Cerita orang sebelum tsunami itu
kini pas pula untuk diterapkan, soalnya dalam beberapa tahun terakhir
banyak muncul warkop mirip solong, yang juga menyediakan menu bubuk
kopinya khas Ulee Kareng.
Aceh sejak tempo dulu dijuluki
memiliki warung kopi terpanjang di dunia, dan predikat itu tampaknya
masih disandang provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
Tapi, dalam setahun terakhir
terjadi perubahan drastis. Banyak penikmati kopi mencampurkan aroma kopi
Ulee Kareng dengan kenikmatan berselancar di dunia maya.
Warung kopi (warkop) yang
sekaligus menyediakan fasilitas warung internet (warnet) menjadi idola.
Warkop plus warnet seperti itu diserbu masyarakat, terutama kawula muda
di Banda Aceh.
Usaha
warkop cukup hanya mengeluarkan modal di bawah Rp 5 juta untuk
menyediakan meja, kursi, televisi dan gelas, sendok, piring kecil dan
gula pasir serta bubuk kopi atau teh.
"Tapi, kini untuk usaha warkop
memerlukan modal puluhan juta rupiah, bahkan bisa mencapai ratusan juta
rupiah," kata Ermi, pemilik warkop terkenal di kawasan "Simpang Limong"
pusat Kota Banda Aceh.
Menurut Ermi, pada era
persaingan guna menarik lebih banyak pengunjung, pemilik warkop berlomba
menyediakan peralatan teknologi informasi, yakni jaringan internet
nirkabel berteknologi Wireless Fidelity (Wi-Fi), selain dukungan tempat
yang bersih dan indah.
"Itu semua tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit," katanya.
Seorang tamu yang baru tiba di
Banda Aceh, misalnya, sempat tertegun ketika menyaksikan hampir semua
warkop di kota itu menyediakan jaringan internet.
"Awalnya saya heran menyaksikan
di atas meja tidak hanya gelas kopi, tapi juga beberapa unit laptop.
Saya kira, orang-orang itu hanya menulis sesuatu dengan perangkat itu,
tapi ternyata juga mengakses internet," kata Ahmadi, yang mengaku baru
pertama kali ke Aceh.
"Hebat ya, warkop di Aceh
benar-benar berbeda dengan daerah lain yang pernah saya kunjungi. Warga
Aceh tampaknya tidak mau ketinggalan teknologi, jaringan internet bisa
diakses sambil meneguk secangkir kopi," katanya menambahkan.
Perkembangan teknologi informasi
tidak bisa dibendung, bahkan orang akan terus tertinggal jika tidak
menguasai dan mengikuti irama global tersebut. Apalagi, jaringan
internet telah bisa diakses hampir seluruh pelosok terutama di ibukota
kecamatan di Aceh, kata staf Kantor Dinas Pendidikan Aceh Bustamam Ali.
Para pecandu kopi sekaligus dunia maya itu sebagian besar mahasiswa, termasuk ada di antaranya dari para pelajar.
"Mereka yang membuka jaringan
internet secara terbuka di warkop jelas bukan pornografi, karena
logikanya tidak mungkin terjadi di tengah-tengah keramaian," kata
Bustamam Ali.
Para pengunjung yang asyik
internetan itu membawa labtopnya sendiri, sedangkan pemilik warkop hanya
menyediakan fasilitas internet serta kopi "Ulee Kareng" sebagai menu
utama.
Harga
minuman kopi hangat di warung yang menyediakan fasilitas internet itu
rata-rata berkisar antara Rp 4.000,00 sampai Rp 5.000 per cangkir.
Sementara di warung tanpa fasilitas teknologi informasi berkisar Rp
2.000.
Sementara itu, Wakil Wali Kota
Banda Aceh Illiza Saa`duddin Djamal menyebutkan, hampir 80 persen warkop
di daerahnya kini telah menyediakan fasilitas internet.
"Kondisi itu merupakan dukungan
untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai kota cyber. Fasilitas internet itu
gratis bagi pelanggan kopi namun harganya tentu sedikit disesuaikan,"
katanya.
Tidak dijumpai di kota-kota besar tentang adanya warung kopi dengan ketenaran internet di kalangan masyarakat.
"Untuk mengakses internet di
kota-kota besar lainnya di Indonesia kita harus ke hotel atau
tempat-tempat khusus yang tentunya harus memakai biaya yang lebih
banyak. Di Aceh hanya bermodalkan Rp 5.000 untuk secangkir kopi, kita
bisa mengakses internet secara gratis," katanya.
Kalau di Aceh, tidak hanya
warung kopi yang bisa berinternet, tapi juga ada Kampung Digital,
Internet Sehat, Taman Digital dan juga Masjid Digital.
Akan tetapi, perkembangan teknologi informasi itu tidak hanya berdampak positif tapi juga negatif.
"Artinya, melalui pelayanan
jaringan internet gratis di taman-taman maka konstribusinya adalah
memberikan pendidikan tentang pengetahuan dan berbagai informasi kepada
masyarakat, tapi diharapkan jaringan internet tidak disalahgunakan untuk
mengakses hal-hal negatif," katanya.
Untuk itu, Illiza minta PT
Telkom agar menutup berbagai situs yang tidak bermanfaat bagi generasi
muda yang bisa diakses melalui jaringan internet tersebut.
"Kami berupaya mewujudkan Banda
Aceh sebagai cyber city. Salah satu dukungan yang akan kami berikan
adalah memastikan seluruh gampong di kota ini tersedia jaringan
hotspots," kata GM Divisi Consumer Service Regional I Sumatra Overlis.
Jaringan hotspots yang
ditawarkan terlayani di seluruh gampong di kota berpenduduk sekitar 230
ribu jiwa itu yakni "Internet Sehat". Total gampong di Banda Aceh
tercatat sebanyak 90 desa.
"Itu
artinya bahwa kami siap menutup akses internet yang tak mendidik tidak
hanya di tempat umum tapi juga keluarga. Hal tersebut penting juga
sebagai upaya Telkom menyahuti program pemerintah untuk mewujudkan kota
ini sebagai bandar wisata Islami," katanya menambahkan.
Khusus jumlah pelanggan jaringan
internet berkecepatan tinggi, Overlis menyebutkan seluruh Aceh tercatat
12.000, untuk Kota Banda Aceh sebanyak 4.000 pelanggan.
Ia menyebutkan pihaknya juga berupaya agar seluruh taman yang telah dibangun Pemko Banda Aceh akan dipasangi jaringan hotspots.
"Kami juga memastikan seluruh
taman rekreasi yang dibangun di kota ini akan terlayani akses internet
jaringan hostspots," katanya menambahkan.
0 komentar:
Post a Comment