Keturunan atau sukee dalam bahasa
Aceh dikenal sejak zaman Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah yang diperkirakan pada
tahun 1537 Masehi. Sultan Ala’uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain,
yakni Sultan Alauddin al-Qahhar, Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat
menjadi sultan.
Terdapat empat kaum atau dalam
bahasa Aceh disebut kawom, untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering
mengingatnya dengan lantunan baik itu melalui syair dan sajak yakni sebagai
berikut: Sukee Lhee Reutoh ban aneuk drang; Sukee Ja Sandang jra haleuba; Sukee
Ja Batee na bacut-bacut; Sukee Imum Peuet nyang gok-gok donya;
Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga
Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin
memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur.
Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleuba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini
digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar
sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut,
yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya
berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”
Syair yang sering dikenal dalam
masyarakat tersebut, kini juga populer dinyanyikan oleh seniman asal Aceh,
Rafly dalam albumnya Surga Firdaus dengan judul Sukee 300. Jadi, secara tidak
langsung banyak juga orang Aceh yang lupa dengan keberadaan kawom dan suku yang
berada di Aceh. Sehingga tidak mengherankan, jika sekarang orang akan
bertanya-tanya dengan sukee, bahasa apa itu serta apa maksudnya.
Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau
“Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara
golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu
sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata
antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah
kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari
persengketaan yang berlangsung.
Mereka yang bersalah akhirnya
menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak
kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin
kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh
dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang
dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi
dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.
Ja Sandang atau Tok Sandang. ja
atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee
(dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal
nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa
sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini
masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang
sekarang disebut Teuku Sandang.
Selain ada cerita turun temurun
di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut
sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar
berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah
dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira
(ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya
dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.
Sultan pun berterima kasih dan
mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk
memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang
diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa
dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi
petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta
memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja
Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan
gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.
Ja Batee atau Tok Batee, menurut
cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu,
maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini
bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana.
Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan
memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok
batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.
Sedangkan kawom terakhir yang
dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati
empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang
didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam
sehingga menjadi Imum Peueut.
Memang jika dilihat lebih
telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee
(Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama
sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah
dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.
Selain itu juga ada Imum yang
menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang
membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.
Begitulah sederatan kisah Sukee
atau keturunan dalam masyarakat Aceh, yang sampai saat ini cukup banyak
mengalami kehilangan identitas diri dalam masyarakat Aceh sendiri, hadirnya
sukee dalam masyarakat Aceh terjadi sama sekali tidak membuat perbedaan yang
sangat berarti, melainkan sebagai media penyatu umat yang dinilai oleh bangsa
luar sebagai bentuk susunan kesempurnaan keturunan yang lengkap sekali. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment