidak menggubris dan
menghiraukan ultimatum itu.
Akibatnya Belanda menggempur
Asahan dari dua jurusan, sebagian mendarat di kampung Bogak Batubara menuju
Asahan dan sepasukan lagi baru tanggal 17 September 1865 berhasil mendaratkan
tentaranya di kampung Rawa. Setelah mengorbankan puluhan nyawa serdadu dan
perwira -perwiranya dalam menghadapi perlawanan seru dari Sulthan dan rakyat
Asahan, baru Belanda berhasil menduduki Asahan. Kemudian Sultan Ahmadsyah yang
perkasa itu dan kedua adiknya dibuang Belanda ke Tanjung Pinang. Tapi atas
desakan rakyat, Belanda terpaksa mendudukkan beliau kembali ke tahta. Setelah
terlebih dahulu menaklukkan Asahan dari kedaulataan Aceh, maka pada tanggal 8
Oktober 1865 Residen Netsher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh beberapa
kapal perang telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau Sembilan
dan pulau Kampai, dan berlabuh di tengah laut sekedar melihat bendera Aceh yang
berkibar dengan megahnya.
Raja Burhanuddin diutus ke darat
untuk menjumpai Tuanku Hasyim, di situlah Belanda baru tahu bahwa Hasyim dengan
sebagian prajurit-prajuritnya tidak ada di pulau Kampai karena telah berangkat
ke Ibu Kota. Pertahanan di pulau Kampai dan sekitarya hanya dipercayakan kepada
adiknya Tuanku Hitam. Tuanku Hitam diajak Raja Burhanuddin (yang juga dikenal
sebagai Teuku Komando, pegawai setia Belanda di Betawi) untuk menjumpai
Netscher ke kapal. Tuanku Hitam menolaknya. Walaupun dengan separuh lagi dari
pasukan Aceh yang masih bertahan, namun demikian Belanda belum berani mendarat,
dan mereka terpaksa kembali dulu ke Bengkalis.
Demikianlah, pada tanggal 8
Oktober 1865, Residen Netscher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh
beberapa kapal perangnya, di mana turut juga Pangeran Musa dan
prajurit-prajuritnya, telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau
Kampai itu. Setelah menggempur mati-matian selama beberapa hari, pada tanggal
14 Oktober 1865 terpaksalah Tuanku Hitam, berikut Teuku Muda Cut Lateh Meureudu
dan Panglima Teuku Nyak Makam mengundurkan diri ke Manyak Paet.
Pada tanggal 14 Oktober 1865 itu
juga pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Cattenberg komandan pasukan
infanteri Belanda dengan dibantu oleh Letnan Laut van Thiel, juga Pangeran Musa
Langkat, telah berhasil masuk ke sungai Temiang melalui sungai Kuruk, untuk
mengantarkan Teungku Sulung Laut guna dirajakan di Seuruwey, sebagai Vice Roy
Langkat dan boneka Belanda.
Sejak tanggal 18 Oktober 1865
itulah mulai berkibarnya bendera Belanda di salah satu sudut di Aceh, yaitu di
pulau Seuruwey. Walaupun telah berhasil menguasai Seuruwey, namun Belanda
hingga sekian puluh tahun belum berani menyerang daerah-daerah Aceh lainnya,
sampai meletusnya perang resmi di bulan April 1873.
Setelah jatuhnya Seuruwey ke
tangan Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mula-mula mundur ke Telaga Meuku,
kemudian ke Peureulak di mana banyak terdapat kaum keluarga dan orang-orang
sekampungnya. Beberapa hari di Peureulak dan berdiskusi dengan Teuku Chik
Peureulak tentang situasi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Simpang Ulim. Di
sana beliau menemui Teuku Johan Lam Pase juga menyampaikan hal yang sama, dari
Simpang Ulim beliau pergi ke pulau Penang, dari Pulau Penang pulang ke Lamnga,
Aceh Besar.
Tetapi sewaktu pasukan Belanda
mencoba memasuki sungai Yu, mereka telah dibantu oleh pasukan Maharaja Lubuk
(Uleebalang Sungai Yu), malah sebuah bargas (kapal perang kecil dari besi) Belanda,
berhasil ditenggelamkan oleh Datuk Panglima Muda, dengan hanya memuntahkan
beberapa peluru meriam yang mengenai sasarannya. Seluruh personilnya turut
tenggelam ke dasar sungai bersama dengan kapal-kapalnya.
Terhitung sejak tanggal 14
Oktober 1865, berakhirlah kekuasaan Aceh di Sumatera Timur, dan sejak tanggal
14 Oktober 1865 itu juga mulailah berkibar bendera Belanda. Sejak saat itu pula
bertambah berkobarlah kebencian Panglima Teuku Nyak Makam kepada Belanda yang
telah mulai di hadapinya sejak tahun 1862, yaitu 11 tahun sebelum perang resmi
antara kerajaan Aceh Versus kerajaan Belanda, yaitu pada tahun 1873.
Setelah Sultan memperhatikan
prestasi demi prestasi yang telah berhasil dicapai baik dalam berpolitik,
strategi militer dan kepemimpinan yang dimiliki oleh PanglimaTeuku Nyak Makam
sejak mudanya, maka atas keputusan Sultan Muhammad Daud Syah di Markas Keumala
Pidie (Lembah Pidie), pada tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima
Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staff kerajaan lainnya diangkat lah Panglima
Teuku Nyak Makam dengan resmi diangkat menjadi “Mudabbirusyarqiah” yakni
penegak kedaulatan Aceh di bahagian Timur dan sekaligus sebagai panglima
Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur dengan wakilnya Teuku
Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Panglima Teuku Nyak Makam di
samping bertugas sebagai pemimpin pasukan gerak cepat dengan senjata lengkap,
yang bertugas mengkoordinir barisan-barisan pejuang Aceh yang dipimpin oleh
Ulee balang / Raja-raja setempat dari Sungai Jambo Ayee di Simpang Ulim hingga
ke Deli Hulu dan Serdang Hulu. Adapun pasukan gerak cepat yang dipimpin
langsung Teuku Nyak Makam dengan di dampingi oleh wakilnya Teuku Panglima Nyak
Mamat itu, baik taktis atau administratisinya dibagi atas beberapa pasukan, di
antara komandan-komandan pasukannya yang dapat diketahui antara lain, Panglima
Perang Ben, Nyak Muhammad alias Teuku Tapa, Nyak Ali, Said Abdurrahman, Haji
Abdullah, Teuku Muda Sulaiman, Panglima Perang Umar, Panglima Prang Ulim dan
Teuku Mad Dia, Sultan Ulim dan lain-lain.
Adapun kesatuan-kesatuan pejuang
lokal dalam bidang dan strategi langsung dikomandoi Teuku Nyak Makam sendiri
sedangkan administratifnya di panglimai sendiri oleh ulee balang-ulee balang
setempat antara lain, Teuku Panglima Perang Hakim Julok Cut, Teuku Bentara
Peukan Juluk Rayeuk, Teuku Usuh Ulee Gajah Bagok, Teuku Panglima Perang Nyak
Bugam dan kemanakannya, Teuku Syamsareh Idi Cut, Teuku Bukit Pala dan Teuku
Nyak Bahrum Idi, Teuku Panglima Kaum Lam Baet dan Teuku Abu Peudawa Rayeuk,
Teuku Tibang Muhammad Husin dan anaknya Teuku Nyak Gam dari Lintang Peureulak,
Teuku Meurah Din dan Teuku Meudagu dari Peureulak, Nyak Umar dari Alur Nireh,
Teuku Daud dari Lhok, Panglima Perang Beuni dari Bayeuen, Teuku Chik Bintara
dan Teuku Panglima Meudeuhak dari Langsa, Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim
Banta Muda Hasyim ) dan menantunya Said Ali ( Habib Rayeuk ) Manyak Paet, Teuku
Banta Ahmad dan Datuk Panglima Dalam Muhammad Saleh Set Yu, Teuku Ujung Rimba
Bendahara, Panglima Ibrahim di Kejuruan Muda, Teuku Ben Raja dan Teuku Raja
Silang di Kejuruan Karam, Panglima Abdul Manaf di Serba Jadi, Datuk Sri
Pahlawan di Damar Condong/Air Masin, Teuku Nyak Hasan di Pulau Kampai, Teungku
Abdul Rahman dan adiknya Wan Muntok di Bahorok Langkat Hulu, Datuk Kecil, Datuk
Jalil dan Datuk Sulung Barat di Sunggal dan puluhan panglima-panglima lainnya
hingga sampai ke tanah Karo, Deli Hulu dan Serdang Hulu.
Sebagai gerak pertama setelah
pengangkatannya menjadi Panglima Mandala kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan
Aceh bagian Timur, pada bulan November 1885 Panglima Teuku Nyak Makan dengan
140 orang anak buahnya yang terlatih rapi itu muncul di Tamiang untuk memulai
operasinya, dalam operasinya tersebut telah menimbulkan kepanikan bagi seluruh
pembesar sipil dan meliter Belanda apalagi bagi pengusaha-pengusahanya. Pada
tanggal 18 Desember 1885 dengan kekuatan 50 orang prajurit Panglima Teuku Nyak
Makam yang dipimpin oleh Nyak Ulim telah menggempur Tangsi Belanda di Seuruwey
setelah berhasil dipancing keluar dari kandangnya. Dalam penyerangan tersebut
seluruh kolonial itu telah dijadikan bulan-bulanan umpan peluru dari para
pejuang.
Kemudian pada tanggal 28 malam 29
Desember 1885, pejuang Aceh yang dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Makam
sendiri telah menggempur Seuruwey yang dipertahankan oleh lebih kurang 300
serdadu Belanda yang lengkap dengan kaveleri, arteleri termasuk pasukan-pasukan
marinir. Panglima Teuku Nyak Makam berhasil mengobrak-abrik rumah penjara di
Seuruwey, selain kepala penjaranya sendiri beberapa orang serdadu Belanda tewas
dalam pertempuran tersebut.
Dari Seuruwey Panglima Teuku Nyak
Makam terus maju dengan pasukan gerak cepat guna menggempur kedudukan Belanda
di Pulau Kampai dan berhasil merampas seluruh senjata yang ada pada Polisi dan
Pabean tanpa ada kesempatan untuk memberikan perlawanan. Dengan berhasil
menggempur kedudukan Belanda pada tanggal 2 Januari 1886 dari Pulau Kampai Nyak
Makam kembali lagi kejurusan Temiang dan menggempur
benteng-benteng Belanda di
Seuruwey, untuk penggempuran ini pasukan gerak cepat Nyak Makam telah dibantu
oleh raja Ma’an Raja Kejeruan Muda/Tamiang Hulu, dengan menggunakan pasukan
khususnya.
Setelah menderita berbagai
kerugian terutama kematian serdadunya, terpaksalah pertahanan Belanda di
Seuruwey mendatangkan pasukan tambahan sebanyak 124 orang serdadu Mobiel
Brigade termasuk tiga orang perwira disamping satu Peleton infanterinya. Dari
Seuruwey PanglimaTeukuNyak Makam berangkat ke Besitang, mendengar bahwa pasukan
Nyak Makam akan menyerang, mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Siata, maka
Nyak Makam dengan sebagian besar anak buahnya terus masuk ke sekitar Langkat
Hilir dan di sana beliau mengganyang perkebunan-perkebunan Belanda di Glen
Bervi (Paloh Muradi), Gerbang, Serapuh, Tamaran, Tarau dan Perkebunan lain di
sekitar Langkat Hilir. Kejadian ini terjadi dalam bulan Februari 1886.
Sebahagian pasukan gerak cepat
Nyak Makam di bawah pimpinan Nyak Ali, dikerahkan untuk menghantam perkebunan
di Teluk Rubiah (sekarang termasuk kepenghuluan Pangkalan Siata Kecamatan
Pangkalan Susu). Dalam penyerangan itu siapa saja yang berani melawan maka akan
menjadi makanan santapan pasukan yang dikenal tanpa takut itu. Dari sini
penyerangan diteruskan ke perkebunan Tungkam dan Sungai Dua. Setelah perkebunan
di sungai Dua itu dibinasakan, para pejuang terus bergerak ke sungai Satu.
Akibat dari penyerangan-penyerangan tersebut, perkebunan di Teluk Rubiah,
Tungkam, Sungai Dua dan Sungai Satu terpaksa ditutup. Kejadian ini terjadi di
bulan Februari hingga tanggal 11 dan 12 Maret 1886.
Dari Sungai Dua dan Sungai Satu
pasukan Aceh yang dipimpin oleh Nyak Ali menggabungkan dirinya kembali dengan
induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan dibantu
oleh Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda), kemudian mereka
meneruskan perjalanannya ke Bahorok untuk bertemu dengan Teuku Abdurrahman guna
melantik Kejreun Bahorok yang telah turun temurun itu menjadi panglima barisan
sabilillah untuk wilayah Langkat Hulu dan mengadakan kerja sama untuk memerangi
Belanda.
Dalam waktu yang relatif singkat
Tgk. Aburrahman Raja Bahorok itu segera merealisir dan melaksanakan tugasnya
dengan dibantu oleh adiknya Wan Mentok. Beliau terus menghubungi kepala-kepala
daerah di Langkat Hulu itu agar turut berjuang mengusir Belanda yang telah
menodai tanah Langkat yang mulai mencekamkan kukunya sejak tahun 1864.
Hasilnya sebagai akibat dari
kerja sama Panglima Teuku Nyak Makam bersama pasukan gerak cepatnya dari Aceh
dengan Teuku Abdurrahman Kejreun Bahorok, Belanda terpaksa menempatkan Garnizun
militernya di Binjai, kemudian perkebunan Bekiun dan sekitarnya terpaksa
dikosongkan. Belanda juga harus membayar ganti rugi sebanyak F.75.000,- (Tujuh
puluh lima ribu gulden) kepada maskapai Harizon (Inggris) akibat tak sanggupnya
Belanda menjaga keamanan di daerah yang katanya telah dikuasai mereka
sepenuhnya. Kemudian serdadu mereka juga banyak yang mati.
Di saat-saat Belanda sibuk
menghadapi pertempuran dengan pejuang-pejuang Aceh/Langkat di daerah Langkat
Hulu itu dalam bulan April 1886 itu juga Panglima Teuku Nyak Makam telah
menyerang perkebunan Belanda di Serapuh, yang letaknya persis di bawah hidung Belanda
sendiri dan hanya beberapa kilometer saja dari Tanjung Pura. Setelah sempat
beberapa puluh orang bangsa dan serdadunya mati, barulah Belanda teringat untuk
memperkuat pertahanan dan menambah serdadunya di Tanjung Pura itu.
Dalam bulan mai 1886, di kala
Belanda telah mulai tenang kembali, tiba-tiba Nyak Makam telah mengganyang
perkebunan Belanda di sungai Sedapan (ke Hilir Besitang) yang baru saja dibuka.
Akibatnya pengusaha Belanda terpaksa ambil langkah seribu, tak berani lagi
menampakan dirinya lagi ke tempat semula dan menghentikan sama sekali
rencananya.
Setelah lenyap dari daerah
Besitang itu, tiba-tiba pasukan Nyak Makam di awal bulan Juni 1886 telah muncul
kembali untuk menghadapi Belanda yang bermarkas di Tanjung Pura, di mana Nyak
Makam telah menyerang perkebunan Tamaran yang terletak kurang lebih 3 Km di
timur Tanjung Pura). Dalam pertempuran itu banyak sekali serdadu Belanda yang
tewas, termasuk dua orang asisten kebunnya sendiri. Di kala serdadu Belanda
ingin menyerang kembali ke tempat tersebut, Nyak Makam tidak mereka jumpai
lagi.
Demikianlah, dalam masa 14 bulan
itu (Maret 1885 s/d Juni 1886) menurut pengakuan Belanda sendiri di daerah
Langkat Hilir dan Teluk Haru itu tidak kurang dari 25 kali pasukan sabilillah
Nyak Makam mengadakan penyerangan, yang terpaksa mereka hadapi dengan
pengorbanan yang tidak alang kepalang.
Sesudah menggemparkan dan
mengejutkan Belanda selama 14 bulan itu, maka dalam bulan Juni 1886, Panglima
Teuku Nyak Makam kembali pulang ke kampungnya Lamnga Aceh Besar untuk
beristirahat di samping untuk bertemu dengan Sultan Alaiddin Muhammadsyah,
Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala, yang
telah memindahkan kembali markas besarnya ke wilayah XXII mukim Aceh Besar.
Selanjutnya dalam bulan Juni 1886
itu juga Panglima Teuku Nyak Makam dengan diam-diam kembali ke markasnya
beserta membawa 25 orang prajuritnya ahli gerilya yang dipimpin oleh Pang Abu.
Hasil-hasil nyata yang telah diperoleh selama gerakan pertama Panglima Teuku
Nyak Makam itu di daerah Langkat dan Aceh Timur, walaupun Panglima Teuku Nyak
Makam tidak berhasil menguasai derah khusus di daerah Langkat, tetapi belasan
onderming yang sedang membangun terpaksa gulung tikar dibuatnya, di mana
tempat-tempat tersebut yang telah diterlantarkan oleh Belanda/raja Langkat
menjadi hutan kembali sehingga tempat itu dapat dijadikan basis untuk gerakan
Nyak Makam selanjutnya.
Sebaliknya di wilayah Tamiang,
akibat munculnya Nyak Makam, Belanda yang telah menempatkan serdadunya sejak
tahun 1865 di Seuruwey tidak berani memperluas daerahnya. Dalam arti kata
mereka tetap terpulau di dalam tangsinya di dalam Peukan Seuruwey itu saja,
sedangkan selebihnya seperti di daerah Kejuruan Muda, Bendahara, apalagi
Kejreun Karang dan Sungai Yu, masih tetap di bawah kekuasaan Aceh sepenuhnya.
Setelah meninggalkan wilayah
Tamiang, dalam perjalanan pulang, Panglima Teuku Nyak Makam tidak langsung
pulang ke kampungnya di Lamnga, tetapi sambil berobat beliau menyempatkan diri
singgah di tempat-tempat yang telah beliau tempatkan komandan-komandan pasukan
sejak dari Peureulak, Idi, Keureuto, Nisam, Samalanga, Meureudu dan Pidie untuk
berjumpa degan Sultan Panglima Polem, terutama bekas gurunya Tuanku Hasyim
Banta Muda di Padang Tiji. Kemudian setelah mengadakan kontak dengan mertuanya
Teuku Umar Meulaboh, barulah beliau pulang ke kampung halamannya di Lam Nga.
Karena menderita sakit Teuku Nyak
Makam merencanakan untuk pulang ke kampung halamannnya di Lamnga Aceh Besar dan
perlawanan terhadap Belanda di wilayah timur selanjutnya di percayakan pada
wakilnya Nyak Muhammad. Setelah itu Panglima Teuku Nyak Makam langsung
berangkat menuju ke Aceh Besar. Banyak biaya yang dihamburkan Belanda untuk
mata-mata, ketika mendengar kabar kepergiannya ke kampung halaman. Belanda
mengharapkan bahwa dari pengkhianatan akan diperoleh informasi tentang
keberadaan Panglima Teuku Nyak Makam supaya bisa dicegat. Tapi Panglima Teuku
Nyak Makam selalu berhasil mempermainkan Belanda, karena Panglima Teuku Nyak
Makam mengenal siapa pengkhianat itu, maka mudahlah baginya melangsir berita
palsu mengenai di mana dia berada.
Sebuah berita “Aceh Courant”
tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada
di Aceh Besar, sementara sebuah berita “Deli Courant” disekitar masa itu
mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam berada di Peureulak. Lalu pasukan
Belanda di berangkatkan ke Peureulak, tapi Panglima Teuku Nyak Makam masih
berada di Tamiang, dan menghantam pasukan Belanda di bagian ini ketika Belanda
memalingkan perhatiannya ke Peureulak.
Keberangkatan Panglima Teuku Nyak
Makam ke Aceh Besar sebetulnya berlangsung pada minggu kedua bulan April 1893,
tidak lama setelah serah terima jabatan Panglima Teuku Nyak Makam kepada Teuku
Nyak Mamad mengenai pimpinan tugas perlawanan di Aceh Timur dan Langkat,
Panglima Teuku Nyak Makam sebetulnya adalah teman akrab dengan Teuku Umar,
dikaitkan lagi dengan Cut Nyak Dhien isteri abang sepupunya Teuku Chik Ibrahim
yang gugur tanggal 29 Juni 1878, di samping pernah serumah di Lamnga juga Cut
Nyak Dhien adalah sewali dengan Teuku Umar.
Teuku Umar simpati kepada
Panglima Teuku Nyak Makam karena ketangkasannya berperang. Ada alasan untuk
percaya bahwa Panglima Teuku Nyak Makam pergi ke Aceh Besar bukanlah karena
kegagalan melawan Belanda di Aceh Timur, melainkan karena dipanggil oleh Teuku
Umar sendiri ataupun karena ingin menambah bala bantuan atau untuk memperunding
lebih jauh mengenai koordinasi dan strategi perlawanan semesta terhadap
Belanda.
Sebagai fakta bahwa perlawanan di
Aceh Timur tidak gagal dapat disaksikan dari kegiatan perang menghadapi Belanda
pimpinan Teuku Nyak Muhammad. Suatu pertempuran yang mematahkan kekuatan
Belanda di Bukit Kubu telah berlangsung pada tanggal 24 Mai 1893 ketika Teuku
Nyak Muhammad dan pasukannya mengadakan serangan hebat. Perlawanan yang berarti
sekitar masa itu berlangsung terus di antaranya di Upak, Tanjung, Seumanto dan
Manyak Paet (Maja Pahit). Perlawanan, selanjutnya di bagian ini berlanjut
hingga bertahun-tahun, bahkan pada memakan waktu yang lama dan semakin
meningkat hebat tatkala pejuang-pejuang di bagian ini mendengar bahwa Teuku
Umar telah balik lagi ke pangkuan Aceh.
Tahun-tahun berikutnya Teuku Nyak
Muhammad mengaktifkan perlawanan gerilya di samping perlawanan yang masyhur
dari Teuku pejuang Gayo dari Telong. Belanda yang sengaja telah melepaskan
mata-mata untuk mengikuti langkah Panglima Teuku Nyak Makam, yang terkenal licin
dan boleh disebut seorang intelligent yang terulung yang paling ditakuti oleh
Belanda.
Dalam bulan November 1893
Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di wilayah Pidie. Belanda sama sekali
tidak berhasil walaupun telah menghabiskan dana yang besar untuk mengetahui di
mana Panglima Teuku Nyak Makam berada, sehingga seperti orang yang ling-lung
demikian lah tamsilan untuk Belanda ketika diberitahukan secara resmi oleh
Teuku Umar bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah berada di Kula Gigieng. Teuku
Umar ketika itu sudah menjadi Panglima Perang Besar Belanda dan dia mengatakan
bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah diangkat menjadi pembantunya untuk me
melihara keamanan di bagian XXVI mukim.
Demikianlah semenjak itu Panglima
Teuku Nyak Makam telah berada ditempat asalnya di Lamnga, termasuk di XIII
Mukim Tungkop. Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisadiambil tindakan apa-apa
oleh Belanda karena dilindungi oleh Teuku Umar. Belanda terpaksa menyimpan
kemarahannya. Sebaliknya Kolonel A.H. Van de Poll yang berada di Medan hanya
bisa mengurut dada untuk menahan kemarahannya.
Demikianlah kejadian dalam
penghujung tahun 1893, Komandan Militer Belanda di Medan amat kecewa terhadap
Gubernur Militer di Aceh, Jenderal Deijkerhoff yang bersikap lunak terhadap
musuh-musuh Belanda yang paling berbahaya seperti Panglima Teuku Nyak Makam
itu. Padahal ia telah banyak menewaskan Belanda. Dia adalah penyerang yang
sangat tangkas, orang yang ditakuti oleh administratur kebun, karena jiwa
mereka senantiasa terancam, setiap saat dapat saja membakar dan mengadakan
sabotase di perkebunan. Di mana sedang giat-giatnya Belanda membuka Perkebunan
dan Tambang, maka disitulah Panglima Teuku Nyak Makam giat mengadakan sabotase
dan penyerangan gerilya.
Menghadapi kenyataan ini Belanda
tidak dapat berbuat apa-apa, tuntutan Belanda di Sumatera Timur supaya Panglima
Teuku Nyak Makam di tangkap tidak diacuhkan sama sekali, sebab Belanda masa itu
masih sangat mengharapkan bantuan Teuku Umar. Tapi dendam kusumat Belanda
terhadap Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisa hilang begitu saja. Dendam
kesusumat itu segera menonjol begitu Teuku Umar dalam bulan Maret 1896 balik
arah untuk melawan Belanda.
Sebagai seorang kesatria yang tak
mungkin dapat menahan diri dari berjuang, baru sembuh sedikit Panglima Teuku
Nyak Makam telah menggabungkan dirinya dengan kesatuan yang dipimpin oleh
Sultan, namun karena penyakitnya beliau hanya mampu bertindak sebagai penasihat
saja.
Demikianlah, di triwulan pertama
tahun 1896, karena penyakitnya semakin parah terpaksalah Panglima Teuku Nyak
Makam kembali untuk beristirahat ke kampungnya di Lamnga, sesampai di sana ia
sudah tidak sanggup bangun-bangun lagi, sehingga beliau tidak tahu bahwa Teuku
Umar yang melindunginya telah kembali berjuang di pihak pembela bangsanya lagi.
Sebaliknya karena sangat
tergesa-gesa Teuku Umar pun tak sempat pula memberitahukan mengenai kembalinya
kepada menantunya yang sedang sakit itu. Lagi pula berdasarkan pengalaman
terdahulu kampung Lamnga itu sepeninggal Panglima Teuku Nyak Makam dulu, hampir
tidak pernah diserang atau dimasuki oleh serdadu Belanda terkutuk itu. Ternyata
keadaan di mana bergabungnya kembali Teuku Umar kepada bangsanya sungguh tidak
menguntungkan Panglima Teuku Nyak Makam. Dia sendiri dalam keadaan sakit, tidak
dapat bergerak dari pembaringan sejak beberapa lamanya.
Demikianlah pada tanggal 21 Juli
1896 seorang cecunguk Belanda datang melaporkan kepada Belanda di Koetaradja
bahwa Panglima Teuku Nyak Makam yang sekian lama dibuntuti oleh Belanda itu
kini sedang berada dalam keadaan sakit berat di Lam Nga dan jika diserang pasti
dapat dihancurkan. Tanpa membuang waktu Belanda mengarahkan sejumlah besar
tentaranya. Belanda sadar siapa lawannya, pengalaman pasukan Kolonel Van de
Poll ketika berhadapan dengannya di Tamiang dulu telah meyakinkan Belanda bahwa
Panglima Teuku Nyak Makam harus dihadapi dengan pasukan yang luar biasa besar.
Setelah mendengar berita tersebut
jenderal J.W.Stemfoort panglima/gubernur Sivil/militer Belanda di Aceh terus
saja memerintahkan bawahannya Letnan Kolonel G.F.Soeters mengerahkan serdadunya
untuk menghancur leburkan Panglima Teuku Nyak Makam yang merupakan musuh
utamanya.
Demikianlah di malam kelam yang
gelap gulita, yaitu tepat pada Senin malam Selasa tanggal 21 menjelang 22 Juli
1896 M bertepatan dengan 9 jalan 10 safar 1314 H, berangkatlah Belanda ke
kampung Lamnga di bawah pimpinan Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini
terdiri dari berbagai gabungan Korps Marsose, satu batalyon Infantri ke tiga
sebanyak 3 kompi dari batalyon infantri ke 6 sebanyak satu batalyon ke 12
sebanyak satu pasukan Kafeleri dengan 45 orang dari pasukan Zeni, pasukan ini
didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu
detasemen dari batalyon yang ditempatkan (garnizun) di Kuala Gigieng yang
berjumlah kurang lebih 2000 orang serdadu seluruhnya.
Dengan kekuatan sedemikian
dahsyat itulah Belanda baru sanggup dan berani menghadapi seorang insan Aceh
yang sedang sakit parah, tetapi Belanda mengerti berdasarkan pengalamannya
bahwa setiap orang Aceh bernilai sama dengan 100 orang serdadu Belanda. Tapi
terhadap diri Panglima Teuku Nyak Makam musuh utama dan yang paling ditakuti
oleh Belanda ini, bernilai 10 kali lipat lagi, seorang baru sebanding dengan
beliau sebanyak 1000 orang Belanda dan andai kata ada pengawalnya 10 orang,
maka mereka harus diahadapi oleh 1000 orang Belanda yang lain lagi. Penilaian
seperti ini pasti tidak pemah dicetuskan mereka melalui lidahnya, konon pula
untuk menuliskan dalam buku-bukunya, tetapi fakta sejarah demikianlah
kenyataannya.
Demikianlah, kampung Lamnga yang
sunyi sepi yang tak ada nilainya dari sudut strategi militer, terus dikepung
rapat dengan ketat dan disekat dengan tiba-tiba, sehingga penduduknya yang
rata-rata adalah kaum wanita, ditambah kakek-kakek yang telah tua renta dan
bocah-bocah yang masih ingusan pastilah tak sanggup dan tidak ada kesempatan
lagi melakukan sesuatu menghadapi sergapan mendadak dari serdadu Belanda. Konon
pula untuk mengungsikan Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah dan
tergeletak di pembaringannya.
Sedangkan Panglima Teuku Nyak
Makam sendiri dalam keadaan seperti itu, apalagi di luar dugaannya pastilah
pula tak ada kesempatan lagi berbuat sesuatu, apalagi dia sendiri tidak berdaya
sedikitpun. Andaikata beliau masih sanggup bergerak pastilah beliau akan
meluluhlantakkan beberapa orang Belanda sebelum beliau dapat disekap dan
ditawan mereka. Karena itu sama sekali tidak mungkin lagi, maka selanjutnya dia
serahkan dirinya kepada Allah dengan tulus tekad sepenuh hati. beliau rela
berjuang dengan mempertaruhkan tubuhnya untuk menyambut seruan dan panggilan
Tuhannya, Allah Robbul ‘izzati.
Penyerangan terhadap kediaman
Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang
mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku
Nyak Makam yang sedang sakit parah di pembaringan.Walaupun demikian cara
Belanda yang betul-betul pengecut menawan Nyak Makam yang telah pucat pasi dan
kurus kering dan betul-betul tanpa daya, persis laksana sekawanan besar monyet
menyergap seekor ular besar yang kekenyangan sehabis menelan mangsanya.
Dengan serba kebengisan, Panglima
Teuku Nyak Makam lalu ditangkap kemudian diangkat dan dinaikkan ke tandu,
kemudian isteri serta seisi rumahnya digiring dengan sangkur terhunus kebadan
mereka masing-masing. Teuku Nyak Makam dan isterinya digotong ke kampung
Gigieng, di tempat Letnan Kolonel Soeter sedang menunggu dengan harap-harap
cemas.
Melihat wajah Panglima Teuku Nyak
Makam yang telah pucat pasi, kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang
tiba-tiba secara mendadak G.F.Soeters kehilangan akal. Diapun terus memancung
putus kepala Panglima Teuku Nyak Makam dalam keadaan terikat dan terbaring di
atas tandu. Selanjutnya tanpa tunggu perintah lagi, batang tubuh beliau
dicincang-cincang lumat hingga hancur secara berebut-rebutan oleh
serdadu-serdadu Belanda yang 2000 orang jumlahnya, masing-masing seakan takut
tak dapat bagiannya. Peristiwa tersebut terjadi di hadapan mata dan disaksikan
anak isteri dan penduduk Lam Nga yang sengaja digiring ke Kuala Gigieng itu
agar mereka tahu betapa dan bagaimana biadab, kejam dan sadisnya Belanda yang
tak malu-malu mengaku diri bangsa tersopan di dunia.
Setelah melumatkan tubuh Panglima
Teuku Nyak Makam, kepala beliaupun dijadikan bulan-bulanan tentara Belanda
seperti bola sebagai tanda kemenangan. Selanjutnya, saat malam tiba kepala
syuhada agung Aceh itu mereka angkut secara demonstrasi dengan bersorak-sorai
kegirangan diiringi rasa bangga untuk mempersembahkan kepada Panglima/Gubernur
nya Jenderal J.W.Steemfoort dan staf-stafhya di Kutaraja.
Besok paginya Selasa tanggal 22
juli 1896 kepala Panglima Teuku Nyak Makam itu, terus diarak untuk dipawaikan,
diperagakan dan didemonstrasikan oleh suatu iringan-iringan besar serdadu
Belanda, dengan melintasi seluruh jalan-jalan dan gang-gang penting di
Kutaraja, dengan bertempik sorak tanda kesenangan karena mereka telah
mengalahkan musuh bebuyutannya yang paling mereka takuti dan yang telah
menewaskan ribuan serdadu bangsa mereka.
Tidak beberapa lama kemudian,
kepalanya yang sudah terpisah dari tubuhnya yang sebelumnya telah dibalsem,
lalu dikirim ke Batavia kepada Tuan Besar Gubernur Jendral,
Panglima Besar (Leger Comandant)
dan pembesar-pembesar Hindia Belanda yang berada di sana. Dari Batavia
diteruskan ke Nederland untuk dipersembahkan kepada Sri Baginda Maharaja Ratu,
para Menteri dan pembesar-pembesar mereka di Den Haag. Konon menurut sumber
yang lain kepala Nyak Makam dikrimkan kembali ke Cimahi setelah dibalsem dalam
toples. Dan pada tahun 1942 baru kemudian dikebumikan atas perintah angkatan
perang Jepang untuk Indonesia.
Panglima Teuku Nyak Makamlah
satu-satunya pejuang Aceh yang badannya bermakam di Serambi Mekkah tetapi
kepalanya dikuburkan di Nederland ditanah kepingan bumi Eropa Barat. Itulah
kebuasan, suatu kanibalisme yang tidak ada taranya. Hasil kemenangan yang
dikecap oleh Belanda terhadap seorang invalid (sakit ) yang lemah. Tidak
mengherankan jika orang Belanda sendiri merasa malu dengan perbuatan Militer
Belanda di Aceh karena tindakan yang demikian hanya dikenal dalam masa purba. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment