Situs Sejarah Kabupaten Aceh Selatan
Aceh Selatan adalah salah satu kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam,
Indonesia. Sebelum berdiri sendiri sebagai kabupaten otonom, Aceh
Selatan adalah bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Pemisahan Aceh Selatan
dari Aceh Barat ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Darurat No. 7
Tahun 1956 pada 4 November 1956.
Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002 resmi
dimekarkan sesuai dengan UU RI Nomor 4 tahun 2002 menjadi tiga
Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil dan
Kabupaten Aceh Selatan.
Wilayah Kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan Labuhan
Haji diikuti oleh Kecamatan Kluet Utara, Sementara jumlah Penduduk
terkecil adalah Kecamatan Sawang. Sebahagian penduduk terkonsenrasi
disepanjang jalan raya pesisir dan pinggiran sungai. Kondisi topografi
Kabupaten Aceh Selatan sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah,
bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan
sangat curam/terjal.
Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat
kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran
hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan lahan dominan adalah pada
kemiringan kemiringan 3,40% dengan luas 254.138.39 ha dan terkecil
kemiringan 8-15% seluas 175.04 hektar selebihnya tersebar pada berbagai
tingkat kemiringan. Dilihat dari ketinggian tempat (diatas permukaan
laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas terbesar yakni 152.648 hektar
(38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25,00 meter seluas 39.720 hektar
(9,92%).
Sementara itu, sebahagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh
Selatan adalah podzolik merah kuning seluas 161,022 hektar dan yang
paling sedikit adalah jenis tanah regosol (hanya 5,213 ha).
Situs bersejarah di Aceh Selatan
1. Meriam Kerajaan Meukek
Meriam peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Meukek yang ditulis
oleh Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan, meriam
itu dikirim oleh Raja Turki pada tahun 1864 M bersamaan dengan 10 meriam
Raja Kerajaan Tapaktuan. Lima meriam untuk Raja Meukek dan 10 meriam
untuk Raja Tapaktuan, sewaktu perang di depan Krueng Sirullah pecah
antara Belanda dengan rakyat Aceh Selatan, meriam ini sempat dibawa oleh
rakyat Meukek dengan perahu layar pembawa kopra menuju pelabuhan
Cerocok – Gosong Pakak Tapaktuan pada tahun 1874. Kota Tapaktuan
dihujani peluru dari laut. Rakyat Meukek, Labuhanhaji dan Tapaktuan
memberikan perlawanan dengan meriam buatan Kerajaan Turki. Pertempuran
hebat dan sengit itu tepatnya terjadi pada tanggal 5 Mei 1874 ketika
bendera Belanda dikibarkan di Tapaktuan.
2. Rumah Adat Kluet (Rungko)
Rumah Adat Kluet (Rungko) yang terletak di Desa Koto Kluet Tengah
didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam
Hasbiyallah Muhummad Teuku Nyak Kuto – keturunan pejuang Kluet Tgk. Imam
Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang
Menggamat. Rumah Adat Kluet – Rungko ini selain tempat tinggal Raja juga
berfungsi sebagai tempat perkara jika terjadi perselisihan dan sengketa
dalam kehidupan rakyat Menggamat.
3. Makam Teuku Raja Angkasah
Makam Teuku Raja Angkasah terletak di pinggir Sungai Dayah, Desa
Buket Gadeng, sekitar 8 km dari Kota Bakongan, Ibu kota Kecamatan
Bakongan, Aceh Selatan. Pahlawan Aceh Selatan ini gugur di medan perang
melawan Belanda. Tempat gugurnya Teuku Raja Angkasah sekitar 5 kilometer
dari kawasan hutan Buket Gadeng yang ditembak pasukan Belanda dari
empat arah. Ia gugur pada tanggal 18 Desember 1925. Saat itu dua
panglima utamanya, Panglima Gadeng dan Panglima Idris yang merupakan
panglima yang paling setia gugur tertembak di depan mata Teuku Raja
Angkasah. Ia sendiri berada dalam posisi terdesak karena dikepung dari
empat sisi dalam keadaan habis peluru. Teuku Raja Angkasah mencabut
pedangnya, kemudian melompat dengan pekik Allahu Akbar langsung
menyerang sejumlah serdadu Belanda. Akhirnya Teuku Raja Angkasah gugur
setelah sebutir peluru menembus mulutnya.
4. Makam Tengku Peulumat
Makam Tengku Peulumat terletak di Desa Betong Peulumat Kecamatan
Labuhanhaji Timur. Tengku Peulumat nama aslinya Tengku Syekh Abdul
Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota Baru Sungai
Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai dewasa
Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh
dan menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di
Peulumat beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren
Darussalam Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh
keponakan beliau yang bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy. Ia
belajar syariat, hakikat dan makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat
menggandrungi ilmu Tasauf, ia hidup dengan ajaran sufi yaitu kaum yang
hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta dunia. Karena kesucian dan
kebeningan jiwa Tgk. Peulumat menjadi seorang wali atau Aulia Allah.
Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku Peulumat
seperti: ia bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat Jumat ke
Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat.
Sebagaimana cerita yang sudah populer di masyarakat Aceh Selatan bahwa
pada suatu hari Tengku Peulumat pergi ke pajak ikan membeli ikan. Dalam
perjalan pulang tiba-tiba ia ditegur seorang anak yatim, karena mendapat
teguran itu, lantas ikan itu diberikannya kepada anak tersebut. Hal itu
sempat dilihat oleh isterinya sambil marah kepada Tengku Peulumat. Tapi
dengan tenang Tgk. Peulumat mengatakan bahwa ganti ikan itu sudah ada
tergantung di dekat tungku dapur yaitu seekor ikan laut sebesar betis
yang masih segar dan masih hidup. Tengku Peulumat meninggal pada tanggal
8 Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke dalam kubur dan ketika
ikat kain kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk. Syech Abdul Karim
ternyata kosong – jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan jenajah orang
suci – Aulia Allah yang juga oleh masyarakat dijuluki dengan Aulia Allah
diangkat dan diusung para Malaikat ke alam Malakut.
5. Al-Qur’an Gadang
Al-Qur’an Gadang terdapat di Desa Kampung Dalam Kec Labuhanhaji,
Aceh Selatan. Al-Qur’an Gadang ditulis oleh seorang yang berasal dari
Pariaman Minangkabau yang bernama Datuk Sultan Palaci. Al-Qur’an itu
ditulis sepulang dari Mekah selama 2 tahun 2 bulan dan 2 hari dengan
tangannya sendiri. Setiap Al Quran itu ditulis ia selalu dalam keadaan
berwuduk. Ia menulis setiap selesai shalat tahajjud hingga fajar. Ia
mulai menulis musaf Al-Qur’an itu pada subuh Juma’t pada tanggal 8
Agustus 1937 dan selesai ditulis pada tanggal 8 Agustus 1939 juga di
Subuh Jumat.
Dahulu dan hingga kini Al-Qur’an ini sering dijadikan tempat
bersumpah saat orang berperkara (bersengketa). Biasanya terbukti jika
orang yang bersengketa itu berbohong.
6. Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy.
Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy terletak di Desa Blang Dalam Kecamatan
Labuhanhaji Barat. Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang
Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 8
Agustus 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim
bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat.
Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da’i. Sebelumnya paman beliau yang
masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat yang
nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan
Haji.
Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy wafat pada tahun 1961. Ia seorang
Ulama besar yang memimpin Pesantren Darussalam di Blang Poroh Kec.
Labuhanhaji Barat.
7. Benteng Trumon
Benteng Trumon terletak di Desa Keude Trumon Kecamatan Trumon.
Benteng tersebut dibangun pada tanggal 11 Agustus 1770 sampai dengan
tanggal 8 Agustus 1802 pada masa pemerintahan Teuku Raja Jakfar dan
diteruskan oleh anaknya Teuku Raja Bujang pada masa itu di dalam benteng
itu ada tempat percetakan uang kerajaan Trumon sendiri. Pertama uang
dicetak di Portugal, Lisabon, kemudian ditiru dicetak di Trumon menjadi
uang Trumon atas seizin Kerajaan Portugal dan uang tersebut menjadi uang
Trumon. Asal usul Kota Trumon berasal dari Trung Binah Mon. Selanjutnya
benteng tersebut dijaga oleh saudara Teuku Raja Ubit sampai turun
temurun.
8. Bupaleh
Bupaleh terletak di Desa Kuala Ba’u. Bupaleh berasal dari bahasa
Arab Bupalatul, tempat berhujah ulama dalam mencari suatu kebenaran
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Kegiatan itu dilaksanakan mulai
tahun 1940. Sebelumnya pada tahun 1888 di kawasan itu juga digunakan
sebagai tempat bermusyawarah para ulama keturunan Said yang
mengembangkan Agama Islam di Aceh, salah seorang keturunan Said yang
berjasa mengembangkan agama Islam di Aceh Selatan ialah Alm. Drs. H.
Sayed Mudhahar Ahmad, Msi. mantan Bupati Aceh Selatan. Disebutkan juga
di lokasi Bupaleh ini adalah tempat pertama sekali Tengku Syekh Muda
Wali mengajarkan Al-Qur’an (belajar mengaji) kepada anak sulungnya
Djamaludin Wali.
9. Mesjid Tuo Pulo Kambing
Mesjid Tuo Pulo Kambing terletak di Desa Pulo Kambing Kec. Kluet
Utara. Mesjid Tuo Pulo Kambing umurnya sekarang berkisar sekitar 9 abad
lebih (tepatnya mesjid ini dibangun pada tgl 8 Agustus 1351 Masehi oleh
seorang Ulama yang bernama Syech Muhammad Husin Al-Fanjari Bin Muhammad
Al-fajri Kautsar, murid dari seorang ulama Sufi yang datang dari
Persia). Mesjid ini mempunyai tiang-tiang yang berukir kalighrafi arab
dan tulisan tersebut menceritakan riwayat berdirinya kerajaan-kerajan
Islam dahulu di Aceh. Uniknya mesjid ini mempunyai kemiripan dengan
mesjid yang pertama dibangun oleh Wali Songo di Jawa. Tiang pertama
mesjid ini kayunya diangkut sendirian dari hutan Ruak oleh salah seorang
murid Syech Muhammad Husin Al-Fanjari yang bernama Syech Mutawali
Al-fanshuri dengan tangan kosong pada tanggal 5 Agustus 1351 Masehi.
Setelah tiang pertama dipancangkan selesai shalat subuh, 8 Agustus 1351
baru bersama masyarakat secara bergotong royong mesjid itu dibangun
dibawah komando Syech Muhammad Husin Al-Fanjari dengan menyembelih satu
ekor kerbau, satu ekor kambing dan satu ekor ayam jantan putih.
10. Makam Raja Lelo (Banta Saidi)
Makam Raja Lelo terletak di Desa Sapik Kec. Kluet Timur. Raja
Lelo nama aslinya Banta Saidi lahir 1 Agustus 1780 di Kluet Timur adalah
pengikut atau pasukan berani mati Teuku Cut Ali. Ia dikejar marsose
Belanda dibawah pimpinan Kapten J. Paris. Di kawasan Kampung Sapik
Kecamatan Kluet Timur inilah terjadi pertempuran sengit. Dalam
peperangan ini, 19 orang pasukan Panglima Raja Lelo gugur. Serangan ini
juga melukai 12 orang tentara marsose dan berhasil menawan Belanda.
Pertempuran seru terjadi ketika Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo
berhadapan dengan Kapten J. Paris dengan pertarungan tangan kosong.
Keduanya sama-sama memiliki ilmu kekebalan. Saat itu puluhan butir
peluru yang menerjang tubuh Raja Lelo tidak mampu melukai tubuhnya.
Demikian juga sebaliknya. Puluhan kali Banta Saidi menebaskan pedangnya
ke tubuh Kapten Paris, namun tidak mampu melukai tubuh Kapten Paris
karena orang Belanda ini juga memiliki ilmu kebatinan. Panglima Rajo
Lelo dan Kapten Paris beradu gulat. Pertarungan sangat sengit dan seru,
dan saling banting, saling pukul dan saling terjang. Karena tingkat
kesaktian Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo lebih tinggi daripada
Kapten J. Paris, akhirnya Raja Lelo berhasil menemukan kelemahan
kesaktian Kapten Paris. Panglima Raja Lelo segera memagut tubuh Kapten
Paris, sambil memegang dan memutar alat vital Kapten Paris. Saat itu
juga kapten yang kebal dan sakti ini tewas.
Gambaran kejadian yang menciutkan nyali pasukan marsose dalam
perang Kelulum itu dapat diungkapkan dalam bait syair Aceh sebagai
berikut:
Prang Bakongan seuhu hana kri
Kaphe neu tadi keunong bak jungka
Matee Angkasah tinggay Cut Ali Prang teu-jali leubeh nubura
Peudeung neu-gunci su meudeungong
Han jitem tamong meuhana bila
Kapten Paris putoo taloy nyawong Sakti Limong Raja Lela.
Lima bulan kemudian setelah terbunuhnya Kapten J. Paris, Panglima
Raja Lelo jatuh sakit, ia dilarikan ke Suak Bakong untuk dirawat, karena
kondisi Suak Bakong masih dijaga ketat pasukan Belanda, malam itu Banta
Saidi kembali dibawa ke Kampung Sapik. Malam Jumat tanggal 8 Agustus
1926 Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Jenazahnya dikebumikan di samping kuburan para pasukannya yang
gugur terdahulu yaitu di lokasi terjadinya Perang Kelulum Desa Sapik –
Kluet Timur, Aceh Selatan.
11. Makam Teuku Cut Ali
Makam Teuku Cut Ali terletak di Desa Suak Bakong, Kluet Selatan.
Setelah Teuku Raja Angkasah gugur perlawanan diteruskan oleh Teuku Cut
Ali. Teuku Cut Ali lahir pada tanggal 1 Agustus 1867 di Trumon. Ia
berjuang menentang Belanda secara gerilya atau berpindah tempat dengan
membawa para pengikutnya. Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadilah perang
Teuku Cut Ali melawan pasukan Belanda. Menurut penuturan Panglima Untung
(Panglima Uleebalang Keujrun Kluet) saksi hidup Teuku Cut Ali gugur di
Alue Bebrang Lawe saah Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan. Pasukan
Belanda waktu itu dipimpin oleh Kapten G.F.V. Gosenson perang sengit
terjadi di bawah lereng jurang di Alue Beebrang Lawe sawah. Dalam adu
tembak itu, isteri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah yang sedang hamil
itu tertembak peluru Belanda. Melihat kejadian itu, Teuku Cut Ali Marah
dan langsung maju menghadang melawan pasukan Belanda, dalam saling adu
tembak Teuku Cut Ali Akhirnya tewas bersama pengikutnya: Fatimah tewas
dalam keadan hamil tua, Nyak Meutia Binti Teuku Nago, Imam Sabil alias
Ben Kechik, Nyak Jawa alias Abdullah bin Man Peh, Teuku Nago dan Nyak
Asan. Setelah memotong Kepala Teuku Cut Ali, Belanda membawa potongan
kepala itu ke Suak Bakong untuk di arak dan dipertontonkan kepada warga
Suak Bakong, sorenya (1 Agustus 1927) potongan kepala itu dikebumikan di
pinggir sungai Kandang Suak Bakong. Sedangkan badannya dikebumikan
bersamaan dengan jasad Imam Sabil dalam satu liang. Jenazah Teuku Cut
Ali dimandikan oleh Tambi (ayahanda H. Abdul Salam BA – mantan Ketua
DPRK Aceh Selatan).
12. Mesjid Tuo Kampung Padang
Mesjid Tuo Kampung Padang terletak di Gampong Padang Tapaktuan,
Aceh Selatan. Mesjid Tuo Kampung Padang ini dibangun pada tanggal 10
Agustus 1108 Masehi oleh Syech Al-Jazirazi Farsyiah Bin Ibnu Mansyur
dalam bentuk pondok kecil berlantai papan. Kemudian pada tahun 1115
mesjid ini direhabilitasi oleh muridnya Tengku Muhammad Chalidy bin
Fasaman. Kemudian pada tahun 1351 Masehi kembali direhabilitasi oleh
seorang ulama yang bernama Tengku H. Abdul Manan bin Muhammad Sutan
Pariaman. Dari dulu sebelum masuknya penjajahan Belanda, mesjid ini
tempat belajar membaca Al-Qur’an dan tempat menyelenggarakan shalat
Jumat dan memperingati hari-hari besar Islam seperti Israk Mikraj, 1
Muharram dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Keanehan dan kelebihan Mesjid Tuo
ini, di depannya terdapat Makam Tuan Tapa, orang keramat yang membunuh
Naga. Setiap memperingati Maulid Nabi, dari permukaan makam Tuan Tapa
ini keluar dengan sendirinya talam, piring, mangkok, gelas dan sendok
serta perkakas dapur lainnya secara gaib. Kemudian semua benda itu
ditaruh kembali setelah digunakan, dan pada tengah malam menurut saksi
mata semua benda itu masuk dan hilang kembali ke dalam Makam Tuan Tapa.
Menurut penuturan sejarah pada tahun 1938 sampai 1943 Masehi sangat
sering Tengku Peulumat datang shalat Dzuhur dan Ashar ke mesjid ini
bahkan dikatakan juga Tengku Peulumat yang keramat ini sering tidur
siang di mesjid menunggu waktu shalat Ashar. Pada suatu saat Tengku
Peulumat sedang tidur, beberapa murid yang sedang belajar mengaji
bertanya kepada Tengku Peulumat: “Kenapa Anduang tidur bergelung dan
menekukkan lutut seperti orang kedinginan?” Lantas orang suci dan
keramat ini menjawab: “Jika kedua kaki ini aku ulurkan kena tepi
langit.”
Kemudian pada hari yang lain, saat shalat Ashar tiba-tiba Tengku
Peulumat, Paman dari Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy ini tiba di depan
pekarangan Mesjid Tuo dalam keadaan basah kehujanan. Salah seorang
jamaah bertanya kepadanya: “Bagaimana Tuanku shalat basah seperti itu?”
Lantas Aulia Allah ini membuka bajunya lalu dikibaskannya beberapa kali
sehingga semua pakaian yang lagi basah ditubuhnya itu kering seperti
baru diangkat dari jemuran.
13. Makam Tuan Tapa
Makam Tuan Tapa terdapat di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan,
di depan Mesjid Tuo. Dalam pertarungan antara Tuan Tapa dengan dua ekor
Naga karena memperebutkan Putroe Bungsu, akhirnya Tuan Tapa berhasil
mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama
orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka,
tetapi mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh
diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan
Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah. Jasadnya
dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan
Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat
itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah mengalami
beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.
Makam Tuan Tapa yang terdapat di Kelurahan Padang, Tapaktuan ini
kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Pada tahun 2003
dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan masyarakat
Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah
ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H.
Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatan Ir. H. T. Machsalmina Ali, MM, Darul
Qutni Ch Kepala Biro Surat Kabar Ekspos dan pemuka masyarakat setempat
Nasiruddin Gani.
[Sumber]
0 komentar:
Post a Comment