“Adakah peristiwa pemotongan
mayat-mayat yang lebih menyedihkan dengan yang terjadi setelah kegagalan
penyerbuan mendadak terhadap Gle Yueng?” (H C Zentgraaff)
Untuk menumpas perlawanan pejuang
Aceh, Belanda merancang sebuah serangan terencana dan mendadak ke Gle Yueng,
tempat pasukan Tgk Chik Ditiro berada. Pasukan Belanda menuju ke daerah
perbukitan itu malam hari. Mereka bergerak setelah mengetahui lokasi itu dari
seorang wanita pelayan di rumah Letnan Boon yang pernah berhubungan dengan
seorang wanita bernama Sofia, kemenakan Panglima Polem.
Sofia telah bercerita tentang Gle
Yueng kepada pelayan tersebut. Info dari pelayan itu pula yang kemudian dipakai
Belanda sebagai langkah untuk melakukan penyerangan.
Tapi serangan Belanda tersebut
gagal total. Mereka disambut pejuang Aceh dengan kobaran api. Pejuang Aceh
membakar benteng pertahannya, sehingga tak ada langkah untuk berlindung apalagi
mundur, selain hanya satu langkah menyambut serangan Belanda dengan serangan
yang lebih hebat pula.
Pasukan Belanda kalah total.
Mayat berserakan, malah Kapten Scheuer, komanda Belanda yang memimpin serangan
itu mengalami luka tembak dibagian perut. Pagi hari ia ditemukan tergeletak di
rumput yang basah dengan darahnya sendiri. Ketika seorang juru rawat hendak
memperban lukanya, ia berkata. “Bagi saya tak perlu lagi, tolonglah orang yang
tengah mengerang-ngerang di sana.” Ia pun kemudian tewas dengan lukanya.
Sementara seorang perwira Belanda
lainnya, Kapten Yacobs tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Puluhan
pasukan Belanda tewas. Sisanya luka parah. Kegagalan Belanda itu berawal dari
sebuah suara terompet dalam malam buta ketika perang berkecamuk.
Isyarat suara terompet itu berisi
perintah untuk berhenti menembak. Terompet itu ditiup oleh seorang fusilier
bernama Pauwels, seorang tentara bayaran dari Belgia. Ternyata malam itu
Pauwels menyebrang ke pasukan Aceh. Ia sengaja meniup teromper itu untuk
mengelabui pasukan Belanda. Sehingga ketika Belanda berhenti menyerang pasukan
Aceh dengan leluasa menyerang Belanda.
Pasukan Belanda benar-benar
terpukul, karena sejak awal memperkirakan kalau penyerangan ke Gle Yueng mudah,
sehingga tidak membawa banyak perbekalan. Mereka hanya membawa beberapa tandu
saja, sementara korban yang tewas 28 orang, puluhan lainnya luka berat. Banyak
korba tubuhnya sudah dicincang dengan sabetan pedang.
Karena itu pula, H C Zentgraaff,
mantan pasukan Belanda yang setelah purnawirawan menjadi wartawan perang,
menyebutkan peristiwa tersebut sebagai peristiwa pemotongan mayat yang sangat
menyedihkan. “haruskah dikirim kabar ke bivak Indrapuri, agar dikirimkan
alat-alat pengangkut mayat dan korban yang luka-luka. Mereka mengirim segala
apa yang ada: daun pintu, meja-meja, papan berkelipak-kelipak, dan semua itu
ternyata belum cukup untuk mengangkut tentara yang tewas dan luka-luka,” tulis
Zentgraaff.
Yang mendapat giliran pertama
untuk diangkut adalah prajurit yang luka-luka. Mereka diangkut dengan
menggunkan adaun pintu dan papan-papan sebagai tandu. Zentgraaff menilai hal
tersebut akan memberikan penderitaan bagi para korban melebihi penderitaan
akibat luka yang dialami saat perang.
Sedangkan serdadu yang tewas,
kaki dan tanganya diikat pada kayu pikulan, kemudian digotong oleh para pekerja
paksa (bear). Para pekerja paksa itu merupakan orang-orang hukuman yang dibawa
Belanda dari Jawa ke Aceh. “Dengan mengangkut orang yang mati dan luka-luka,
pasukan masih harus melalui Krueng Meunapat. Betul-betul suatu perjalanan yang
berat,” lanjut Zentgraaff.
Barisan pasukan pengangkut mayat
dan korban luka-luka itu dinilai Zentgraaff sebagai arak-arakan yang
mengerikan. Ia menulis, “Orang-orang yang mati bergelantungan pada pada
pikulan, melengkung di tengahnya, dan kepala-kepala yang berlumuran darah
terbuai-buai di sampingnya. Beberapa diantara yang mati itu berlumuran darah
dan Lumpur, bagai binatang-binatang yang dibawa keluar dari rumah potong hewan
dan harus diangkut terseok-seok selama setengah hari.”
Peristiwa itu merupakan kekalahan
telah bagi Belanda. Sepanjang perjalanan mengangkut mayat dan korban luka-luka
ke Indrapuri tersebut, masyarakat Aceh melihat arak-arakan itu dengan nada
mengejek kekalahan tersebut. Karena itu pula, mental para serdadu Belanda
menjadi menurun.
“Peristiwa itu tidak dapat
dilupakan untuk selama-lamanya. Pemandangannya begitu menyedihkan. Mereka yang
berjiwa jantan sekali pun dan bersemangat baja berkat pertempuran-pertempuran,
kini berjalan mengiringi mayat-mayat itu diliputi rasa haru yang sangat dalam,
sehingga hilang lenyap kemampuan mengendalikan diri serta perasaannya.
Begitulah arak-arakan itu tiba di Indrapuri, dan semalam suntuk pasukan zeni
bekerja keras membuat peti-peti mati. Sebuah lobang yang besar seakan-akan
mulut raksasa kelaparan menganga menghadap ke atas, akan menelan seluruh 28
jenazah serdadu kita. Jenazah kedua orang kapten yang gugur dikirimkan ke
Peucut Kerkhof (kuburan Belanda di Banda Aceh)” lanjut Zentrgaaff.
Van Hfeutsz, komandan bala
tentara Belanda ikut hadir pada upacara penguburan tersebut. Tatkala peti mati
itu diturunkan ke dalam lobang, dia pun tak kuasa membentung perasaannya lagi,
dan menetes air mata dipipinya. Dengan susah payah ia mengeluarkan beberapa
patah kata, “Prajurit-prajurit gagah perkasa, gugur di medan kehormatan,”
katanya, setelah berhenti sejenak menahan haru, ia melanjutkan “Makam ini akan
diabadikan.”
Kuburan massa itu kemudian
disebut sebagai Kerkhof kecil di Indrapuri. Zentgraaff pernah berkunjung ke
kuburan itu, akan tetapi ia tidak menemukan apa pun, karena sudah dipenuhi
semak. Hanya tersisa beberapa batu nisan lama di kuburan perorangan, dan
beberapa keeping pagar kayu, yang menandakan bahwa di dalamnya ada mayat yang
dikuburkan.
“Ditengah-tengah pekuburan ada
sebatang pohon yang agak menyolok dari keadaan sekelilingnya, dan saya berfikir
dalam hati bahwa didalam tanah di mana pohon itu tumbuh, tersedia makan yang
lebih banyak bagi akar-akar pohon itu dari pada disekitarnya,” seperti yang
dijelas Zentgraaff dalam catatannya. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment