Gayo adalah nama suku asli yang
mendiami daerah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai Petani Kopi.
Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi
Gayo. Produksi Kopi Arabika yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang
terbesar di Asia.
Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan
salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan
Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten
Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl
tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luasan
sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah
dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.
Kopi yang saat ini sudah dikenal
luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat
besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut
sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab
dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi”
berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh
negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe
(Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea
(Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang
daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan
habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.
Linnaeus seorang botanikus dalam
sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi
terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang
kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi
Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia
menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia
lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam
kaitannya dengan Arabia.
Pendapat lain dari Lankester
(1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia.
Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada
kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari
suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana
dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar
yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Berdasarkan berbagai pendapat di
atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai
daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan
Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica,
ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Adapun penyebaran tumbuhan kopi
ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang
mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika
itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur
Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih
dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai
juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial
Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian
pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra
tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis
berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak,
Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa
lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana.
Kopi Gayo dalam kajian sejarah
Kehadiran
kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan
hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh
Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya.
Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan
membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian
1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi
tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang
kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena
masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran
tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana.
Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in
Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur)
dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua
tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada
akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama
seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di
tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi
Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan
membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang
diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun
1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele
itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng
(Melalatoa, 2003:51).
Salah satu bukti kepurbakalaan
yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik
pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak,
Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040
36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut
menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan
Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa
sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan
beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.
Tempat kincir air ditandai dengan
3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan
atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai
tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut
dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang
sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan
terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga
terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan
setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat
lubang saluran air di bagian utara. Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut
pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik
tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT
Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah
Daerah Kab. Aceh Tengah.
Pada paruh kedua tahun 1950-an
setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan
keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada
periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972
Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan
dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun
kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.
Perkebunan kopi bagi warga
Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh
Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain
perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai
komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka
pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7
kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan
menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga
kehilangan lapangan kerja.
Setelah konflik mereda dan
ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani
kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di
lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi
pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat
karena jalur perdagangan antara Takengon - Bireun - Lhoksemauwe - Medan dapat
dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar. Kini, aktivitas perkebunan kopi
mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment