26 Maret 2011, tepat 138 tahun
peristiwa paling bersejarah bagi Aceh terjadi, Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh.
Rabu, 26 Maret 1873, di atas
kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan
Kerajaan Aceh. Setalah itu serangan besar-besaran dilakukan ke daratan Aceh.
Belanda gagal total, Panglima Perang Belanda, JHR Kohler tewas.
Surat pernyataan perang oleh
Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada
1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas
dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia
Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”
Pernyataan perang pihak Belanda
itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga.
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia
Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”
Penolakan secara halus itu
membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangan ke Aceh setelah
membacakan maklumat perang terhadap Aceh. Maklumat itu dibacakan setelah
beberapa kali surat menyurat yang tegang antara sultan Aceh dengan Komisaris Pemerintah
Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang Citadel van
Antwerpen.
Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan
Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada
hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim
sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda
itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10
Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia.
Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh
Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan
tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda
yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, muasyawarah melahirkan
kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang
Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad
itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah
dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji
Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah
tersebut berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian
hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing
kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat
setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua
ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak,
dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan
musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian
rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik.
Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji
seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami
semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu
kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah
dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun.
Wassalam.”
Sumpah ini kemudian dimasukkan
dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya
ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said
Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang
keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda
Aceh.
Belanda Menyerang Aceh Setelah
maklumat perang dinyatakan pada 26 Maret 1873, sebulan kemudian, Senin, 6 April
1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue dibawah
pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler.
Tak tanggung-tanggung, dalam
penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni
Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang
Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah
Belanda.
Selain itu ada lima barkas,
delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima
kapal layar, yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga diantaranya
untuk mengangkut pasukan alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk
amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut
orang-orang sakit.
Armada Belanda tersebut dipimpin
oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri
dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputere, 3.198 pasukan yang 1098
diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera,
yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan itu juga diperkuat dengan
31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang
mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu
kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira
Belanda. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh
Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.
Begitu mendarat, pasukan Belanda
langsung digempur oleh pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah
bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid
Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem
Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.
Empat hari kemudian, 14 April
1873, Belanda kembali mencoba untuk menyerang Mesjid Raya. Dalam pertempuran
tersebut Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas ditangan
pejuang Aceh. Tujuan Belanda untuk menguasai Dalam (Kraton-red) gagal total.
Pada pertempuran itu selain
Kohler dipihak Belanda juga tewas delapan orang perwira. Belanda benar-benar
mendapat tamparan dari perlawanan gigih pejuang Aceh. Tiga hari setelah Kohler
tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873.
Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April
1873, kembali ke Batavia.
Karena Belanda mengalami
kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms
dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah
Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu
menganggap remeh kekuatan Aceh.
Dalam buku itu ia menulis,
“Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een
jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken,
energieken vijand,...met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich
onverwinbaar achtte...die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan
hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton
zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die behalve over al de
materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme
of patriotisme beschikte..”
Artinya: telah diperkirakan suatu
kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman
bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah
musuh dalam julah besar yang sangat gesit ..... suatu bangsa yang tidak gentar
menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan.... Pengalaman itu
memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang
kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita menghadapi
rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti
cinta tanah air.”
Dalam sidang Palemen Belanda ada
tanggal 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda memberikan jawaban atas
interpelasi yan menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren
gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte.”
Artinya “Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit
pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat
dikalahkan.”
Kegagalan Belanda itu terus saja
dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh
baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff
dalam bukunya “Atjeh” ia menulis. “De atjehschevrouw, fier en depper, was de
verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste
onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en
doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster
van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van
den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht”.
Artinya “Wanita Aceh gagah dan
berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila
ia turut serta bertempur, dilakukannya denga gigih dan mengagumkan, bersikap
tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang
menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat mehhadapi maut, ia masih mampu
mendahului muka si kaphe.”
Zentgraaff menilai, wanita Aceh
dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan
berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul
setelah ia menemuai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang
patroli Belanda seorang diri. Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut Baren,
nyang kakinya harus diamputasi.
Ada lagi kisah istri Teungku
Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuaran pada tahun 1910,
meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri
atas bantuan istrinya. Sementara istrinya tertangkap dengan luka para di
tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia
menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),”
hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat
pertolongan dari kafir.
Hal yang sama juga diakui oleh
Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek:
History of Netherland Eas Indie ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda
akibat perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Ia menulis:
“The proclamation of direct rule
over Acheh pi proper had been a mistaken idea; there could be not question of
conquest for the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the
heavy losses suffered and the consequent large drainage of force.” (Proklamasi
tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya adalah cita-cita yang
amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu itu. Keadaan serdadu di Aceh
sangat menyedihkan karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan
kekuatan yang besar). [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment