Pemerintah membantah melakukan pelarangan beribadah menyusul penutupan gereja dan vihara di Aceh sejak pekan lalu.
Sebanyak sembilan gereja dan enam vihara Buddha di kota Banda Aceh, menghentikan kegiatan keagamaan sejak 18 Oktober.
Penutupan diperintahkan karena tidak memiliki izin yang sah sebagai rumah ibadah. Pendeta Nico Tarigan dari Gereja Bethel Indonesia mempertanyakan larangan itu karena sejak berdiri pasca tsunami pada 2005 untuk melayani jemaat yang mayoritas adalah staf LSM , izin yang mereka minta hanyalah izin ibadah karena semua gereja dan vihara berbentuk ruko.
Penutupan diperintahkan karena tidak memiliki izin yang sah sebagai rumah ibadah. Pendeta Nico Tarigan dari Gereja Bethel Indonesia mempertanyakan larangan itu karena sejak berdiri pasca tsunami pada 2005 untuk melayani jemaat yang mayoritas adalah staf LSM , izin yang mereka minta hanyalah izin ibadah karena semua gereja dan vihara berbentuk ruko.
"Kami menggunakan tempat dimana kami tinggal sebagai tempat ibadah, menurut SKB [Tiga Menteri] hal itu diizinkan selama ada izin dari pemilik bangunan dan melapor ke Bimbingan Masyarakat setempat," kata Nico.
Menurut Nico, Sekretaris Daerah yang menemuinya dan memintanya untuk menandatangani surat pernyataan penutupan mengatakan mereka mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu.
"Kami juga mendapat SMS dari FPI yang mengatakan kalau kami tidak menutup gereja maka mereka akan mengerahkan massa untuk merobohkan gereja kami," kata dia.
Yurisdiksi Pemda
Menanggapi hal itu, humas Kementerian Dalam negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan tidak ada larangan beribadah di Banda Aceh.
"Tidak pernah ada larangan beribadah, harap diluruskan. Yang diminta adalah agar gereja dan vihara mengurus izin mendirikan rumah ibadah yang sah agar kegiatan keagamaan tidak terkendala," kata Reydo.
Ia menambahkan meski ada SKB Tiga Menteri yang mengatur mengenai ibadah di luar rumah ibadah, pengurus gereja dan vihara tetap harus mengikuti peraturan yang berlaku di daerah masing-masing.
"Penutupan karena tidak ada izin adalah yurisdiksi pemerintah daerah atau pemerintah kota kabupaten setempat," kata Reydo.
Satu-satunya solusi yang ada, menurut dia, adalah mengajukan izin mendirikan rumah ibadah yang sah.
"Ikuti semua aturan termasuk persyaratan bahwa rumah ibadah harus mendapat tandatangan dari minimal 60 kepala keluarga yang terdekat," kata dia.
0 komentar:
Post a Comment