Tamiang pada awalnya merupakan
satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan seorang
Raja Muda Setia yang memerintah selama tahun 1330 - 1366 M. Pada masa kerajaan
tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :
Sungai Raya / Selat Malaka di bagian Utara
Besitang di bagian Selatan
Selat Malaka di bagianTimur
Gunung Segama ( gunung Bendahara /
Wilhelmina Gebergte ) di bagian Barat.
Pada masa kesultanan Aceh
Kerajaan Tamiang telah mendapat
Cap Sukureung dan hak Tumpang Gantung ( Zainuddin, 1961, 136-137) dari Sultan
Aceh Darussalam, atas wilayah Negeri Karang dan negeri Kejuruan Muda. Sementara
negeri Sulthan Muda Seruway, negeri Sungai Iyu, negeri Kaloy dan negeri Telaga
Meuku merupakan wilayah-wilayah yang belum mendapat cap Sikureung dan dijadikan
sebagai wilayah perlindungan bagi wilayah yang telah mendapat cap Sikureung.
Pada tahun 1908 terjadi perubahan Staatblad No.112 tahun 1878, yakni Wilayah
Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden yang artinya
wilayah tersebut berada dibawah status hokum Onderafdelling. Dalam Afdeling
Oostkust Van Atjeh ( Aceh Timur ) terdapat beberapa wilayah Landschaps dimana
berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder dengan status hukum
Onderafdelling Tamiang termasuk wilayah-wilayah :
Landschap Karang
Landschap Seruway / Sultan Muda
Landschap Kejuruan Muda
Landschap Bendahara
Landschap Sungai Iyu, dan
Gouvermentagebied Vierkantepaal
Kualasimpang.
Pemekaran
Tamiang adalah sebuah nama yang
berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari : " Te - Miyang "
yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut
berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook
Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang
"bulooh") dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil
bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar
"Pucook Sulooh Raja Te - Miyang ", yang artinya "seorang raja
yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal
gatal".
Nama Tamiang dipakai dalam usulan
bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah-III meliputi
wilayah bekas Kewedanaan Tamiang. Tuntutan pemekaran daerah di Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak tahun 1957
awal masa Propinsi Aceh ke-II, termasuk eks Kewedanaan Tamiang diusulkan
menjadi Kabupaten Daerah Otonom. Berikutnya usulan tersebut mendapat dorongan
semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil
sidang umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - Gotong Royong (DPRD-GR) Propinsi Daerah
Istimewa Aceh dalam usul memorendumnya tentang Pelaksanaan Otonomi Riel dan
luas dengan Nomor B-7/DPRD-GR/66, terhadap Pemekaran Daerah yang dianggap sudah
matang untuk dikembangkan secara lengkap adalah sebagai berikut :
Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi
Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane;
Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi
Kabupaten Djeumpa dengan ibukota Bireun;
Tujuh kecamatan dari bekas kewedanaan Blang
Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukota Blang Pidie;
Bekas Daerah "Kewedanaan Tamiang"
menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibukotanya Kualasimpang;
Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi
Kabupaten Singkil dengan ibukotanya Singkil;
Bekas daearh Kewedanaan Simeulue menjadi
Kabupaten Simeulue dengan ibukotanya Sinabang;
Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.
Usulan tersebut diatas sebahagian
besar sudah menjadi kenyataan, saat ini yang sudah mendapat realisasi sebanyak
4 wilayah dan Tamiang termasuk yang belum mendapatkannya. Bertitik tolak dari
hal-hal tersebut diatas dan sesuai dengan tuntutan dan kehendak masyarakat di
wilayah Tamiang, maka selaras dengan perkembangan zaman diera reformasi,
demokrasi wajar kiranya bila masyarakat setempat mengajukan pemekaran dan
peningkatan statusnya.
Sebagai tindak lanjut dari
cita-cita masyarakat Tamiang tersebut yang cukup lama proses secara historis,
maka pada era reformasi sesuai dengan undang - undang No. 22 tahun 1999,
tentang Pemerintahan Daerah, pintu cita–cita tersebut terbuka kembali serta
mendapat dukungan dan usul dari :
1. Bupati Aceh Timur, dengan
surat No. 2557 138 / tanggal 23 Maret 2000, tentang usul peningkatan status
Pembantu Bupati Wilayah III Kualasimpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang kepada
DPRD Kabupaten Aceh Timur.
2. DPRD Kabupaten Aceh Timur
dengan surat No. 1086 / 100 - A / 2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan
peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
3. Surat Bupati Aceh Timur, No.
12032 / 138 tanggal 4 Mei 2003 kepada Gebernur Daerah Istimewa Aceh tentang
peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
4. Surat Gubernur Daerah Istimewa
Aceh No. 138 / 9801 tanggal Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh
tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
5. Surat DPRD Daerah Istimewa
Aceh No. 1378 / 8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan
status Kabupaten Aceh Tamiang.
6. Surat Gubernur Daerah Istimewa
Aceh No. 135 / 1764 tanggal 29 Januari 2001 http://bappedatamiang.go.id -
www.bappedatamiang.go.id Powered by Mambo Generated:14 January, 2009, 02:36
kepada Menteri Dalam dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD
tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi
Daerah Otonom. Kerja keras yang cukup panjang itupun akhirnya membuahkan hasil.
Pada tanggal 2 Juli 2002, Tamiang resmi mejadi Kabupaten berdasarkan UU No. 4
Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues,
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[Sumber]
0 komentar:
Post a Comment