Kota Takengon yang berada di dataran tinggi Gayo,
merupakan kota tujuan wisata di Nanggroe Aceh Darussalam. Keindahan
alamnya seperti tersembunyi karena berada di tengah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Untuk mecapai lokasi ini, bisa ditempuh dari dua wilayah, yaitu:
1). Banda Aceh, Dari terminal di banda aceh bisa dengan Travle [L300] dengan biaya sebesar 85.000 rupiah langsung ke takengon. Perjalanan kurang lebih sekitar 6-7 jam perjalanan.
2). Via Medan, dari polonia naik ojek atau taxi kearah jalan gajahmada, ongkos untuk Ojek Sekitar Rp. 25.000 – 30.000, dengan Taxi bisa mencapai Rp. 45.000 – 55.000. Dijalan gajahmada cukup banyak Perusahaan bus yang menyediakan jasa angkutan sampai Takengon. Biaya yang diperlukan untuk ke takengon dari medan sekitar Rp. 150.000. Perjalanan kurang lebih sekitar 12 jam perjalanan.
1). Banda Aceh, Dari terminal di banda aceh bisa dengan Travle [L300] dengan biaya sebesar 85.000 rupiah langsung ke takengon. Perjalanan kurang lebih sekitar 6-7 jam perjalanan.
2). Via Medan, dari polonia naik ojek atau taxi kearah jalan gajahmada, ongkos untuk Ojek Sekitar Rp. 25.000 – 30.000, dengan Taxi bisa mencapai Rp. 45.000 – 55.000. Dijalan gajahmada cukup banyak Perusahaan bus yang menyediakan jasa angkutan sampai Takengon. Biaya yang diperlukan untuk ke takengon dari medan sekitar Rp. 150.000. Perjalanan kurang lebih sekitar 12 jam perjalanan.
Objek wisata alam yang terkenal di Takengon adalah:
1. Danau Laut Tawar
Danau Laut Tawar, yang menjadi kebanggaan masyarakat Takengon. Sebagian aktivitas masyarakat sekitar danau adalah sebagai nelayan. Ikan Depik [Rasbora Tawarensis], merupakan ikan khas danau laut tawar Aceh Tengah.
Danau Laut Tawar, yang menjadi kebanggaan masyarakat Takengon. Sebagian aktivitas masyarakat sekitar danau adalah sebagai nelayan. Ikan Depik [Rasbora Tawarensis], merupakan ikan khas danau laut tawar Aceh Tengah.
Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang ke Takengon, mengunjungi dan menginap di sekitar Danau Laut Tawar.
Penduduk
asli Takengon adalah Suku Gayo. Mereka merupakan keturunan dari Batak
Karo di Sumatera Utara. Bahasa daerahnya pun berbeda dengan bahasa
daerah penduduk Aceh pada umumnya. Kota Takengon berhawa sejuk dengan
keindahan alamnya yang luar biasa, dan berada di kawasan dataran tinggi
Gayo. Komoditi-komoditi unggulan yang dipasarkan di Kota Takengon adalah
komoditi-komoditi yang berasal dari dataran tinggi Gayo, seperti kopi
Gayo (kopi arabika) yang terkenal yang diekspor ke Jepang, Amerika dan
Eropa, tomat, markisa, sayur-sayuran, jagung, cabe dan kentang. markisa,
tomat, cabe, jagung, sayur-sayuran, jeruk keprok Gayo, alpukat,
tembakau dan damar.
2. Batu Belah
Batu Belah (Atu Belah) Bahasa Gayo, Salah Satu Obyek Wisata yang ada di Kampung Penaron Kecamatan Linge Takengon Aceh Tengah.
Atu Belah bermakna batu belah. Legendanya sudah menjadi cerita rakyat, apakah Atu Belah ini fakta atau mitos belum ada yang bisa memastikannya, sebahagian masyarakat percaya kalau Atu belah tersebut benar benar ada dan sebagian masyarakat lainnya mengangap atu belah itu hanya cerita rakyat. Legenda Atu Belah itu menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada masa dahulu di desa Penerun Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, hidup satu keluarga miskin. Keluarga itu mempunyai dua orang anak, yang tua berusia tujuh tahun dan yang kecil masih kecil. Ayah kedua anak itu hidup sebagai petani, pada waktu senggangnya ia selalu berburu rusa di hutan.
Atu Belah bermakna batu belah. Legendanya sudah menjadi cerita rakyat, apakah Atu Belah ini fakta atau mitos belum ada yang bisa memastikannya, sebahagian masyarakat percaya kalau Atu belah tersebut benar benar ada dan sebagian masyarakat lainnya mengangap atu belah itu hanya cerita rakyat. Legenda Atu Belah itu menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada masa dahulu di desa Penerun Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, hidup satu keluarga miskin. Keluarga itu mempunyai dua orang anak, yang tua berusia tujuh tahun dan yang kecil masih kecil. Ayah kedua anak itu hidup sebagai petani, pada waktu senggangnya ia selalu berburu rusa di hutan.
Di samping itu, ia juga banyak menangkap belalang di sawah, untuk
dimakan apabila tidak berhasil memperoleh binatang buruan. Belalang itu
ia kumpulkan sedikit demi sedikit di dalam lumbung.
Pada suatu hari ia pergi ke hutan untuk berburu rusa, di rumah tinggal
istri dan kedua anaknya, pada waktu makan, anak yang sulung merajuk,
karena di meja tidak ada daging sebagai teman nasinya. Karena di rumah
memang tidak ada persediaan lagi, maka kejadian ini membuat ibunya
bingung memikirkan bagaimana dapat memenuhi keinginan anaknya yang
sangat dimanjakannya itu.
Akhirnya si ibu menyuruh anaknya tersebut untuk mengambil belalang yang
berada di dalam lumbung. (padahal sebelumnya siayah memesan kepada sang
ibu jangan di buka lumbung yang berisikan belalang itu), Ketika si anak
membuka tutup lumbung, rupanya ia kurang berhati-hati, sehingga
menyebabkan semua belalang itu habis berterbangan ke luar.
Sementara itu ayahnya pulang dari berburu, ia kelihatannya sedang kesal,
karena tidak berhasil memperoleh seekor rusa pun. Kemudia ia sangat
marah ketika mengetahui semua belalang yang telah di kumpulkan dengan
susah payah telah habis terlepas.
Kemudian, dalam keadaan lupa diri si ayah memotong sebelah (maaf)
payudara istrinya, dan memanggangnya, untuk dijadikan teman nasinya.
Kemudian wanita malang yang berlumuran darah dan dalam kesakitan itu
segera meninggalkan rumahnya.
Dalam keadaan keputusasaan si wanita tersebut pergi ke hutan, di dalam
hutan tersebut si ibu menemukan sebongkah batu, dengan keputusasaan si
ibu meminta kepada batu untuk dapat menelannya, agar penderitaan yang di
rasakanya berakhir.
Selepas itu si ibu bersyair dengan kata-kata, “Atu belah, atu bertangkup
nge sawah pejaying te masa dahulu,” kalau diartikan dalam bahasa
indonesia “Batu Belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang
lalu. “Kata-kata” itu dinyanyikan berkali-kali secara lirih sekali oleh
ibu yang malang itu.
Tiba-tiba suasana berubah, cuaca yang sebelumya cerah mejadi gelap
disertai dengan petir dan angin besar, dan pada saat itu pula batu
bersebut terbelah menjadi dua dengan perlahan-lahan tanpa ragu lagi si
ibu melangkahkan kakinya masuk ke tengah belahan batu tersebut. Setelah
itu batu yang terbelah menjadi dua tersebut kembali menyatu.
Si ayah dan kedua anaknya tersebut mencari si ibu, tetapi tidak
menemukannya, mereka hanya menemukan beberapa helai rambut diatas sebuah
batu besar, rambut tersebut adalah milik siibu yang tertinggal ketika
masuk kedalam atu belah.
Kini atu belah sudah hilang populernya hal itu di buktikan masyarakat
Gayo khususnya generasi sekarang masih banyak yang tidak tau cerita dari
legenda atu belah dan di kwatirkan cerita rakyat ini dengan waktu
berlalu makin hilang dengan sendirinya.
Tempat wisata atu belah sudah tidak terawat lagi dan para wisatawan pun
tidak pernah lagi kesana, apakah karena jauh dari pusat kota takengon
ataupun karena sudah tidak populer lagi di masyarakat.
3. Umah Edet Pitu Ruang
Rumah
Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo, adalah
peninggalan raje Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah berdiri
sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo
yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli dengan
peninggalan sejarah tersebut.
Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah
orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar
tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa
saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya mulai pudar bahkan
nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli, padahal
rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo
yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan
Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk
aslinya.
Beberapa bagian lantai rumah adat tersebut sudah mulai lapuk. Begitu
juga dengan 27 tiang penyangga dari kayu pilihan dan diukir dengan
pahatan kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus.
Beberapa batu gunung dipakai sebagai alas tiang utama agar posisi rumah
tetap stabil.
Beberapa warga (Petua Kampung) Toeren tersebut mengatakan saat kami
wawancarai, Rumah adat Umah Pitu Ruang Toweren memang dibuat dari kayu
pilihan. Diameter tiang penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak
diketahui tahun berapa rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita,
bangunannya sudah berdiri sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran
Tinggi Gayo.
Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak
dengan kayu dan bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut
bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk
seni kerawang Gayo yang di pahat khusus.
Walaupun tidak mengunakan paku tapi kekuatan rumah adat pitu ruang
tersebut sangatlah kuat apalagi bahan kayu yang sangat bermutu pada
zaman duhulu, tetapi bagaimana pun kuatnya tanpa adanya perawatan
bangunan tersebut akan roboh dengan sendirinya di makan zaman.
Luas Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter.
Berbentuk rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara.
Sementara di dalamnya terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada
dua lepo atau ruang bebas di arah timur dan barat.
Semua sambungan memakai ciri khas tersendiri menggunakan pasak kayu.
Hampir semua bagian sisi dipakai ukiran kerawang yang dipahat, dengan
berbagai motif, seperti puter tali dan sebagainya. Di tengah ukiran
kerawang terdapat ukiran berbentuk ayam dan ikan yang melambangkan
kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara ukiran naga merupakan lambang
kekuatan, kekuasaan dan kharisma. Peninggalan Raja Baluntara, bukan
hanya bangunan tua yang bertengger usang di Kampung Toweren Uken, tetapi
aset bersejarah lain masih tersimpan rapi oleh pihak keluarga seperti
Bawar.
Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara.
Selain Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada
piring, pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat
bersejarah. Di belakang rumah adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di
bagian Selatan yang ukurannya sama dengan ruang utama yang berukuran 9 x
12. Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam
dan roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga
sudah musnah.
Reje Baluntara merupakan seorang raja yang juga mengusai kawasan hutan
sehingga disebut sebagai Reje Baluntara (raja belantara- red). Menurut
cerita yang berkembang foto Reje Baluntara, ditemukan oleh salah seorang
keluarga Reje Baluntara yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat
Banta.
Dalam sebuah kesempatan ke Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje
Baluntara yang dibuat oleh Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon,
kemudian dibuat lukisannya sesuai foto aslinya.
Sekeliling rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 dubuat pagar kawat
oleh Suaka Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu
tidak lagi di tempati oleh keluarga reje baluntara.
4. Gua Putri Pukes
GOA
Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah.
Ceritanya diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta.
Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga sekarang belum ada yang bisa
memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini
sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat
manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga
tidak lagi alami.
Di dalam gua Putri Pukes tersebut terdapat batu yang dipercayai adalah
Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang sudah
menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat
pemotong zaman dahulu.
Abdullah, penjaga gua, Batu putri pukes tersebut membesar karena
kadang-kadang batu tersebut menangis sehingga air mata yang keluar
tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar.
Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur
tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan
datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi
batu tersebut pernah dibawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena
dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di
gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari
ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang
ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah.
Tidak semua orang Gayo mengetahui cerita legenda Putri Pukes, sebagian
dari orang Gayo itu mengetahui legenda itu tetapi tidak mengetahui
bagaimana ceritanya. Menurut cerita dan informasi yang dikumpulkan dari
berbagai sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes.
Gua Putri Pukes terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale,
Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah Putri Pukes merupakan nama seorang
gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari sebuah keluarga
di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.
Suatu hari dia, dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar
Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten
Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.
Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria.
Setelah resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya
kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria. Pihak mempelai
wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah pihak
pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah.
Pada acara ‘munenes’ pihak keluarga mempelai wanita dibekali sejumlah
peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk
dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya
dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem
‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat
orangtuanya.
Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ (kesana kemari) atau ‘angkap’. Kuso
kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan
dengan suami. Sementara sistem ‘angkap’, adalah kebalikan dari ‘juelen’,
pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama
keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran
terlebih dahulu.
Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria
sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk
dinikahkan dengan putrinya, dengan alasan sangat mencintainya. Sehingga
sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga
mempelai wanita.
Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes
terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan
iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putrinya yang
sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu melewati
daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar.
Kamu jangan penah melihat ke belakang,” kata ibu Putri Pukes.
Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang
keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, membuat
putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara
tak sengaja putri menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes
langsung berubah menjadi batu seperti yang sekarang kita jumpai di dalam
Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar
terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu
benar ada.
Selain tempat-tempat wisata di atas masih banyak lagi tempat-tempat
wisata yang terdapat di Takengon Aceh Tengah, seperti: Pantan Terong,
Burni Kelieten, Gayo Waterpark, Loyang Datu, Gua Loyang Koro dll.
0 komentar:
Post a Comment