Deforestasi Hutan Aceh |
Singkil - Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai Banjir yang melanda
Kabupaten Aceh Singkil dalam beberapa hari terakhir ini, tak terlepas
dari akibat kerusakan hutan (deforestasi) hutan di kawasan tersebut yang
cukup besar.
Dari catatan Walhi Aceh,
telah terjadi kerusakan hutan yg cukup tinggi di wilayah hutan dalam
wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Dimana sejak tahun
2006 hingga tahun 2010 saja, telah terjadi kerusakan hutan
(deforestasi) di kedua wilayah tersebut sebesar lebih kurang 24.645
hektar.
"Deforestasi terbesar terjadi dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), yakni sebesar lebih kurang 21.007 hektar," ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar, Kamis (15/11) di Banda Aceh.
Dikatakannya, sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar wilayah hutan di kedua wilayah ini telah dikonversi atau dialih fungsikan untuk dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit. Padahal sudah awam diketahui publik bahwa tanaman sawit sangat sulit menyerap air sehingga apabila terjadi intensitas hujan yang sangat tinggi, maka bisa dipastikan wilayah terdekat dengan daerah aliran sungai akan terjadi banjir.
Selain konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, juga berbagai kebijakan pembangunan seperti pembangunan jalan yang tidak memenuhi kriteria yg telah diwajibkan dalam Amdal juga menjadi salah satu pemicu utama, disamping masih banyaknya terjadi kasus ilegal logging dan perambahan hutan untuk berbagai kepentingan di wilayah tersebut.
"Wilayah rawa gambut singkil juga menjadi salah satu serbuan bagi menjamurnya usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam," ujar TM Zulfikar.
Untuk kejadian banjir yang terjadi di Aceh, berdasarkan catatan Walhi Aceh dalam 5 tahun terakhir sejak tahun 2007 hingga akhir tahun 2011, telah terjadi lebih kurang 838 kali kejadian banjir di berbagai wilayah di Aceh.
Menurut TM Zulfikar, berdasarkan catatan Walhi Aceh untuk tahun 2012 yang berhasil dihimpun dari beberapa sumber, antara bulan Januari hingga minggu kedua November 2012, telah terjadi lebih dari 108 kali kejadian banjir, dan bisa diprediksi jika intensitas curah hujan dalam beberapa bulan ini semakin tinggi, maka dipastikan berbagai wilayah Kabupaten/Kota di Aceh akan terancam terjadinya bencana banjir, mulai dengan tingkat kerugian yang kecil hingga besar.
Dikatakan, dari berbagai kejadian banjir yang terjadi sepanjang tahun di Aceh, sebenarnya Walhi Aceh sudah berulang kali mengingatkan kepada semua pihak, terutama Pemerintah dan Pemerintah Aceh untuk segera mengevaluasi berbagai kebijakan pembangunan yang ada.
Berbagai kebijakan pembangunan seharusnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada, namun hingga saat ini RTRW Aceh saja belum jelas status dan posisinya. Padahal kita sudah berulang menyampaikan bahwa RTRW Aceh harus menjadikan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu basis penyusunannya.
Sehingga, lanjut TM Zulfikar, semua bentuk ancaman bencana bisa tedeteksi dari awal. Kita bisa saksikan, hampir semua wilayah DAS di Aceh telah rusak oleh berbagai sebab. Terlebih lagi kondisi hutan kita, bisa dipastikan kebanyakan daerah hulu sungai di Aceh telah rusak.
Selain banjir dan longsor sebagaimana yg sering terjadi, kita juga khawatir akan terjadinya banjir bandang di beberapa wilayah DAS yang hulunya sudah hancur," ujar TM Zulfikar.
Oleh karena itu, TM Zulfikar mememinta Pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana serta institusi terkait lainnya harus segera berkoordinasi dan segera mengumumkan wilayah ataupun titik koordinat dimana kerentanan ataupun wilayah rawan banjir yang harus diketahui oleh masyarakat sehingga Risiko Bencana bisa dikurangi.
Yang lebih penting lagi, segera implementasikan Kebijakan Moratorium Logging di Aceh secara baik, selain itu Pemerintah Aceh juga sudah seharusnya berfikir untuk menerapkan Kebijakan Moratorium Konversi Lahan di Aceh, yang diantaranya jeda sementara untuk pemberian izin-izin untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Jika hal ini tidak segera dilakukan, menurut TM Zulfikar, maka "panen bencana" sebagaimana yg terjadi di Singkil akan segera kita "petik". Saatnya berbuat untuk lingkungan yang lebih baik dan berupayalah mensejahterakan rakyat Aceh, salah satunya dengan menjauhkan rakyat Aceh dari berbagai risiko bencana yang ada. |Sumber|
"Deforestasi terbesar terjadi dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), yakni sebesar lebih kurang 21.007 hektar," ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar, Kamis (15/11) di Banda Aceh.
Dikatakannya, sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar wilayah hutan di kedua wilayah ini telah dikonversi atau dialih fungsikan untuk dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit. Padahal sudah awam diketahui publik bahwa tanaman sawit sangat sulit menyerap air sehingga apabila terjadi intensitas hujan yang sangat tinggi, maka bisa dipastikan wilayah terdekat dengan daerah aliran sungai akan terjadi banjir.
Selain konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, juga berbagai kebijakan pembangunan seperti pembangunan jalan yang tidak memenuhi kriteria yg telah diwajibkan dalam Amdal juga menjadi salah satu pemicu utama, disamping masih banyaknya terjadi kasus ilegal logging dan perambahan hutan untuk berbagai kepentingan di wilayah tersebut.
"Wilayah rawa gambut singkil juga menjadi salah satu serbuan bagi menjamurnya usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam," ujar TM Zulfikar.
Untuk kejadian banjir yang terjadi di Aceh, berdasarkan catatan Walhi Aceh dalam 5 tahun terakhir sejak tahun 2007 hingga akhir tahun 2011, telah terjadi lebih kurang 838 kali kejadian banjir di berbagai wilayah di Aceh.
Menurut TM Zulfikar, berdasarkan catatan Walhi Aceh untuk tahun 2012 yang berhasil dihimpun dari beberapa sumber, antara bulan Januari hingga minggu kedua November 2012, telah terjadi lebih dari 108 kali kejadian banjir, dan bisa diprediksi jika intensitas curah hujan dalam beberapa bulan ini semakin tinggi, maka dipastikan berbagai wilayah Kabupaten/Kota di Aceh akan terancam terjadinya bencana banjir, mulai dengan tingkat kerugian yang kecil hingga besar.
Dikatakan, dari berbagai kejadian banjir yang terjadi sepanjang tahun di Aceh, sebenarnya Walhi Aceh sudah berulang kali mengingatkan kepada semua pihak, terutama Pemerintah dan Pemerintah Aceh untuk segera mengevaluasi berbagai kebijakan pembangunan yang ada.
Berbagai kebijakan pembangunan seharusnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada, namun hingga saat ini RTRW Aceh saja belum jelas status dan posisinya. Padahal kita sudah berulang menyampaikan bahwa RTRW Aceh harus menjadikan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu basis penyusunannya.
Sehingga, lanjut TM Zulfikar, semua bentuk ancaman bencana bisa tedeteksi dari awal. Kita bisa saksikan, hampir semua wilayah DAS di Aceh telah rusak oleh berbagai sebab. Terlebih lagi kondisi hutan kita, bisa dipastikan kebanyakan daerah hulu sungai di Aceh telah rusak.
Selain banjir dan longsor sebagaimana yg sering terjadi, kita juga khawatir akan terjadinya banjir bandang di beberapa wilayah DAS yang hulunya sudah hancur," ujar TM Zulfikar.
Oleh karena itu, TM Zulfikar mememinta Pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana serta institusi terkait lainnya harus segera berkoordinasi dan segera mengumumkan wilayah ataupun titik koordinat dimana kerentanan ataupun wilayah rawan banjir yang harus diketahui oleh masyarakat sehingga Risiko Bencana bisa dikurangi.
Yang lebih penting lagi, segera implementasikan Kebijakan Moratorium Logging di Aceh secara baik, selain itu Pemerintah Aceh juga sudah seharusnya berfikir untuk menerapkan Kebijakan Moratorium Konversi Lahan di Aceh, yang diantaranya jeda sementara untuk pemberian izin-izin untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Jika hal ini tidak segera dilakukan, menurut TM Zulfikar, maka "panen bencana" sebagaimana yg terjadi di Singkil akan segera kita "petik". Saatnya berbuat untuk lingkungan yang lebih baik dan berupayalah mensejahterakan rakyat Aceh, salah satunya dengan menjauhkan rakyat Aceh dari berbagai risiko bencana yang ada. |Sumber|
0 komentar:
Post a Comment