ACEH, 15/10- RAPA'I PASE. Group kesenian Rapa'i Pase Payong Sutera memukul rapai di Desa Cot Girek Kandang Lhokseumawe Aceh, Kamis (15/10). Rapai yang satu-satunya "lahir" di Samudra Pasai (pase), Aceh Utara sebagai alat kesenian Aceh, kerap digunakan masyarakat saat menyambut tamu kehormatan. FOTO ANTARA/RAHMAD/ss/ama/09 |
Dalam masyarakat Aceh masa kini ajaran
Islam itu tetap dipandang sebagai nilai yang esensial dan masih sangat
besar pengaruhnya sekalipun disamping itu pengaruh dari budaya modern
mulai besar pula. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran. Malah
dalam beberapa nilai konflik nilai-nilai dalam masyarakat Aceh
sekalipun nilai-nilai Islam masih tetap dominan.
Mari kita lihat sekilas sejarah mengenai
beberapa budaya dan seni Aceh diantara sekian banyak budaya dan seni
kebanggaan masyarakat Aceh.
Tari Seudati |
1. Seudati
Seudati merupakan perpaduan antara seni
tari, seni suara, seni sastra, karena selain dari menari, para pelaku
juga sekaligus meyakinkan kisah-kisah yang tersusun secara bersajak dan
dilagukan dengan berbagai lagu, pada permulaan sejarahnya, seudati itu
berfungsi sebagai tari pahlawan yang dilaksanakan untuk melepaskan
pasukan tentara yang akan berangkat ke medan juang dalam peperangan
melawan musuh,- menyambut pasukan tentara yang pulang dari medan
perang, lebih kalau pasukan itu pulang dengan membawa kemenangan, media
dakwah, karena dalam kisah yang diucapkan bersajak itu, dapat
diselipkan berbagai ajaran yang perlu didakwahkan.
Akan tetapi kemudian oleh karena kesenian
tersebut sangat digemari oleh rakyat, maka diadakan juga pada
waktu-waktu yang lain, bahkan dikampung-kampung. Akhirnya fungsi
berubah menjadi hiburan rakyat dan dipertandingkan dengan pemungutan
bayaran. Mula-mula tidak semalam suntuk, akan tetapi waktu pertandingan
terjadi berbalas kisah, karena masing-masing tidak mau kalah, maka
akhirnya sampai pagi hari, mataharilah yang memisahkan kedua belah
pihak, akibatnya semua orang yang menikmati hiburan tersebut terpaksa
tidur semalam suntuk, tidak sempat mencari rizki untuk belanja rumah
tangga, disamping itu juga lama kelamaan timbul efek samping lainnya,
yaitu terjadi perzinaan dan pencurian dikampung-kampung yang
bersangkutan dan yang berdekatan, oleh karena itulah ulama Aceh
membencinya, malah mengharamkannya, judi haramnya itu, bukan haram zaty,
artinya bukan haram seudati atau keseniannya, melainkan haram karena
akibat sampingan yang merusak masyarakat, kalau hal ini dapat
dihindarkan tidak masalah.
Para pelaku seudati terdiri dari delapan
orang penari ditambah satu atau anak seudati yang bagus suaranya, oleh
karena para seudati terdiri dari delapan orang maka dinamakan saman
berasal dari bahasa Arab yang berarti delapan, dan oleh karena dalam
permainan itu diceritakan bermacam-macam terutama sewaktu pertandingan,
maka dinamakan ratooh.
Pakaian para penari terdiri dari baju
kaos lengan panjang celana panjang berwarna hitam atau putih yang agak
genting pada bagian lutut dan kain sarung sutera berlipat dua dililit
dipinggang, kemudian disisi plah sebilah rencong, lambang pahlawan Aceh
dihulunya diikat denga kain kuning atau hijau, dikepalanya di ikat
daster sutera yang dalam bahasa Aceh disebut “tangkulok sutera”
Oleh karena seudati sangat digemari oleh
segenap masyarakat Aceh, maka dalam konferensi PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) yang berlangsung di kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada
tahun 1964 dibicarakan juga hukumnya, untuk keperluan itu maka
dibentuklah sebuah tim penelaah yang terdiri dari tokoh-tokoh yang
bertugas dijawatan agama keresidenan Aceh, akan tetapi karena situasi
belum mengizinkan karena masih berlangsungnya perlawanan fisik melawan
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia lagi, tambah pula ada
antara anggota tim itu meninggal dunia, maka tim tersebut tidak dapat
menyelesaikan tugasnya. Namun dalam rapat-rapat telah terdapat titik
terang, asal saja dalam pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang
negatif.
2. laweut
Tari Saman Gayo |
Perkataan
laweut berasal dari perkataan “seulaweut” (seulaweut dalam bahasa
Indonesia) ini juga merupakan antara seni tari, seni suara dan seni
sastra. Tari ini lebih mirip dengan tari seudati, hanya pelakunya
terdiri dari gadis-gadis, oleh karena itu juga dinamakan dengan nama
“seudati inong” (Seudati Perempuan) tarin seudati ini berasal dari Aceh
Pidie.
Unsur Islam dalam seni rupa
Seni rupa juga berkembang di Aceh, akan
tetapi perkembangannya sekarang tidak menonjol sebagaimana keadaan pada
masa lampau, seni rupa yang berkembang di Aceh adalah seni arsitektur,
seni ukir, dan seni dalam membuat sulaman, anyaman, keramik, kopiah
meukutop dan rencong, seni pahat dan seni lukis tidak berkembang pada
masa lampau, dari keduanya hanya seni lukis yang mulai berkembang
sekarang, sebab tidak berkembangnya seni pahat dan seni lukis pada masa
lampau di Aceh juga karena ajaran Islam.
Setelah datangnya agama Islam maka
pengaruh hindu yang ada di Aceh dihilangkan, maka dilarang membuat
patung atau gambar mahluk yang bernyawa, baik manusia maupun hewan,
larangan tersebut berdasarkan hadist ya itu: “ siapa yang melukis atau
menggambar sebuah gambar, maka dia akan disiksa tuhan sampai dia bisa
memberinya bernyawa, tapi selamanya tidak mungkin memberikan lukisan
atau patung itu bernyawa” (Saleh Kasim, 1986).
Seni arsitektur
Tercermin
dari rumoh Aceh yang sekarang masih ada sisa-sisanya, bentuk dari
rumah tradisional Aceh ini memanjang dari arah timur ke barat yang
maksudnya dibuat demikian adalah untuk memudahkan menentukan arah
kiblat. Dibagian sebelah barat maupun sebelah timur sejajar dengan
kuda-kuda dan letaknya agak keluar, terdapat tolak angin (tulak angen) yang sepenuhnya berisi ukiran-ukiran yang merupakan kaligrafi yang berasal dari ayat-ayat al-Quran.
Demikian pula pada pintu rumah yang disebut juga Pinto Aceh
serta pada kisi-kisi dan bingkai jendela terdapat juga ukiran-ukiran
yang bermotif alam (misalnya bunga) dan kaligrafi huruf Arab. Selain
daripada itu, dalam mendirikan rumah Aceh tradisional didirikan upacara
yang bersifat religius, seperti halnya mengadakan peusijuek, yang
hal itu sebenarnya merupakan sisa-sisa kebudayaan sebelum Islam
datang, yaitu animisme dan dinamisme yang berbau magis, namun dalam
upacara itu telah dimasukkan ajaran Islam, misalnya membacakan doa
secara Islam bila acara mendirikan rumah itu selesai, disamping hal-hal
tersebut diatas masih dapat juga ditelusuri unsur-unsur Islam yang
terdapat dalam arsitektur Rumoh Aceh ( Rumah Aceh), misalnya
dari struktur ruangan-ruangan yang terdapat dalam rumah itu yang ada
kaitan dengan peranan-peranan daripada penghuninya. Jadi unsur Islam
dalam seni arsitektur Aceh sangat jelas.
Anyaman
Anyaman
berkembang di Aceh sampai dengan sekarang, akan tetapi yang masih maju
di daerah-daerah pedalaman, akan tetapi didaerah perkotan anyaman
tersebut sudah minim, anyaman tersebut dibuat dari daun lontar dan
pandan dalam bahasa Aceh dinamakan sikee, anyaman yang biasa
dibuat adalah tikar, diantaranya adalah tikar sembahyang dan tikar
orang mati, tikar sembahyang khusus dibuat untuk maksud itu (tikar
sajadah) dan disamping itu bentuk juga memperlihatkan unsur Islam.
Bagian depan menyerupai kubah mesjid, dan
bagian pinggirnya menyerupai gigi buaya sebanyak lima buah yang
melambangkan bahwa seorang yang sedang bersembahyang tidak boleh
melakukan kegiatan lain ( misalnya berbicara) akan tetapi harus kusyuk
seakan-akan orang itu (hatinya) berbicara dengan tuhan.
Rencong
Timbul
Rencong di Aceh juga karena pengaruh Islam. Banyak simbol-simbol pada
rencong yang memperlihatkan unsur Islam didalamnya. Didalam buku
RENCONG karangan T. Syamsyuddin dan M. Nur Abas ( 1981:5) dijelaskan
arti dari simbol pada rencong sebagai berikut:
- Gagang Rencong yang melekuk kemudian melebar pada bagian sikunya berupakan aksara arab BA
- Bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN
- Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi pada gagangnya merupakan aksara MIM
- Lajur-lajur besi pada pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM
- Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas dan bagian bawah sedikit melekuk ke atas merupakan aksara HA.
Rangkaian dari dari aksara BA, MIM, LAM,
dan HA itu mewujudkan kata, dengan demikian jelas bahwa rencong
merupakan perwujudan dari ayat al-quran yang dalam bentuk alat yang
tajam dijadikan sebagai alat perang guna mempertahankan agama Islam
dari rong-rongan orang yang anti Islam.
Unsur Islam juga dapat ditelusuri dari
cara membuatnya . untuk membuat sebuah rencong adakalanya dilakukan
dengan cara ilmu ghaib yaitu dengan mengurutkan besi atau logam bahan
rencong dengan jari tangan dengan membaca mantra-mantra dari ayat
al-quran sehingga ia benar-benar ampuh sebagai senjata.
Inilah sekilas tentang seni dan budaya
Aceh yang penuh dengan nilai-nilai religius dan heroik, selama ini
banyak daripada generasi Aceh yang tidak mengenal akan budaya nenek
moyang mereka, mereka lebih mengenal akan budaya-budaya asing (budaya
barat) yang sama sekali tidak cocok dengan kultur kita masyarakat Aceh
ini merupaka sebuah dilema bagi kelestarian budaya yang sangat kita
cintai ini, padahal seharusnya kita harus bangga dengan budaya kita itu
yang berbeda dengan budaya-budaya lain yang ada di dunia ini.
Semua pihak harus bangkit dan bersatu
menyelamatkan budaya kita, semua kita harus mempunyai rasa memiliki dan
rasa mencintai terhadapa budaya yang kita miliki, setiap bangsa yang
lupa akan budayanya maka bangsa tersebut akan kehilangan jati diri.
Mari kita bangkitkan kembali rasa cinta terhadap budaya kita kepada
segenap generasi kita sejak dini sebelum semuanya terlambat.
0 komentar:
Post a Comment