Pada waktu masih sebagai sebuah
kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan
nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah
satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih
sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh
proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di
sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan
Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh
Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang
sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie,
Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke
ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih
ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah, Aceh
juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli
yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh
Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan
kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet,
Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah
Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Hingga saat ini belum ada satu
kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan
karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh
tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh
sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan
secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing)
yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan
dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan
Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh,
orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh.
Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh).
Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama
Aceh dan etnis Aceh, namun sumber-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng,
meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis
Belanda.
K.F.H Van Langen dalam salah satu
karyanya tentang Aceh berjudul De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur
Onder het Sultanaat (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang dimuat
dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan
Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan
Umum tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan
judul Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het
Voormalig Sultanaat in Atjeh (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan
Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut
cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang
didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam
keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui secara pasti.
Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo
masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh,
meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif
bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa
etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C.
Snouck HurgronjeJudul pranala dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh).
Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan banyak
persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli
Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya.
Seorang ulama Aceh terkenal pada
abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik
Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan
bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan
Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan
suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal
dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het
Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga
di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu
anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku
bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau,
Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan
pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara
berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan
Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah
(1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa
berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau
sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan
Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
Keempat kawom atau sukee
tersebut, yaitu :
Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau
suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk
asli.
Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku
imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai
pendatang.
Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku
yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari
baerbagai tempat.
Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku
penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal-usul
yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal.
Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan
solidaritas sesame kawom cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua
keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan
orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai
suatu identitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal
ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan
adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan
beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan
penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh
Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan
pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya pada pedagang muslim dari Malaka
ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada
tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari
jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan
ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi
lebih kosmopolitan.[Sumber]
0 komentar:
Post a Comment