Tuanku Hasyim Bangta Muda yang diperkirakan lahir antara tahun 1834 dan
tahun 1840 merupakan keturunan kaum keluarga sultan Aceh. Dia adalah
putra dari Tuanku Abdul Kadir bin Tuanku Cut Zainal Abidin bin Sultan
Alaiddin Mahmudsyah, Sultan Aceh yang memerintah antara tahun 1781
hingga tahun I 795.Semenjak kecil beliau diasuh oleh Sultan Alaiddin
Ibrahim Mansursyah, berkat usahanya Tuanku Hasyim Bangta Muda menjadi
seorang pemuda yang gagah berani, cerdas dan bijaksana. Dari
pernikahannya dengan Cut Nyak Puan, ia memperoleh dua orang anak yaitu
Tuanku Musa yang bergelar Tuanku Raja Keumala dan Tengku Ratna Keumala.
Dengan asuhan yang cukup bijaksana akhirnya Tuanku Raja Keumala menjadi
tokoh besar yang turut mengusir penjajah Belanda di Aceh sedangkan
Tengku Ratna Keumala menikah dengan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima
Polem Muhammad Daud.
Awal Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda
Perjuangan pertama yang diemban oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda adalah ketika Sultan Ibrahim Mansursyah, menugaskannya ke Sumatra Timur karena Belanda mulai mengganggu ketentraman wilayah kerajaan Aceh. Tugas yang diberikan oleh sultan tersebut mengandung ketentuan bahwa ia menjadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatra Timur dengan wilayah wewenang Tamiang, Langkat, Deli dan Serdang seterusnya Asahan bahkan seluruh Sumatra Timur.
Tuanku Hasyim Bangta Muda ternyata sangat terampil dalam pemerintahan, politik dan kemiliteran. Dalam waktu yang tidak begitu lama Tuanku Hasyim Bangta Muda dapat menundukkan para penguasa di daerah yang kurang setia terhadap pemerintahan kesultanan Aceh. Hubungan baik Tuanku Hasyim Bangta Muda dengan Pangeran Musa di Langkat yang sudah memihak Sultan Aceh menyebabkan Pangeran Musa merelakan putrinya, Tengku Ubang menjadi isteri Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Selanjutnya, ia membangun dan memperkuat benteng benteng yang bertujuan untuk menangkis serangan pasukan kolonial. Belanda di bawah pimpinan Netscher berulangkali menyerang benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda, pada bulan Agustus 1862 dan 1863 namun gagal. Baru pada tahun 1865, Belanda dapat menaklukkan benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda di Pulau Kampai. Ketika terjadi serangan Belanda kedua ke Aceh pada akhir 1873, Tuanku Hasyim Bangta Muda juga ikut mengorganisir dan mengkoordinir seluruh potensi yang ada, baik uleebalang, ulama, orang kaya (bangsawan), dan seluruh rakyat. Terutama untuk menjaga dua wilayah tanggung jawab keamanannya yaitu daerah Kuta Raja Pirak dan Benteng Pertahanan di Makam Syiah Kuala.
Dari Pertempuran Demi Pertempuran
Setelah melalui beberapa pertempuran, pada tahun 1874 pasukan Belanda menduduki Mesjid Raya yang sebelumnya terbakar pada ekspedisi pertama. Kehadiran kembali pasukan Belanda menyebabkan terjadi lagi pertempuran yang dahsyat dengan pasukan Aceh. Perang di Mesjid Raya, oleh Belanda diakui sebagai perang yang paling dahsyat. Perang itu dipimpin langsung oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Setelah dalam (kraton) jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Tuanku Hasyim Bangta Muda ber¬gerak ke daerah Sagi 26 Mukim untuk memantau situasi secara langsung. Tidak lama setelah itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke Mesjid Pagar Aye sebagai tempat markas sementara.Tuanku Hasyim Bangta Muda memanggil uleebalang untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu mengikrarkan suatu sumpah yang diucapkan bersama, yang menyatakan wajib perang sabil untuk mengusir kafir Belanda.
Setelah lama Tuanku Hasyim Bangta Muda terjun ke lapangan, kemudian dinobatkan sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang dan sebagai Mangkubumi, Wali dan Pelaksanaan Urusan Kerajaan Aceh.
Pada akhir t-siun 1879, Tuanku Hasyim Bangta Muda bersama Sultan Muhammad Daud Syah yang masih berusia sekitar 10 tahun menempati Kuta Keumala Dalam sebagai ganti dalam atau Kutaraja yang sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Muhammad Daud Syah dewasa, Tuanku Hasyim Bangta Muda meninggalkan Keumala Dalam. Pada tahun 1894 kembali ke Reubee di rumah peninggalan leluhurnya. Tahun 1896, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke rumah yang dibuat oleh menantunya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, di Padang Tiji, Wilayah XXII Mukim (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pidie).
Perjuangan yang tidak kenal Ielah
Tuanku Hasyim Bangta Muda pun kemudian sudah mulai lanjut usia dan sudah terlalu letih dalam perjuangan. Sekitar 15 tahun dalam bentuk konfrontasi dengan Belanda di Sumatra Timur dan Aceh Timur (1858-1873) dan sekitar 25 tahun dalam bentuk perang resmi di Aceh Raya hingga di Keumala (1873-1897).Tuanku Hasyim Bangta Muda yang telah memimpin perlawanan terhadap kolonial dan menyumbangkan darma baktinya kepada agama, bangsa dan negara begitu lama, menghadap sang Ilahi di Padang Tiji pada tanggal 18 Syakban 1314 Hijriah bertepatan dengan 22 Januari 1897.
Kebesaran dan ketokohan Tuanku Hasyim Bangta Muda digambarkan oleh J.F.B Bruinsma dengan rangkaian kata kata sebagai berikut : "Andaikata dia (Tuanku Hasyim penulis) tidak pernah hidup barangkali sudah lama kita menduduki Aceh dengan tentram".
Teuku Muhammad Daud
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. Sebutan Panglima Polem merupakan gelar kehormatan bagi sagoe pedalaman Sagoe XXII Mukim.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan Tengku Ratna Keumala salah seorang puteri Tuanku Hasyim Bangta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Panglima Polem mendapat gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Di penghujung bulan Maret 1896 Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran besar-besaran yang berlang¬sung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April 1896 di pihak Belanda jatuh korban 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.
Gerilya ke Pegunung, XXII Mukim
Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergerilya sambil mendiri¬kan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Pada tahun 1897 Belanda berhasil menguasai wilayah Seulimeum dan Panglima Polem terpaksa hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Pada tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz. Dalam menyusun strategi, Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputra.
Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan din dan Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasi I menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka¬luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.
Keberhasilan Belanda dalam serangan ini memaksa Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peu toe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Diad Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.
Setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan Panglima Polem di daerah Gayo, Belanda semakin mengincar daerah tersebut. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Pada bulan Juni sampai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Namun kegagalan kembali ditelan oleh Belanda
Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik, yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan dan mengeluarkan ancaman bahwa kerabat Sultattakan dibuang.
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad .Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Sedangkan Teuku Panglima. Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apa lagi menyerah kepada Belanda.
Perjuangan yang cukup gigih dan tidak mengenal lelah telah ditunjukkan oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Teuku Panglima Polem. Sikap tersebut pantas untuk kita teladani dalam menghadapi perkembangan Aceh ke depan yang secara khusus melaksanakan syariat Islam dan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi
Sumber :
Waryanti Sri dkk, Biografi Sejarah Perjuangan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2002
Awal Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda
Perjuangan pertama yang diemban oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda adalah ketika Sultan Ibrahim Mansursyah, menugaskannya ke Sumatra Timur karena Belanda mulai mengganggu ketentraman wilayah kerajaan Aceh. Tugas yang diberikan oleh sultan tersebut mengandung ketentuan bahwa ia menjadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatra Timur dengan wilayah wewenang Tamiang, Langkat, Deli dan Serdang seterusnya Asahan bahkan seluruh Sumatra Timur.
Tuanku Hasyim Bangta Muda ternyata sangat terampil dalam pemerintahan, politik dan kemiliteran. Dalam waktu yang tidak begitu lama Tuanku Hasyim Bangta Muda dapat menundukkan para penguasa di daerah yang kurang setia terhadap pemerintahan kesultanan Aceh. Hubungan baik Tuanku Hasyim Bangta Muda dengan Pangeran Musa di Langkat yang sudah memihak Sultan Aceh menyebabkan Pangeran Musa merelakan putrinya, Tengku Ubang menjadi isteri Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Selanjutnya, ia membangun dan memperkuat benteng benteng yang bertujuan untuk menangkis serangan pasukan kolonial. Belanda di bawah pimpinan Netscher berulangkali menyerang benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda, pada bulan Agustus 1862 dan 1863 namun gagal. Baru pada tahun 1865, Belanda dapat menaklukkan benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda di Pulau Kampai. Ketika terjadi serangan Belanda kedua ke Aceh pada akhir 1873, Tuanku Hasyim Bangta Muda juga ikut mengorganisir dan mengkoordinir seluruh potensi yang ada, baik uleebalang, ulama, orang kaya (bangsawan), dan seluruh rakyat. Terutama untuk menjaga dua wilayah tanggung jawab keamanannya yaitu daerah Kuta Raja Pirak dan Benteng Pertahanan di Makam Syiah Kuala.
Dari Pertempuran Demi Pertempuran
Setelah melalui beberapa pertempuran, pada tahun 1874 pasukan Belanda menduduki Mesjid Raya yang sebelumnya terbakar pada ekspedisi pertama. Kehadiran kembali pasukan Belanda menyebabkan terjadi lagi pertempuran yang dahsyat dengan pasukan Aceh. Perang di Mesjid Raya, oleh Belanda diakui sebagai perang yang paling dahsyat. Perang itu dipimpin langsung oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda.
Setelah dalam (kraton) jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Tuanku Hasyim Bangta Muda ber¬gerak ke daerah Sagi 26 Mukim untuk memantau situasi secara langsung. Tidak lama setelah itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke Mesjid Pagar Aye sebagai tempat markas sementara.Tuanku Hasyim Bangta Muda memanggil uleebalang untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu mengikrarkan suatu sumpah yang diucapkan bersama, yang menyatakan wajib perang sabil untuk mengusir kafir Belanda.
Setelah lama Tuanku Hasyim Bangta Muda terjun ke lapangan, kemudian dinobatkan sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang dan sebagai Mangkubumi, Wali dan Pelaksanaan Urusan Kerajaan Aceh.
Pada akhir t-siun 1879, Tuanku Hasyim Bangta Muda bersama Sultan Muhammad Daud Syah yang masih berusia sekitar 10 tahun menempati Kuta Keumala Dalam sebagai ganti dalam atau Kutaraja yang sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Muhammad Daud Syah dewasa, Tuanku Hasyim Bangta Muda meninggalkan Keumala Dalam. Pada tahun 1894 kembali ke Reubee di rumah peninggalan leluhurnya. Tahun 1896, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke rumah yang dibuat oleh menantunya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, di Padang Tiji, Wilayah XXII Mukim (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pidie).
Perjuangan yang tidak kenal Ielah
Tuanku Hasyim Bangta Muda pun kemudian sudah mulai lanjut usia dan sudah terlalu letih dalam perjuangan. Sekitar 15 tahun dalam bentuk konfrontasi dengan Belanda di Sumatra Timur dan Aceh Timur (1858-1873) dan sekitar 25 tahun dalam bentuk perang resmi di Aceh Raya hingga di Keumala (1873-1897).Tuanku Hasyim Bangta Muda yang telah memimpin perlawanan terhadap kolonial dan menyumbangkan darma baktinya kepada agama, bangsa dan negara begitu lama, menghadap sang Ilahi di Padang Tiji pada tanggal 18 Syakban 1314 Hijriah bertepatan dengan 22 Januari 1897.
Kebesaran dan ketokohan Tuanku Hasyim Bangta Muda digambarkan oleh J.F.B Bruinsma dengan rangkaian kata kata sebagai berikut : "Andaikata dia (Tuanku Hasyim penulis) tidak pernah hidup barangkali sudah lama kita menduduki Aceh dengan tentram".
Teuku Muhammad Daud
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. Sebutan Panglima Polem merupakan gelar kehormatan bagi sagoe pedalaman Sagoe XXII Mukim.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan Tengku Ratna Keumala salah seorang puteri Tuanku Hasyim Bangta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Panglima Polem mendapat gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Di penghujung bulan Maret 1896 Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran besar-besaran yang berlang¬sung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April 1896 di pihak Belanda jatuh korban 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.
Gerilya ke Pegunung, XXII Mukim
Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergerilya sambil mendiri¬kan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Pada tahun 1897 Belanda berhasil menguasai wilayah Seulimeum dan Panglima Polem terpaksa hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Pada tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz. Dalam menyusun strategi, Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputra.
Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan din dan Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasi I menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka¬luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.
Keberhasilan Belanda dalam serangan ini memaksa Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peu toe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Diad Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.
Setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan Panglima Polem di daerah Gayo, Belanda semakin mengincar daerah tersebut. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Pada bulan Juni sampai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Namun kegagalan kembali ditelan oleh Belanda
Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik, yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan dan mengeluarkan ancaman bahwa kerabat Sultattakan dibuang.
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad .Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Sedangkan Teuku Panglima. Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apa lagi menyerah kepada Belanda.
Perjuangan yang cukup gigih dan tidak mengenal lelah telah ditunjukkan oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Teuku Panglima Polem. Sikap tersebut pantas untuk kita teladani dalam menghadapi perkembangan Aceh ke depan yang secara khusus melaksanakan syariat Islam dan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi
Sumber :
Waryanti Sri dkk, Biografi Sejarah Perjuangan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2002
0 komentar:
Post a Comment