ASAL MULA malapetaka itu berawal dari Maklumat Loudon, pejabat tinggi Belanda yang memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh, di bawah pemerintahah Sultan Alaiddin Mahmud Syah II. Mulai pagi 26 Maret 1873 itu, Aceh memasuki babak baru kehidupannya, yakni perang dengan Belanda yang berkepanjangan.
Prang ini bukan yang pertama dihadapi. Sebelumnya, akhir abad ke-15, Aceh telah pernah bersiteru dengan Armada Portugis di Malaka. Perang dengan beberapa daerah takluknya juga pernah terjadi, seperti dengan Pahang, Aru, Johor, dan jauh sebelum itu, orang Aceh pernah mengusir armada Majapahit dari pantai Tualang Cut (Manyak Payet) di pesisir timur Aceh, hingga menewaskan Maha Patih Gajah Mada, dan berkubur di perairan Selat Malaka sekitar Pulau Kampai. Tapi prang kali ini memakan waktu cukup lama (Maret 1873 hingga Maret 1942), seperti yang ditulis Paul van Veer dalam catatan sejarahnya.
Prang Atjeh memakan korban begitu banyak, dan menguras dana dari Den Haag di Belanda tidak sedikit pula. Dan setahun setelah Makloemat Loudon itu (tahun 1874), Dalam (Keraton) berhasil diduduki. Sultan Alaiddin Mahmud Syah II mengungsi ke Pagar Ayee, dan beliau wafat di sana karena penyakit tha‘un (kolera) yang sedang mewabah begitu dahsyat kala itu. Menghindari kejaran Belanda, jenazah Sultan dilarikan agak jauh dari Koetaraja, yakni ke kawasan hutan Samahani, dan dimakamkan di sana.
Para pengawal Sultan dihadapkan pada masalah kepemimpinan baru, karena Putra Mahkota Tuwankoe Alaiddin Muhammad Daoed Syah masih di bawah umur. Dalam adat dan kebiasaan Aceh, anak dibawah umur belum boleh diangkat menjadi peminpin atau raja. Maka sang Putra Mahkota diperwalikan kepada Teuku Panglima Polem VII Mahmud Arifin, gelar Muda Kuala, Panglima Sagoe XXII Mukim berkedudukan di Lam Sie.
Sementara itu roda pemerintahan dilaksanakan oleh seorang Mangkubumi, yakni Toewankoe Hasyem Bangta Muda, turunan Sultan Iskandar Muda dari isteri Putri Ethiopia, yang di Aceh sangat dikenal dengan Gundek Lamsie. Putri Ethiopia inilah yang merupakan ibunda dari Teuku Panglima Polem pertama, alias Teuengku Batee Timoh.
Putra Mahkota Alaiddin Muhammad Dawood Syah, anak muda di bawah umur itu, Toewankoe Muhammad Daoed bin Marhum Toewankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, harus menunggu sampai aqil baliq tiba. Barulah pada tahun 1878, beliau dilantik menjadi Sultan, di Masjid Indrapuri, kawasan walayah XXII Mukim. Sebelum itu pemerintahan dikendalikan oleh Mangkubumi, bersama sejumlah pemuka dan panglima prang yang tangguh. Teuku Panglima Polem Mahmud Arifin, hulubalang Sagoe XXII Mukim adalah pendukung setia di samping teuku Imum Lueng Bata, Teungku Syech Saman di Tiro, dan lain lain.
Pasukan Belanda yang semakin agresif, menyebabkan Mangkubumi dan pengikutnya harus berpindah pidah tempat. Antara 1874 hingga 1878, Putra Mahkota selalu ikut bersama kemana mana, hingga tiba saat pelantikan menjadi Sultan.
Sultan Alaiddin Muhammad Dawoe Syah juga berpindah pindah tempat, bergerilya bersama Teungku Syik di Tiro Muhammad Saman, Teuku Panglima Polem, Panglima Nyak Makam, Teuku Imum Lueng Bata, dan sejumlah pemuka Aceh lainnya, hingga Sultan akhirnya memilih Keumala (sebuah Gampong dalam Wilayah Teuku Ben Keumala di Pidie) sebagai pusat pemerintahan.
Dari gampong yang tanpa istana mewah, Sultan memimpin perang dan mengendalikan pemerintahan Aceh, dengan segala suka dukanya. Teungku Putroe Pocut di Glumpang Payong, dan Tengku Potroe Pocut Gamba Gading menemani Sultan dengan sangat setia.
Prang Aceh terus berkecamuk. Satu satu para pemimpin Aceh gugur di tangan Marsose. Pasukan ini dibentuk pada 2 April 1890, atas inisistif Syamsarif, pria sal Minangkabau yang bekerja di Aceh. Marsose dikenal sangat ganasnya dalam menghadapi para pejuang Aceh. Pernah pula diusulkan agar pasukan Marsose diperlengkapi dengan orang orang dari Arafuru. Ambon, yang terkenal sangat buas dan suka menjadi penjagal dan tukang pancung terkenal. Akan tetapi, ide itu ditolak oleh pemerintah Belanda di Batavia.
Di pantai barat Aceh, sejumlah pemuka Aceh bergerilya melawan Belanda yang semakin ganas. Teuku Imum Muda Raja Teunom, meng-internasionalisasi-kan Prang Aceh dengan menyandera Kapal Nisero, milik Pemerintah Inggris di perairan Pasi Panga di Aceh Barat, pada tanggal 13 Oktober 1883. Penyanderaan ini telah mendorong Ingris menekan Belanda untuk mengakhiri perang di Aceh, tetapi tak digubris Belanda.
Teuku Umar memimpin prang dari markasnya di Rigaih, dan sesekali beliau berada di kawasan Aceh Rayek yang menjadi basis pemerintahan Nanta, dari Lam Padang hingga Seudu. Sementara itu, Teuku Nyak Makam memimpin perlawanan di kawasan Simpang Ulim, pantai timur Aceh, hingga ke perbatasan Langkat di Sumatra Utara.
Tapi pasukan Belanda semakin ofensif, akhirnya Sultan dan para pengikutnya memilih untuk meninggalkan Istana Keumala, dan berpindah pindah hingga ke pedalaman Gayo. Sultan pernah bertempat tinggal di Toweran, Takengon. Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud gelar Muda Sakti, sudah mengungsi pula ke kawasan utara Aceh dan menetap di kawasan tepian selatan Danau Laur Tawar, untuk beberapa lama. Belanda kehabisan akal hingga menemukan akal licik dengan menyandera perempuan isteri para pemimpin Aceh. Di antara nya yang ikut disandra adalah Teungku Ptroe, isteri Sultan yang berada di Glumpang Payong Pidie. Beliau ditangkap pasukan Letnan H Chirstofel pada 26 November 1902. Sebulan kemudian, tepatnya pada Hari Natal 25 Desember 1902, Belanda berhasil menangkap Teungku Putroe Gamba Gadeng asal Cot Murong bersama putra tunggal Sultan, Toewankoe Raja Ibrahim yang tinggal di Lam Meulo (sekarang Kota Bakti) di Pidie. Demikian pula terhadap isteri dari Teuku Panglima Polem ikut pula ditangkap, sehinga kedua pemimpin itu harus menyarungkan peudeueng prang mereka.
Belanda menggunakan amat licik dengan membinasakan para permaisuri dan isteri isteri pemuka Aceh, manakala mereka tidak mau berdamai dengan Belanda. Taktik ini membuahkan hasil, dengan turunnya Sultan untuk berdamai, pada 10 Januari 1903. Sebuah upacara penyambutan Sultan dipersiapkan dengan sangat rapi oleh Van Daalen, di Sigli. Tujuh bulam kemudian, pada 7 September tahun yang sama, Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud juga melakukan hal yang sama di Lhok Seumawe.
Namun Tgk Syik di Tiro Mahyeddin putra Syech Saman (Tgk Syik Mayed) bersama para pengikutnya tetap melakukan perlawanan gerilya di hutan hutan pedalaman Aceh. Teungku Syik Mayed didampingi dua isterinya, masing masing Cut Asiah binti Teuku Saman Indra putri Teuku Bentara Saman Indra dari Celeue Pidie, dan Pocut Mirah Gambang, putri Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dari Lam Pisang XXVI Mukim A ceh Besar. bersambung…
) Dr Hasballah Saad, Aceh Culture Institut (ACI)
Prang ini bukan yang pertama dihadapi. Sebelumnya, akhir abad ke-15, Aceh telah pernah bersiteru dengan Armada Portugis di Malaka. Perang dengan beberapa daerah takluknya juga pernah terjadi, seperti dengan Pahang, Aru, Johor, dan jauh sebelum itu, orang Aceh pernah mengusir armada Majapahit dari pantai Tualang Cut (Manyak Payet) di pesisir timur Aceh, hingga menewaskan Maha Patih Gajah Mada, dan berkubur di perairan Selat Malaka sekitar Pulau Kampai. Tapi prang kali ini memakan waktu cukup lama (Maret 1873 hingga Maret 1942), seperti yang ditulis Paul van Veer dalam catatan sejarahnya.
Prang Atjeh memakan korban begitu banyak, dan menguras dana dari Den Haag di Belanda tidak sedikit pula. Dan setahun setelah Makloemat Loudon itu (tahun 1874), Dalam (Keraton) berhasil diduduki. Sultan Alaiddin Mahmud Syah II mengungsi ke Pagar Ayee, dan beliau wafat di sana karena penyakit tha‘un (kolera) yang sedang mewabah begitu dahsyat kala itu. Menghindari kejaran Belanda, jenazah Sultan dilarikan agak jauh dari Koetaraja, yakni ke kawasan hutan Samahani, dan dimakamkan di sana.
Para pengawal Sultan dihadapkan pada masalah kepemimpinan baru, karena Putra Mahkota Tuwankoe Alaiddin Muhammad Daoed Syah masih di bawah umur. Dalam adat dan kebiasaan Aceh, anak dibawah umur belum boleh diangkat menjadi peminpin atau raja. Maka sang Putra Mahkota diperwalikan kepada Teuku Panglima Polem VII Mahmud Arifin, gelar Muda Kuala, Panglima Sagoe XXII Mukim berkedudukan di Lam Sie.
Sementara itu roda pemerintahan dilaksanakan oleh seorang Mangkubumi, yakni Toewankoe Hasyem Bangta Muda, turunan Sultan Iskandar Muda dari isteri Putri Ethiopia, yang di Aceh sangat dikenal dengan Gundek Lamsie. Putri Ethiopia inilah yang merupakan ibunda dari Teuku Panglima Polem pertama, alias Teuengku Batee Timoh.
Putra Mahkota Alaiddin Muhammad Dawood Syah, anak muda di bawah umur itu, Toewankoe Muhammad Daoed bin Marhum Toewankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, harus menunggu sampai aqil baliq tiba. Barulah pada tahun 1878, beliau dilantik menjadi Sultan, di Masjid Indrapuri, kawasan walayah XXII Mukim. Sebelum itu pemerintahan dikendalikan oleh Mangkubumi, bersama sejumlah pemuka dan panglima prang yang tangguh. Teuku Panglima Polem Mahmud Arifin, hulubalang Sagoe XXII Mukim adalah pendukung setia di samping teuku Imum Lueng Bata, Teungku Syech Saman di Tiro, dan lain lain.
Pasukan Belanda yang semakin agresif, menyebabkan Mangkubumi dan pengikutnya harus berpindah pidah tempat. Antara 1874 hingga 1878, Putra Mahkota selalu ikut bersama kemana mana, hingga tiba saat pelantikan menjadi Sultan.
Sultan Alaiddin Muhammad Dawoe Syah juga berpindah pindah tempat, bergerilya bersama Teungku Syik di Tiro Muhammad Saman, Teuku Panglima Polem, Panglima Nyak Makam, Teuku Imum Lueng Bata, dan sejumlah pemuka Aceh lainnya, hingga Sultan akhirnya memilih Keumala (sebuah Gampong dalam Wilayah Teuku Ben Keumala di Pidie) sebagai pusat pemerintahan.
Dari gampong yang tanpa istana mewah, Sultan memimpin perang dan mengendalikan pemerintahan Aceh, dengan segala suka dukanya. Teungku Putroe Pocut di Glumpang Payong, dan Tengku Potroe Pocut Gamba Gading menemani Sultan dengan sangat setia.
Prang Aceh terus berkecamuk. Satu satu para pemimpin Aceh gugur di tangan Marsose. Pasukan ini dibentuk pada 2 April 1890, atas inisistif Syamsarif, pria sal Minangkabau yang bekerja di Aceh. Marsose dikenal sangat ganasnya dalam menghadapi para pejuang Aceh. Pernah pula diusulkan agar pasukan Marsose diperlengkapi dengan orang orang dari Arafuru. Ambon, yang terkenal sangat buas dan suka menjadi penjagal dan tukang pancung terkenal. Akan tetapi, ide itu ditolak oleh pemerintah Belanda di Batavia.
Di pantai barat Aceh, sejumlah pemuka Aceh bergerilya melawan Belanda yang semakin ganas. Teuku Imum Muda Raja Teunom, meng-internasionalisasi-kan Prang Aceh dengan menyandera Kapal Nisero, milik Pemerintah Inggris di perairan Pasi Panga di Aceh Barat, pada tanggal 13 Oktober 1883. Penyanderaan ini telah mendorong Ingris menekan Belanda untuk mengakhiri perang di Aceh, tetapi tak digubris Belanda.
Teuku Umar memimpin prang dari markasnya di Rigaih, dan sesekali beliau berada di kawasan Aceh Rayek yang menjadi basis pemerintahan Nanta, dari Lam Padang hingga Seudu. Sementara itu, Teuku Nyak Makam memimpin perlawanan di kawasan Simpang Ulim, pantai timur Aceh, hingga ke perbatasan Langkat di Sumatra Utara.
Tapi pasukan Belanda semakin ofensif, akhirnya Sultan dan para pengikutnya memilih untuk meninggalkan Istana Keumala, dan berpindah pindah hingga ke pedalaman Gayo. Sultan pernah bertempat tinggal di Toweran, Takengon. Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud gelar Muda Sakti, sudah mengungsi pula ke kawasan utara Aceh dan menetap di kawasan tepian selatan Danau Laur Tawar, untuk beberapa lama. Belanda kehabisan akal hingga menemukan akal licik dengan menyandera perempuan isteri para pemimpin Aceh. Di antara nya yang ikut disandra adalah Teungku Ptroe, isteri Sultan yang berada di Glumpang Payong Pidie. Beliau ditangkap pasukan Letnan H Chirstofel pada 26 November 1902. Sebulan kemudian, tepatnya pada Hari Natal 25 Desember 1902, Belanda berhasil menangkap Teungku Putroe Gamba Gadeng asal Cot Murong bersama putra tunggal Sultan, Toewankoe Raja Ibrahim yang tinggal di Lam Meulo (sekarang Kota Bakti) di Pidie. Demikian pula terhadap isteri dari Teuku Panglima Polem ikut pula ditangkap, sehinga kedua pemimpin itu harus menyarungkan peudeueng prang mereka.
Belanda menggunakan amat licik dengan membinasakan para permaisuri dan isteri isteri pemuka Aceh, manakala mereka tidak mau berdamai dengan Belanda. Taktik ini membuahkan hasil, dengan turunnya Sultan untuk berdamai, pada 10 Januari 1903. Sebuah upacara penyambutan Sultan dipersiapkan dengan sangat rapi oleh Van Daalen, di Sigli. Tujuh bulam kemudian, pada 7 September tahun yang sama, Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud juga melakukan hal yang sama di Lhok Seumawe.
Namun Tgk Syik di Tiro Mahyeddin putra Syech Saman (Tgk Syik Mayed) bersama para pengikutnya tetap melakukan perlawanan gerilya di hutan hutan pedalaman Aceh. Teungku Syik Mayed didampingi dua isterinya, masing masing Cut Asiah binti Teuku Saman Indra putri Teuku Bentara Saman Indra dari Celeue Pidie, dan Pocut Mirah Gambang, putri Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dari Lam Pisang XXVI Mukim A ceh Besar. bersambung…
) Dr Hasballah Saad, Aceh Culture Institut (ACI)
0 komentar:
Post a Comment