Banda Aceh dikenal sebagai "Kota Pendidikan dan Budaya"
merupakan Ibukota Propinsi Nanggrore Aceh Darussalam yang terletak
startegis di ujung paling barat Pulau Sumatera. Waktu tempuh menuju
Banda Aceh sekitar 2 jam dengan menggunakan transportasi udara dari
Jakarta dan sekitar 45 menit dari Kota Medan. Kota Banda Aceh menyimpan
berbagai potensi dan kekayaan budaya yang bernafaskan Islam serta
kebesaran sejarah kerajaan Aceh pada masa lalu.
Lambang Kota Banda Aceh
Kota
Banda Aceh juga memiliki berbagai kawasan wisata unggulan yang menarik
untuk dikunjungi oleh wisatawan nusantara dan mancanegara. Berbagai
kawasan wisata unggulan tersebut meliputi kawasan wisata alam, wisata
budaya/ sejarah, wisata pendidikan, kawasan wisata Tsunami dan kawasan
wisata minat khusus seperti makanan dan minuman khas Aceh.
Masjid
Raya Baiturrahman yang merupakan salah satu peninggalan sejarah Aceh
masa lalu, yang terletak strategis di pusat Kota Banda Aceh telah
menjadi icon penting Pariwisata Aceh.
Masjid Raya ini memiliki berbagai keindahan arsitektur dan ornamen,
sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Aceh serta memiliki latar
belakang sejarah Aceh yang luar biasa. Berbagai atraksi wisata unggulan
lainnya meliputi Museum Aceh, Gunongan
(man-made mountain), Kerkoff Peucut, Monumen RI 001 Seulawah, Makam Tgk.
Syiah Kuala, Universitas Syiah Kuala, Institut Agama Islam Negeri Ar
Raniry (IAIN), Pelabuhan PenyeberanganUlee Lheue dan Pantai Cermin Ulee
Lheue.
I. MASJID RAYA BAITURRAHMAN BANDA ACEH
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Masjid
Raya Baiturrahman adalah simbol religius, keberanian dan nasionalisme
rakyat Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama di Nusantara. Pada
saat itu banyak pelajar dari nusantara, bahkan dari Arab, Turki, India
dan Parsi yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu agama.
Masjid
ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh. Masjid ini merupakan markas
pertahanan rakyat Aceh ketika berperang dengan Belanda (1873-1904). Pada
saat terjadi Perang Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar habis oleh
tentara Belanda. Pada saat itu, Mayjen Khohler tewas tertembak di dahi
oleh pasukan Aceh di pekarangan Masjid Raya. Untuk mengenang peristiwa
tersebut, dibangun sebuah monumen kecil di depan sebelah kiri Masjid
Raya, tepatnya dibawah pohon Ketapang. Enam tahun kemudian, untuk
meredam kemarahan rakyat Aceh, pihak Belanda melalui Gubernur Jenderal
Van Lansnerge membangun kembali Masjid Raya ini dengan peletakan batu
pertamanya pada tahun 1879. Hingga saat ini Masjid Raya telah mengalami
lima kali renovasi dan perluasan (1879-1993)
Peristiwa
sejarah yang terakhir adalah terjadinya bencana tsunami 24 Desember
2004. Ketinggian dan derasnya air tsunami hingga 2 meter yang hampir
menggenangi ruangan dalam Masjid Raya, menjadi saksi sejarah bagi
kebanyakan orang yang selamat ketika berlindung di Masjid Raya. Setelah
air tsunami surut, didalam Masjid Raya dijadikan tempat meletakkan
ribuan jenazah korban tsunami.
Masjid
Raya Baiturrahman merupakan salah satu masjid termegah di Asia
Tenggara. Masjid yang menempati kurang lebih empat hektar ini
berasitektur indah dan unik, memiliki tujuh kubah, empat menara dan satu
menara induk. Ruangan dalam berlantai marmer buatan Italia, luasnya
mencapau 4.760 m2 dan dapat menampung hingga 9.000 jama’ah.
Di halaman depan masjid terdapat sebuah kolam besar, rerumputan yang
tertata rapi dengan tanaman hias dan pohon kelapa yang tumbuh diatasnya.
Lokasi
Masjid ini berada dipusat kota Banda Aceh yang bersebelahan dengan pasar tradisional Aceh.
Akses Menuju Lokasi
Keberadaannya di pusat kota memudahkan bagi pengunjung, baik dengan kendaraan pribadi maupun umum.
II. GUNONGAN
Gunongan
Gunongan yang berada di taman sari (taman sari kerajaan), merupakan simbol dan kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya yang cantik jelita, Putri Phang (Putroe Phang) yang berasal dari Pahang, Malaysia. Alkisah, Putroe Phang
sering merasa kesepian di tengah kesibukan sang suami sebagai kepala
pemerintahan. Ia selalu teringat dengan kampung halamannya di Pahang.
Sang suami memahami kegundahan permaisurinya. Untuk membahagiakan sang
permaisuri, ia membangun sebuah gunung kecil (Gunongan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang
di Pahang. Setelah Gunongan selesai dibangun, betapa bahagianya sang
permaisuri. Hari-harinya banyak dihabiskan dengan bermain bersama
dayang-dayang di sekitar Gunongan, sambil memanjatinya.
Letak
Gunongan berhadapan dengan lokasi perkuburan serdadu Belanda. Bangunan
ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
pada abad ke-17. Bangunan Gunongan tidak terlalu besar, bersegi enam,
berbentuk seperti bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utamanya
sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Pada dindingnya ada sebuah
pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari
lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.
Di sebelah Gunongan ada sebuah bangunan yang disebut dengan Kandang Baginda. Kandang Baginda merupakan lokasi pemakaman keluarga Sultan Kerajaan Aceh yang salah satunya adalah makam anak angkat Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang berasal dari Malaysia.
Lokasi
Lokasi Gunongan berada di Taman Sari Gunongan, di Desa Seutui, Kotamadya Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Akses Menuju Lokasi
Akses
menuju ke lokasi ini sangat mudah, karena Desa Seutui berada di tengah
kota Banda Aceh. Para pengunjung dapat masuk menuju lokasi dari pintu
gerbang yang berada di Jalan Teuku Umar. Banyak angkutan umum yang lalu
lalang melewati lokasi ini, seperti taxi, becak mesin dan labi-labi. Labi-labi
yang melewati rute Taman Sari Gunongan adalah jurusan Lhoknga – Pasar
Aceh, Lamteumen – Pasar Aceh, dan Lamlagang – Pasar Aceh.
Pinto Khop
Dibangun
Pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan
pintu penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini
merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan
tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak
jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang
permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi
bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan
menjadi tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil
membaca buku selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
IV. TAMAN PUTROE PHANG
Taman Putroe Phang
Taman
Putroe Phang atau Putri Pahang, adalah Taman yang dibuat oleh Sultan
Iskandar Muda.Putri pahang sendiri adalah Istri raja pahang yang sangat
cantik,Karena ada sengketa dikerajaan pahang maka putri pahang diberikan
kepada Sultan Iskandar Muda untuk dijadikan Istri, sebagai persembahan
untuk kesenangan putri dibuatlah taman tersebut,Terdapat juga bangunan
yang disebut Gunongan saat setelah selesai dibuat kemudian dikapur putih
oleh penduduk dengan jalan tiap tiap penduduk datang kesitu untuk
mencalitkan kapur yang dibawa oleh calitan jarinya, masing masing “Saboh Cilet” atau satu calit.
V. TAMAN SARI BANDA ACEH
Taman Sari Banda Aceh
Taman Sari Banda Aceh berada tepat di depan kantor walikota Banda Aceh atau berada langsung disebelah kiri Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Letaknya yang strategis sebagai ruang hijau dengan luas 300 meter
persegi, menjadikannya sebagai taman multi fungsi, yaitu sebagai tempat
rekreasi dan juga merupakan simbol dari pembaruan dan harapan.
Taman
Sari merupakan tempat bermain yang ramai dikunjungi oleh masyarakat
dengan lokasi yang berada tidak jauh dari Mesjid Raya Kota Banda Aceh,
Taman Sari merupakan salah satu tempat favorit di Kota Banda Aceh
dengan fasilitas yang tersedia antara lain : mempunyai taman yang luas
dan tertata rapi dengan aneka permainan gratis bagi anak-anak dan juga
tersedia hot spot gratis sehingga setiap orang dapat mengakses internet
serta di dukung oleh bangunan gedung untuk menunjang tempat ini
sebagai pusat kegiatan masyarakat.
VI. LONCENG CAKRA DONYA
Lonceng Cakra Donya
Lonceng atau genta
yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini
sekarang diletakkan di Museum Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh
Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan
oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan
Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda
yang bernama "Cakra Donya" (Cakra Dunia)
waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu
dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (Teror Dunia).
Kemudian Loncengyang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak
dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Raya
Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun
1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam
kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah
menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini
juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara
Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi yang disimpan di Museum Aceh. Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan sebuah bingkisan Maharaja Cina yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Di atas Lonceng tersebut tertera aksara Cina "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo".
Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi yang disimpan di Museum Aceh. Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan sebuah bingkisan Maharaja Cina yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Di atas Lonceng tersebut tertera aksara Cina "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo".
VII. MONUMEN SEULAWAH RI 001
Monumen Seulawah RI 001
Pesawat
Seulawah yang dikenal RI-1 dan RI-2 merupakan bukti nyata dukungan
yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, Pesawat Seulawah yang
menjadi cikal bakal Maskapai Garuda Indonesia Airways disumbangkan
melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar aceh sehingga
Presiden Soekarno menyebut "Daerah
Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia, dan melalui
perjuangan rakyat aceh seluruh Wilayah Republik Indonesia dapat direbut
kembali".
Pesawat Seulawah dibeli dengan harga US$120.000 dengan kurs pada saat
itu atau kira-kira 25 Kg emas dan untuk mengenang jasa masyarakat aceh
tersebut maka di buat replika pesawat seulawah yang berada di Lapangan
Blang Padang Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh.
VIII. MUSEUM ACEH (RUMOH ATJEH)
Museum Aceh (Rumoh Atjeh)
Di sekitar jalan Sultan Mahmud Syah terdapat beberapa objek bersejarah yang sangat menarik dikunjungi. Adapun objek tersebut adalah Museum Negeri Aceh atau Rumoh Aceh.
IX. RENCONG
Rencong
Rencong (reuncong)
merupakan senjata tradisional masyarakat Aceh. Bahan baku utama
pembuatan rencong adalah besi putih, kuningan, dan tanduk kerbau (tanduk
berwarna putih dan hitam).Pada masa penjajahan Belanda, rencong
digunakan di medan perang, tidak hanya oleh kaum pria, namun juga kaum
wanita. Senjata ini diselipkan di pinggang sebagai penanda
egalitarianisme dan ketinggian martabat, sekaligus simbol pertahanan
diri, keberanian, kebesaran, dan kepahlawan ketika melawan penjajah
Belanda. Dalam perjuangan melawan Belanda, sejarah mencatat nama-nama
besar pahlawan srikandi Aceh, seperti Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, dan Teungku Fakinah.
Saat
ini, rencong telah beralih fungsi sebagai salah satu cenderamata khas
Aceh. Rasanya tidak sempurna apabila pelancong dari luar Aceh ketika
berkunjung ke Aceh tidak membeli rencong sebagai hadiah atau
kenang-kenangan.
Keistimewaan
Salah
satu keistimewaan rencong ada pada proses pembuatannya. Pembuatan
rencong dengan bahan baku besi putih akan memerlukan waktu lebih lama
dan lebih sulit dibandingkan dengan yang berbahan kuningan. Dari sekian
banyak rencong yang ada, dapat dibagi ke dalam empat jenis reuncong, yaitu rencong pudoi (rencong yang belum sempurna pada bentuk gagangnya); rencong meukure, yaitu rencong yang diberi hiasan seperti gambar hewan, akar kayu dan bunga di bagian matanya; rencong meupucok (memiliki pucuk) yang di atas gagangnya ada sebuah pucuk yang biasanya terbuat dari emas; dan rencong meucugek yang pada gagangnya terdapat suatu bentuk cugek (perekat dan bergagang lengkung 90 derajat).
Rencong memiliki makna filosofi keislaman di mana pada gagangnya berbentuk huruf Arab ba, sedangkan pada bujuran gagangnya adalah huruf Arab sin. Pada pangkal besi yang berbentuk lancip dekat gagang, berhuruf Arab mim. Sementara itu, lajur-lajur besi pada gagang, berhuruf Arab lam. Secara keseluruhan, rencong berbentuk kalimat Arab Bismillah.
Lokasi
Desa Baet Masjid, Desa Baet Meuseugoe, dan Desa Baet Lampu ot
merupakan tiga sentra pengrajin rencong di Aceh Besar. Ketiga desa ini
berada di Kecamatan Sibreh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
Akses Menuju Lokasi
Jarak antara Desa Baet Masjid, Desa Baet Meuseugoe, dan Desa Baet Lampu ot
dengan Kota Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
kurang lebih 25 km ke arah timur. Dari Kota Banda Aceh, ketiga desa
tersebut dapat ditempuh dengan mengendarai kendaraan roda dua atau empat
dalam waktu kurang lebih 45 menit.
Harga
Harga
sebilah rencong bervariasi, tergantung dari kualitas besi, gagang, dan
ukurannya. Rencong yang berukuran sedang (panjangnya 10-12 cm) dan
terbuat dari kuningan, biasanya dihargai sebesar Rp 20.000,00 hingga Rp
75.000,00 (April 2008), sedangkan rencong yang berukuran lebih besar
(panjangnya lebih dari 12 cm) biasanya dihargai sebesar Rp 75.000,00
hingga Rp 80.000,00 (April 2008). Harga sebilah rencong dapat mencapai
ratusan ribu rupiah bilamana besi putih sebagai bahan utamanya.
Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Untuk saat ini belum ada akomodasi di sekitar lokasi. Namun, di Desa Baet Masjid, Desa Baet Meuseugoe, dan Desa Baet Lampu ot pelancong
dapat mengunjungi dan melihat tempat-tempat pembuatan rencong yang
masih menggunakan cara-cara tradisional, mulai dari menempa sebilah besi
putih atau kuningan hingga pemasangan gagang dari tanduk kerbau. Di
tempat ini, pelancong juga dapat memesan jenis rencong yang diminati.
Semua pengrajin rencong di ketiga desa tersebut adalah kaum lelaki.
Pengetahuan dan ketrampilan membuat rencong yang mereka miliki, berasal
dari pengalaman bekerja dengan orang tua. Rencong-rencong yang dibuat
banyak yang dipasarkan di beberapa kawasan belanja di kabupaten di Aceh,
terutama di Pasar Aceh Banda Aceh.
X. RUMAH RATU SAFIATUDDIN
Rumah Ratu Safiatuddin
Bila
datang ke Banda Aceh, pasti akan melihat sebuah taman yang di dalamnya
terdapat berbagai bangunan rumah adat dari berbagai etnik yang ada di
Aceh. Taman itu berada persis di sisi kanan kantor gubenuran Aceh atau
di sisi kiri jalan T. Nyak Arif menuju ke kampus Darusalam. Taman itu
dibangun saat akhir-akhir pemerintahan Gubernur Abdullah Puteh
berkuasa. Saat itu Aceh masa belum damai seperti sekarang ini masih
dalam keadaan berkonflik antara GAM dan pemerintah RI. Taman itu
diresmikan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri bersamaan dengan
pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh yang ke IV. Kemudian setelah Aceh Damai,
di Taman itu juga diadakan kembali Pekan kebudayaan Aceh ke V serta
perhelatan seni lainnya. Termasuk Pekan Peradaban Melayu Raya
yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 19 s/d 24 Agustus 2008,
Event ini diikuti 13 Negara Anggota Dunia Melayu Dunia Islam, Propinsi
di Indonesia dan seluruh Kabupaten/kota di Aceh.
Berdasarkan
sejarah Aceh, pada masa lampau sebelum Indonesia berdiri, Aceh telah
menjadi sebuah kerajaan yang disegani oleh negara-negara lain. Pada saat
itu Aceh telah dipimpin oleh ratu-ratu yang sangat termashur. Salah
satu diantaranya adalah Ratu Safiatuddin. Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka
Sri Sultana Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah Johan Berdaulat
Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota
Alam Shah. Putri dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.”
Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar
mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di
negerinya.
Sebelum ia menjadi sultanah, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641).
Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti
laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam
mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika
perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang
Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
Sultanat
Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan
pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia
juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang
sebagai hadiah dari kerajaan. Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin
dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan
Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas.
Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.
XI. PLAKAT KOTA BANDA ACEH
Pemerintah
Banda Aceh bekerjasama dengan BRR Aceh-Nias dan warga Gampong Pande
memancang plakat untuk menandai tempat asal mulanya kota itu, bertepatan
dengan peringatan HUT ke-802 Kota Banda Aceh. Acara peletakan plakat
ini dilaksanakan di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, yang merupakan titik bersejarah muasal perkembangan Kota Banda Aceh. Di tempat inilah, Kesultanan Aceh Darussalam dibangun oleh Sultan Alaidin Johansyah 802 tahun lalu atau pada 22 April 1205 Masehi.
Plakat Kota Banda Aceh
Pemasangan plakat merupakan bagian dari rangkaian kegiatan mewujudkan jalur jejak sejarah (heritage trails), rekonstruksi Taman Bustanus-salatin dan penanaman pohon persahabatan sebagai bagian dari rehabilitasi Aceh pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami. Plakat yang dipancang mencantumkan kalimat dalam tiga bahasa, yaitu Aceh, Indonesia dan Inggris. Dalam Bahasa Aceh berbunyi, Disinoe
asai muasai mula jeut Kuta Banda Aceh teumpat geupeudong keurajeuen
Aceh Darussalam le Soleuthan Johansyah bak uroe phon puasa Ramadhan thon
601 Hijriah (Di sini cikal bakal Kota Banda Aceh tempat awal
asal mula kerajaan Aceh Darussalam, didirikan oleh Sultan Johansyah
pada 1 Ramadhan 601 H).
Program jejak jalur sejarah Kota Banda Aceh sejauh ini telah mengidentifikasikan 100 titik bersejarah sejak masa Hindu/Budha, perkembangan masuknya Islam, Kolonial Belanda,
hingga Aceh pasca tsunami. Tim ini juga mengidentifikasikan sebuah
situs yang penting untuk direkonstruksi di pusat Banda Aceh, yaitu Taman
Bustanus-salatin, sebuah taman raja-raja yang megah pada abad ke-17.
Jalur jejak sejarah ini bertujuan memberikan landasan bagi pembangunan
Kota Banda Aceh di masa mendatang agar tidak melupakan sejarah
perkembangannya. Pada tahap awal, program difokuskan pada kegiatan studi
dan survei titik-titik bersejarah, serta kegiatan perencanaan dan
perancangan. Dalam tahap kedua tahun depan, program akan
meletakkan plakat-plakat penanda pada 20 titik bersejarah, memulai awal
dari rekonstruksi Taman Bustanus-salatin dengan penanaman kembali pohon
dan tanaman yang tercantum di dalam Kitab Bustanus-salatin karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry di abad ke-17 dan mulai penanaman pohon sebagai bagian dari program pohon persahabatan.
XII. PENDOPO GUBERNUR ACEH
Pendopo Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Tepat
di atas bekas istana Kerajaan Aceh, ada sebuah bangunan Belanda.
Bangunan ini berfungsi sebagai pendopo gubernur. Bangunan ini didirikan
oleh Belanda pada 1880 untuk tempat tinggal Gubernur Belanda. Sekarang, bangunan ini Di sinilah para Gubernur Aceh bertempat tinggal. Pendopo Gubernur
dibangun oleh pemerintah militer Belanda. Adapun tempat dimana bangunan
ini berdiri merupakan bekas kraton kerajaan Aceh. Arsitektur bangunan
Pendopo Gubernur merupakan kombinasi antara arsitektur Eropa dan Aceh.
XIII. KAPAL PLTD APUNG
Kapal PLTD Apung
Dikarenakan
banyak menara transmisi listrik dari Sumatera Utara ke Aceh ditebang
oleh pihak-pihak pemberontak pada masa konflik maka masalah kekurangan
listrik di Banda Aceh menjadi sangat krusial sehingga PLN menempatkan
Kapal Generator Listrik untuk mensuplai kebutuhan listrik di Banda Aceh
melalui jalur laut. Pada hari minggu pagi tanggal 26 Desember 2004,
gelombang Tsunami menghempas Kapal tersebut sejauh lebih kurang 3KM
dari pesisir pantai. Dikarenakan banyak objek akibat Tsunami seperti
perumahan penduduk yang hancur telah dibangun kembali, maka Kapal besar
di tengah kampung ini sangat membantu untuk mendapatkan gambaran
betapa dahsyatnya Tsunami tersebut.
XIV. KAPAL APUNG LAMPULO
Kapal Apung Lampulo
Situs
ini tetap dipertahankan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh untuk
mengenang Musibah Tsunami yang melanda Kota Banda Aceh. Sebuah kapal
yang terbawa Gelombang Tsunami dan terdampar di perumahan penduduk di
kawasan Gampong Lampulo Kecamatan Kuta Alam.
XV. TAMAN WISATA KRUENG ACEH
Taman Wisata Krueng Aceh
Taman
Wisata Krueng Aceh Sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini merupakan
salah satu sungai yang cukup bersih untuk dijadikan sebagai objek wisata
dengan konsep panorama aliran sungai dengan suasana tenang dan nyaman untuk melepas kepenatan. Titik Lokasi Waterfront
City di Kota Banda Aceh meliputi kawasan Gampong Keudah, Gampong Kuta
Alam dan Kawasan Gampong Lamgugob, dengan sarana yang tersedia yaitu
tempat rekreasi keluarga di titik Keudah dan Kuta Alam serta wisata air
di jembatan lamnyong dan juga Sebagai pelengkap bagi pengunjung yang
tidak hanya melepas kepenatan dapat memanfaatkan lokasi jogging track
dekat jembatan Peunayong sebagai sarana olah raga ataupun tempat
pembibitan benih tanaman di Kampung Bar.
XVI. KOPELMA DARUSSALAM
Kopelma Darussalam
Kopelma Darussalam adalah sebuah gampong di Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Di Kopelma Darussalam terdapat dua perguruan tinggi yang merupakan kebanggaan masyarakat di Nanggröe Aceh Darussalam yaitu Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry.
Gampong adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi Aceh, Indonesia. Gampong berada di bawah Mukim.
Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Gampong bukanlah bawahan Sagoe Cut (kecamatan), karena Sagoe Cut merupakan bagian dari perangkat daerah Sagoe
(kabupaten) atau kota, sedangkan Gampong bukan merupakan bagian dari
perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Gampong memiliki hak
mengatur wilayahnya yang lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah
gampong dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
XVII. PANTAI ALUE NAGA
Pantai Alue Naga
Pantai
Alue Naga lokasinya berjarak hanya beberapa kilometer dari Banda Aceh
ke arah Krueng Raya. Jalan masuk ke lokasi adalah jalan aspal yang
walaupun sempit namun mulus. Jalan berakhir di laut, yang ditimbuni
dengan batu gunung yang besar-besar. Para pemancing meramaikan tempat
ini setiap sore. Pengunjung lainnya hanya sekedang menikmati semilir
angin laut yang berhembus pelan dan menikmati suasana matahari terbenam.
XVIII. PANTAI CERMIN BANDA ACEH
Pantai Cermin Banda Aceh
Kawasan
Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, termasuk objek wisata
Pantai Cermin yang cukup dikenal, kini mulai memancarkan lagi ‘aura’
kehidupan setelah hancur tak berbekas dihantam tsunami. Mulai tahun ini,
Pantai Cermin menjadi arena kegiatan seni dan budaya dengan starting
point-nya momentum HUT ke-63 Bhayangkara.
Kegiatan seni dan budaya di Pantai Cermin Ulee Lheue dikemas dalam
kegiatan bertajuk; Peukan Kebudayaan Meuraxa (PKM) di mana
pelaksanaannya dipadu dengan perayaan HUT ke-63 Bhayangkara.
PKM I berlangsung mulai 27 Juni hingga 5 Juli 2009. Kegiatan tujuh hari itu diisi dengan aneka kegiatan, seperti lomba memasak diikuti peserta dari jajaran Pemko Banda Aceh hingga kecamatan, lomba mewarnai untuk anak-anak dari Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, lomba memancing, festival rapa-i geleng se-Banda Aceh dan Aceh Besar, dalail khairat tingkat kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar, fashion show (busana muslim tingkat anak-anak), pameran serta panggung seni dan hiburan rakyat.
HUT ke-63 Bhayangkara juga sebagai bentuk tanggungjawab melestarikan seni dan budaya bangsa, membina hubungan persaudaraan, dan sosialisasi pelestarian lingkungan khususnya kelautan agar semakin meningkat tanggungjawab menjaga lingkungan.
PKM I berlangsung mulai 27 Juni hingga 5 Juli 2009. Kegiatan tujuh hari itu diisi dengan aneka kegiatan, seperti lomba memasak diikuti peserta dari jajaran Pemko Banda Aceh hingga kecamatan, lomba mewarnai untuk anak-anak dari Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, lomba memancing, festival rapa-i geleng se-Banda Aceh dan Aceh Besar, dalail khairat tingkat kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar, fashion show (busana muslim tingkat anak-anak), pameran serta panggung seni dan hiburan rakyat.
HUT ke-63 Bhayangkara juga sebagai bentuk tanggungjawab melestarikan seni dan budaya bangsa, membina hubungan persaudaraan, dan sosialisasi pelestarian lingkungan khususnya kelautan agar semakin meningkat tanggungjawab menjaga lingkungan.
XIX. WARUNG KOPI ULEE KARENG
Di
Nanggroe Aceh Darussalam, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk
menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya
di Banda Aceh, sangat banyak, mungkin terbanyak di Indonesia. Warung
kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa,
karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian
banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang
sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam
hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah”. Warung kopi ini
dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung
kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa
Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad.
Kopi Ulee Kareng
Bagi
kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk
menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun
ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial,
yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau
antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik
dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan
fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis.
Warung
kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia.
Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak
pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke aceh. Tidak hanya
media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa
kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional.
Keistimewaan
aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi
itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara
khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian
(penggonsengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya
tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah
itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus
diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga
beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan.
Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya
sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya, kue
timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (nasi uduk) ataupun mie
Aceh.
Meskipun
usahanya terbilang sukses dengan keuntungan bersih satu harinya hingga
mencapai lebih kurang Rp. 2.000.000,00, (dalam satu bulan menghabiskan
1,5 ton kopi) Nawawi tetap memikirkan kehidupan akhirat. Semenjak
peristiwa tsunami melanda Aceh, ia mulai menerapkan peraturan baru bagi
pengunjung di warungnya, bagi yang beragama Islam diwajibkan meninggal
warung sebelum tiba waktu adzan dzuhur, ashar, dan maghrib. Dan bagi
yang tidak beragama Islam, tidak masalah untuk tetap berada di warung.
Baginya kehidupan duniawi dan akhirat mesti berjalan seiring.
Lokasi
Warung
Kopi “Jasa Ayah” berada di Jalan T. Iskandar no.13-14a, Kecamatan Ulee
Kareng, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Akses Menuju Lokasi
Akses
menuju ke lokasi ini sangat mudah, karena Kecamatan Ulee Kareng berada
di Kota Banda Aceh. Banyak angkutan umum yang lalu lalang melewati
lokasi ini, seperti: taxi, becak mesin dan labi-labi. Labi-labi yang melewati rute Warung Kopi Ulee Kareng adalah jurusan Ulee Kareng – Pasar Aceh.
Harga
Segelas
kopi dihargai Rp. 1.500,00, (Maret 2008), namun apabila pengunjung
ingin menambahi susu kental, harganya menjadi Rp. 3.000,00 (Maret 2008).
Di warung ini juga dijual bubuk kopi dalam bentuk kemasan beberapa
ukuran, seperti 250 gram dengan harga Rp. 10.000,00 (Maret 2008). Kalau
yang kemasan 1 kg dijual sekitar Rp. 60.000,00 (Maret 2008).
XX. BECAK ACEH
Becak Aceh
Becak
adalah pilihan transportasi terbaik untuk mengelilingi Kota Banda Aceh.
Selain murah, becak motor ternyata menjadi transportasi andalan dan
cukup mendominasi di Banda Aceh. Seperti halnya bajaj di Jakarta, becak
motor layak dijuluki ‘raja jalanan’ di tanah rencong. Becak memang
kembali berjaya di Banda Aceh. Pada waktu terjadi tsunami 2004, konon
1500 becak hanyut oleh gelombang air laut.
Becak
motor sebenarnya tidak hanya ada di Aceh, tetapi juga di Pulau Bangka
Belitung (Babel). Bedanya ada pada posisi tempat duduk penumpang. Tempat
duduk penumpang becak di Babel berada didepan, sedangkan di Banda Aceh
terletak di samping.
XXI. MASJID BAITURRAHIM ULEE LHEU
Masjid Baiturrahim Ulee Lheu
Masjid
Baiturrahim ini merupakan satu-satunya bangunan dipinggir Pantai Ulee
Lheue yang berdiri kokoh pada saat Tsunami menerjang Kota Banda Aceh,
sementara bangunan lain yang berada di sekitarnya luluh lantak di
hantam Gelombang Tsunami pada hari minggu tanggal 24 Desember 2004. Namun,
masjid menara masjid berusia 123 tahun dan kubahnya tetap kokoh. Umat
muslim menganggapnya sebagai mukjizat, bahwa rumah Allah diselamatkan
dari gelombang ganas tsunami.
XXII. MASJID TEUNGKU DI ANJONG
Masjid Teungku Di Anjong
Masjid
Teungku Di Anjong merupakan bangunan yang didirikan pada abad ke 18
oleh Sayyid Abuakar bin Husan Bafaqih, yaitu seorang ulama Arab yang
mendapat gelar Teungku Di Anjong. Bangunan masjid ini dulunya adalah
sebuah masjid yang bermaterial kayu, namun seiring dengan perkembangan
zaman, masjid tersebut "menjelma" menjadi bangunan masjid baru yang
bermaterial bata. Ironis memang, tapi renovasi ini lebih baik daripada
membiarkan bangunan bersejarah ini hancur dan roboh. Satu hal yang masih
dipertahankan dari renovasi ini yaitu bentuk asli masjid tidak berubah
walaupun telah berganti material. Begitu bentuk atap yang
bertingkat-tingkat khas ala masjid-masjid Jawa masih tetap dipertahankan
pada renovasi masjid ini.
Dominasi
warna putih yang digunakan untuk Masjid ini ditambah dengan kombinasi
hijau yang digunakan untuk warna atap dan kusen serta jendelanya membuat
Masjid ini jadi terasa seperti masjid yang benar-benar baru. Padahal
kita tau kalau masjid ini sejatinya dibangun pada abad ke 18.
Satu-satunya kesan antik yang ditimbulkan dari komplek ini hanya
bangunan makam dan juga pemakaman yang ada di komplek tersebut.
XXIII. KUBURAN MASSAL KORBAN TSUNAMI ULEE LHEU
Situs
wisata ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda dan sebelum Tsunami
merupakan Rumah Sakit Umum Meuraxa, namun ketika Tsunami melanda Kota
Banda Aceh Rumah Sakit tersebut rusak parah dan halamannya dijadikan
pemakaman massal bagi korban Tsunami sedangkan untuk Rumah Sakit
Meuraxa sendiri direlokasi ke Desa Mibo Kecamatan Banda Raya Kota Banda
Aceh.
XXIV. MAKAM SERDADU BELANDA KERKHOFF PEUCUT
Makam Serdadu Belanda Kerkhoff Peucut
Kerkhoff berasal dari bahasa Belanda yang berarti kuburan, sedangkan Peucut (Pocut) berasal dari Poteu Cut yang
berarti pangeran. Pada relief dinding gerbang makam tertulis nama-nama
serdadu Belanda yang meninggal dalam pertempuran dengan masyarakat Aceh
(setiap relief ada 30 nama); daerah pertempuran, seperti di Sigli,
Moekim, Tjot Basetoel, Lambari en Teunom, Kandang, Toeanko, Lambesoi,
Koewala, Tjot Rang – Pajaoe, Lepong Ara, Oleh Karang – Dango dan
Samalanga; dan tahun meninggal para serdadu (1873-1910). Di antara para
serdadu Belanda tersebut ada beberapa nama prajurit Marsose yang berasal
dari Ambon, Manado dan Jawa. Para prajurit Marsose yang berasal dari
Jawa ditandai dengan identitas IF (inlander fuselier) dibelakang
namanya, prajurit dari Ambon dengan tanda AMB, prajurit dari Manado
dengan tanda MND dan serdadu belanda dengan tanda EF/ F. Art.
Di
lahan seluas dua hektar terdapat sekitar 2.200 makam serdadu Belanda.
Batu-batu nisannya berwarna putih yang tampak berjajar dengan rapi. Di
bagian kiri pintu gerbang bertulis “in memoriam Generaal – Majoor JHR Kohler, Gesneuveld, 14 April 1873”.
Pemakaman
ini merupakan symbol perjuangan, keberanian dan kepahlawanan rakyat
Aceh melawan penjajah Belanda. Pada waktu tentara Belanda mendarat di
Aceh pada tahun 1873, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Kohler yang
kemudian tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 14 April
1873. Ia dikubur di Batavia. Atas permintaan Gubernur Aceh Muzakir Walad
sebagai simbol peringatan sejarah perang Aceh – Belanda, maka pada
tanggal 19 Mei 1978 jasad Kohler dipindahkan ke Kerkhoff. Banyak
wisatawan local dan mancanegara khususnya dari Belanda yang berkunjung
ke lokasi makam ini.
Lokasi
Lokasi makam terletak di Desa Blower, Kotamadya Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam
Akses Menuju Lokasi
Akses
menuju ke lokasi sangat mudah, karena Desa Blower berada di tengah Kota
Banda Aceh. Para peziarah dapat masuk menuju lokasi dari pintu gerbang
yang terlihat dari jalan besar di Blang Padang. Banyak angkutan umum
yang lalu lalang melewati lokasi ini, seperti taksi, becak mesin,
angkutan kota jurusan Lhoknga – Pasar Aceh, Ulelheu – Pasar Aceh,
Lamteumen – Pasar Aceh dan Lamlagang – Pasar Aceh.XXV. MAKAM KANDANG MEUH
Komplek
Kandang Meuh (Makam Raja-raja Aceh) ini terletak di komplek Baperis dan
komplek Museum Negeri Aceh. Dalam komplek Baperis terdapat dua Kandang
Raja Aceh, yang pertama disebut Kandang Meuh dan satu lagi disebut
Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah. Adapun yang dimakamkan di
komplek Kandang Meuh antara lain Putri Raja anak Raja Bengkulu, Sultan
Alaidin Mahmud Syah, Raja Darussalam, Tuanku Zainal Abidin dan
lain-lain.
Selanjutnya
komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah dimakamkan antara lain Pocut
Rumoh Geudong (istri Sultan Ibrahim Mansur Syah), Sultan Ibrahim Mansur
Syah (memerintah tahun 1836-1870), Sultan Mahmud Syah (anak Sultan
Mahmud Syah), Sultan Husein Johar Al-alam Syah (anak Sultan Muhammad
Syah), Putoru Binen (kakak Sultan Ibrahim Mansur Syah), Tuanku Husein
Pangeran Anom (anak Sultan Ibrahim Mansur),Tuanku Cut Zainal Abidin,
Tengku Chik, Tuanku Raja Ibrahim (anak Sultan Mohammad Daud Syah).
Dalam
komplek Museum Negeri terdapat makam Sultan Alaidin Ahmad Syah
(1727-1735), Sultan Alauddin Johan Syah (1735-1760), Sultan Alauddin
Mohammad Daud Syah (1781-1795), dan Pocut Mohammad (anak Sultan Ahmad
Syah).
Tidak
jauh dari kompleks makam Kandang Meuh terdapat makam Sultan Iskandar
Muda. Sultan yang pernah memerintah Kerajaan Aceh. Di bawah
pemerintahannya kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya.
Alamat Komplek Kandang Meuh (Makam Raja-Raja Aceh):
Jl. S.A. Mahmudsyah 12 Desa Peuniti, Kecamatan BaiturrahmanBanda Aceh - Indonesia.
XXVI. MAKAM KANDANG XII
Makam Kandang XII
Komplek makam Kandang XII yang terletak di Kelurahan Keuraton Kecamatan Baiturrahman di sisi barat Pendopo Gubernur NAD, luasnya sekitar 214M2 mulai dipugar oleh pemerintah melalui proyek purbakala tahun 1978. Sultan Aceh yang dimakamkan antara lain Sultan Ali Mughayat Syah memerintah antara tahun 1514-1530 yang berhasil mengusir Portugis di Selat Malaka yang hendak menyerang wilayah kekuasaan Aceh, Kerajaan Aru (Sumatera Timur), Pasai, Pedir dan Daya hingga ke Barus (Pancur) Tapanuli Tengah.
XXVII. MAKAM POE TEUMEUREUHOM
Pada
setiap Hari Raya Idul Qurban (10 zulhijjah) makam Poe Teumeureuhom yang
terletak di salah sebuah Kemukiman Kuala Daya dalam wilayah Kecamatan
Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, senantiasa mendapat kunjungan (Ziarah) tidak
kurang dari 6.000 sampai 8.000 pengunjung,yang datang dari berbagai
pelosok Kecamatan Jaya dan juga dari Kecamatan-Kecamatan yang berdekatan
dengannya bahkan tidak jarang dari luar Kabupaten Aceh Jaya .
Dengan rasa khikmat dan penuh keyakinan, para pengunjung berdesak-desakan membanjiri komplek makam Poe Teumeureuhom tersebut, hanya untuk menyaksikan upacara Seumeuleung & Peumeunap
dengan kepentingan yang berbeda-beda .ada yang sekedar ingin melihat
upacara keramaian, tetapi yang terbanyak diantaranya ialah untuk melepas
nazar (Peulheuh Kaoy) mendapatkan sejumput nasi sisa dimakan
pada upacara agung itu, atau untuk membasahi kepala dengan air guci
makam Poe Teumeureuhom yang terkenal keramat itu.
Upacara
Seumeuleung dan Peumeunap ini bukanlah merupakan bagian dari upacara
keagamaan, atau dengan kata lain wajib dilaksanakan (di pandang dari
segi Agama Islam) sehingga lazim kita dengar, apabila upacara ini tidak
di laksanakan akan mendapat kutukan
(tertimpa bala) dan sebagainya.akan tetapi yang jelas Upacara tersebut
telah diwariskan melalui generasi turun-temurun hingga saat ini,
diperkirakan sudah 500 Tahun lamanya.
XXVIII. MAKAM SULTAN ISKANDAR MUDA
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda terletak di kota Banda Aceh. Beliau merupakan tokoh penting dalam sejarah kesultanan Aceh. Kerajaan Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607-1636. Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan Islam Aceh menduduki peringkat kelima kerajaan Islam terbesar di dunia.
Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh penting sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607-1636, ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima diantara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16. Saat itu Banda Aceh ang merupakan pusat Kerajaan Aceh, menjadi kawasan bandar perniagaan yang ramai karena berhubungan dagang dengan dunia internasional, terutama kawasan Nusantara dimana Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal kapal niaga asing untuk mengangkut hasil bumi Asia ke Eropa.
Beliau bisa bertindak adil, bahkan terhadap anak kandungnya. Dikisahkan, Sultan memiliki dua orang Putera/Puteri. Salah satunya bernama Meurah Pupok (Pocut) yang gemar pacuan kuda. Tetapi buruk laku Meurah, dia tertangkap basah sedang berselingkuh dengan isteri orang. Yang menangkap sang suami, dirumahnya sendiri pula. Sang Suami mencabut Rencong, ditusukkannya ke tubuh sang isteri yang serong. Sang Suami kemudian melaporkan langsung kepada Sultan, dan setelah itu di depan rajanya sang Suami kemudian berharakiri (bunuh diri). Sultan, yang oleh rakyatnya dihormati sebagai Raja bijaksana dan adil, jadi berang. Meurah Pupok disusulnya di gelanggang pacuan kuda dan dipancungnya (dibunuh) sendiri di depan umum.
XXIX. MAKAM TEUNGKU SYIAH KUALA
Makam Teungku Syiah Kuala
Syekh
Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105
H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki
pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan
Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah
Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Nama
lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri
As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari
Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada
akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya
sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda
Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses
pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk
mendalami agama Islam.
Karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. diantaranya adalah:
- Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
- Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Abdurrauf
Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia
dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah
Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
XXX. MAKAM TEUNGKU DI BITAI
Makam Teungku Di Bitai
Komplek
makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan komplek Tengku
Di Bitai, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Luas areal 500 m2. Komplek
makam berada ditengah-tengah perkampungan dan disekitar makam itu
terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki
dengan status tanah wakaf.
Bitai
adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari
Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muhadis dan Turki.
Semula para ulama bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di perguruan
tinggi. Perkembangan Islam di Bitai sangat termasyur (maju) karena
banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.
Bagi
yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaran ya masing-masing.
Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang
menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan
kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam,
para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi.
(dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.
Turki
Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri
Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28
(Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai
agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan
Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.
Raja
dan keluarganya Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah
umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki menikah dengan orang
Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang
Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat
meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di
Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai.
Jumlah
makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam
diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam
dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.
0 komentar:
Post a Comment