Anggota DPR RI, Nasir Djamil,
mengatakan, pengesahan Bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi bendera resmi
di Aceh dilakukan secara mufakat tanpa pertentangan dari partai politik.
Anggota Komisi VIII DPR itu mengaku
berada di Aceh saat Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, meneken Qanun (Peraturan
Daerah) tersebut, pada Senin, 25 Maret 2013.
“Tidak hanya partai lokal di Aceh
saja yang setuju, namun semua partai politik lain juga setuju. Ada Demokrat,
PAN, PKS, dan partai lain juga setuju. Bahkan PKPI yang logo benderanya
berwarna merah putih juga tidak menolak. Tidak ada proses voting dalam
pengesahan bendera itu,” kata Nasir.
Anggota DPR asal Aceh itu
menyampaikan, tidak ada Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur tentang
bendera. Bahkan, dalam MoU Helsinki menyatakan Aceh memiliki kewenangan
menggunakan bendera dan lambang serta himne khusus atas persetujuan legaslitaf
dan eksekutif Aceh.
“Dalam UU Pemerintahan Aceh itu
tidak ada yang mengatur bendera seperti apa. Begitu juga dengan MoU Helsinki
juga tidak terdapat aturan yang menjelaskan bendera,” tambahnya.
Menurutnya, Bendera GAM itu merupakan
aspirasi lokal yang diusulkan, digodok, hingga disahkan otoritas lokal di Aceh.
“DPR tidak mempunyai kapasitas untuk
menilai pengesahan tersebut tepat atau tidak tepat. Sebab itu semua adalah
proses politik lokal,” ujarnya.
Dengan latar belakang daerah
konflik, kata politikus PKS itu, Aceh mempunyai keistimewaan sebagai daerah
otonomi khusus yang dapat mengatur pemerintahan dan kebijakan sendiri.
“Aceh itu bekas daerah konflik
bersenjata, jadi harus diperlakukan secara khusus. Kalau itu dilakukan untuk
menciptakan proses perdamaian dan tidak ada pertentangan, maka kita harus
mengahormati,” paparnya.
Nasir juga menyangkal keistimewaan
untuk mengatur pemerintahan hingga bendera, akan memicu daerah konflik lain
untuk mendapat keistimewaan serupa.
“Enggak lah. Nanti pemerintah pusat
yang memeriksa lebih jauh hal itu,” tutupnya. [Okezoh]
0 komentar:
Post a Comment