Headlines News :
Home » » Gle Yueng dan Terompet Tipuan

Gle Yueng dan Terompet Tipuan

Written By Unknown on Saturday, November 24, 2012 | 2:26:00 AM



“Adakah peristiwa pemotongan mayat-mayat yang lebih menyedihkan dengan yang terjadi setelah kegagalan penyerbuan mendadak terhadap Gle Yueng?” (H C Zentgraaff)

Untuk menumpas perlawanan pejuang Aceh, Belanda merancang sebuah serangan terencana dan mendadak ke Gle Yueng, tempat pasukan Tgk Chik Ditiro berada. Pasukan Belanda menuju ke daerah perbukitan itu malam hari. Mereka bergerak setelah mengetahui lokasi itu dari seorang wanita pelayan di rumah Letnan Boon yang pernah berhubungan dengan seorang wanita bernama Sofia, kemenakan Panglima Polem.

Sofia telah bercerita tentang Gle Yueng kepada pelayan tersebut. Info dari pelayan itu pula yang kemudian dipakai Belanda sebagai langkah untuk melakukan penyerangan.

Tapi serangan Belanda tersebut gagal total. Mereka disambut pejuang Aceh dengan kobaran api. Pejuang Aceh membakar benteng pertahannya, sehingga tak ada langkah untuk berlindung apalagi mundur, selain hanya satu langkah menyambut serangan Belanda dengan serangan yang lebih hebat pula.

Pasukan Belanda kalah total. Mayat berserakan, malah Kapten Scheuer, komanda Belanda yang memimpin serangan itu mengalami luka tembak dibagian perut. Pagi hari ia ditemukan tergeletak di rumput yang basah dengan darahnya sendiri. Ketika seorang juru rawat hendak memperban lukanya, ia berkata. “Bagi saya tak perlu lagi, tolonglah orang yang tengah mengerang-ngerang di sana.” Ia pun kemudian tewas dengan lukanya.

Sementara seorang perwira Belanda lainnya, Kapten Yacobs tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Puluhan pasukan Belanda tewas. Sisanya luka parah. Kegagalan Belanda itu berawal dari sebuah suara terompet dalam malam buta ketika perang berkecamuk.

Isyarat suara terompet itu berisi perintah untuk berhenti menembak. Terompet itu ditiup oleh seorang fusilier bernama Pauwels, seorang tentara bayaran dari Belgia. Ternyata malam itu Pauwels menyebrang ke pasukan Aceh. Ia sengaja meniup teromper itu untuk mengelabui pasukan Belanda. Sehingga ketika Belanda berhenti menyerang pasukan Aceh dengan leluasa menyerang Belanda.

Pasukan Belanda benar-benar terpukul, karena sejak awal memperkirakan kalau penyerangan ke Gle Yueng mudah, sehingga tidak membawa banyak perbekalan. Mereka hanya membawa beberapa tandu saja, sementara korban yang tewas 28 orang, puluhan lainnya luka berat. Banyak korba tubuhnya sudah dicincang dengan sabetan pedang.

Karena itu pula, H C Zentgraaff, mantan pasukan Belanda yang setelah purnawirawan menjadi wartawan perang, menyebutkan peristiwa tersebut sebagai peristiwa pemotongan mayat yang sangat menyedihkan. “haruskah dikirim kabar ke bivak Indrapuri, agar dikirimkan alat-alat pengangkut mayat dan korban yang luka-luka. Mereka mengirim segala apa yang ada: daun pintu, meja-meja, papan berkelipak-kelipak, dan semua itu ternyata belum cukup untuk mengangkut tentara yang tewas dan luka-luka,” tulis Zentgraaff.

Yang mendapat giliran pertama untuk diangkut adalah prajurit yang luka-luka. Mereka diangkut dengan menggunkan adaun pintu dan papan-papan sebagai tandu. Zentgraaff menilai hal tersebut akan memberikan penderitaan bagi para korban melebihi penderitaan akibat luka yang dialami saat perang.

Sedangkan serdadu yang tewas, kaki dan tanganya diikat pada kayu pikulan, kemudian digotong oleh para pekerja paksa (bear). Para pekerja paksa itu merupakan orang-orang hukuman yang dibawa Belanda dari Jawa ke Aceh. “Dengan mengangkut orang yang mati dan luka-luka, pasukan masih harus melalui Krueng Meunapat. Betul-betul suatu perjalanan yang berat,” lanjut Zentgraaff.

Barisan pasukan pengangkut mayat dan korban luka-luka itu dinilai Zentgraaff sebagai arak-arakan yang mengerikan. Ia menulis, “Orang-orang yang mati bergelantungan pada pada pikulan, melengkung di tengahnya, dan kepala-kepala yang berlumuran darah terbuai-buai di sampingnya. Beberapa diantara yang mati itu berlumuran darah dan Lumpur, bagai binatang-binatang yang dibawa keluar dari rumah potong hewan dan harus diangkut terseok-seok selama setengah hari.”

Peristiwa itu merupakan kekalahan telah bagi Belanda. Sepanjang perjalanan mengangkut mayat dan korban luka-luka ke Indrapuri tersebut, masyarakat Aceh melihat arak-arakan itu dengan nada mengejek kekalahan tersebut. Karena itu pula, mental para serdadu Belanda menjadi menurun.

“Peristiwa itu tidak dapat dilupakan untuk selama-lamanya. Pemandangannya begitu menyedihkan. Mereka yang berjiwa jantan sekali pun dan bersemangat baja berkat pertempuran-pertempuran, kini berjalan mengiringi mayat-mayat itu diliputi rasa haru yang sangat dalam, sehingga hilang lenyap kemampuan mengendalikan diri serta perasaannya. Begitulah arak-arakan itu tiba di Indrapuri, dan semalam suntuk pasukan zeni bekerja keras membuat peti-peti mati. Sebuah lobang yang besar seakan-akan mulut raksasa kelaparan menganga menghadap ke atas, akan menelan seluruh 28 jenazah serdadu kita. Jenazah kedua orang kapten yang gugur dikirimkan ke Peucut Kerkhof (kuburan Belanda di Banda Aceh)” lanjut Zentrgaaff.

Van Hfeutsz, komandan bala tentara Belanda ikut hadir pada upacara penguburan tersebut. Tatkala peti mati itu diturunkan ke dalam lobang, dia pun tak kuasa membentung perasaannya lagi, dan menetes air mata dipipinya. Dengan susah payah ia mengeluarkan beberapa patah kata, “Prajurit-prajurit gagah perkasa, gugur di medan kehormatan,” katanya, setelah berhenti sejenak menahan haru, ia melanjutkan “Makam ini akan diabadikan.”

Kuburan massa itu kemudian disebut sebagai Kerkhof kecil di Indrapuri. Zentgraaff pernah berkunjung ke kuburan itu, akan tetapi ia tidak menemukan apa pun, karena sudah dipenuhi semak. Hanya tersisa beberapa batu nisan lama di kuburan perorangan, dan beberapa keeping pagar kayu, yang menandakan bahwa di dalamnya ada mayat yang dikuburkan.

“Ditengah-tengah pekuburan ada sebatang pohon yang agak menyolok dari keadaan sekelilingnya, dan saya berfikir dalam hati bahwa didalam tanah di mana pohon itu tumbuh, tersedia makan yang lebih banyak bagi akar-akar pohon itu dari pada disekitarnya,” seperti yang dijelas Zentgraaff dalam catatannya. [Sumber]
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©