Pinto Aceh diciptakan pada tahun 1935, Perhiasan yang satu ini akhirnya menjadi populer di seluruh Nusantara dan Malaysia, Sampai zaman sekarang ini setiap orang luar Aceh yang berkunjung ke negeri ini hampir dapat dipastikan akan membawa pulang salah satu perhiasan yang bermotif Pinto Aceh.
Perhiasan ini diberi nama Pinto Aceh (Pintu Aceh) terdapat diantara lebih 250 jenis perhiasan tradisional Aceh, namun kehadirannya dalam kelompok perhiasan tradisional sampai tahun 1998 lebih kurang baru 63 tahun jika dibandingkan dengan jenis lainnya sepanjang 2 abad.
Pinto
Aceh diciptakan pada tahun 1935, ternyata cepat populer dan telah
menarik banyak wanita penggemar perhiasan tradisional, balk wanita Aceh
maupun orang-orang di luar Aceh. Sampai zaman sekarang ini setiap orang
luar Aceh yang berkunjung ke negeri ini hampir dapat dipastikan akan
membawa pulang salah satu perhiasan yang bermotif Pinto Aceh.
Perhiasan
yang satu ini akhirnya menjadi populer di seluruh Nusantara dan
Malaysia, bahkan tercatat juga pelancong Barat punya minat untuk
perhiasan yang satu ini yang lebih dari 60 tahun terus diproduksi.
Sementara ada beberapa perhiasan tradisional Aceh memang tidak mampu
lagi dibuat pada masa sekarang ini karena kemahiran membuatnya tidak
bergenerasi penerus. Sehingga jenis-jenis perhiasan yang tak mampu
dibuat sekarang ini menjadi sangat langka dan hanya bisa dilihat di
museum ataupun pada kolektor-kolektor ataupun berada secara turun
temurun pada orang-orang tertentu yang menyimpannya sebagai pusaka
Walau
keberadaan Pinto Aceh dalam kelompok perhiasan tradisional sejarahnya
masih muda (60 tahun). namun benda-benda perhiasan bermotif Pinto Aceh
telah mendapat kedudukan yang pantas dalam kelompok perhiasan
tradisional Aceh yang telah berusia ratusan tahun.
Mulanya
motif Pinto Aceh hanya terdapat pada jenis bros untuk perhiarsan dada
si pemakai. Namun ternyata motif Pinto Aceh telah berkembang ke beberapa
jenis perhiasan lainnya seperti tusuk sanggul, gelang, subang, cincin
ataupun untuk peniti kebaya. Bahkan motif ini juga mendapat jatah untuk
perhiasan kaum pria karena diciptakan juga jepitan emas untuk dasi yang
bermotif Pinto Aceh.
Setifikat Para Pengrajin Pinto Aceh 1926
[Gambar di atas adalah Sertifikat yang diperoleh perajin perhiasan yang menciptakan motif “pinto Aceh”, Mahmoed Ibrahim desa Blang Oi. Diberikan oleh Panitia Pasar Malam, Koetaradja tahun 1926.]
Perhiasan
yang bermotif Pinto Areh diambil desainnya dari sebuah monumen
peninggalan Sultan Iskandar muda yang bernama Pinto Khop. Monumen
tersebut yang sekarang di sekitarnya dijadikan taman rekreasi, terletak
di tepi sungai (krueng) Daroy, konon dulunya sebagai pintu belakang
istana Keraton Aceh khusus untuk keluar masuknya permaisuri Sultan
Iskandarmuda beserta dayang-dayangnya kalau sang permaisuri menuju ke
tepian sungai untuk mandi. Sekarang ini taman tersebut diberi nama
Tanian Putroe Phang (Taman Putri Pahang), nama sang permaisuri. Dari
desain gerbang kecil Pintu Khob itulah diambil motif untuk perhiasan
yang bernama Pinto Aceh ini.
Munculnya perhiasan motif PintoAceh ini ketika tahun 1926 pemerintah Belanda di Kutaraja (Banda Aceh) menyelenggarakan Satteling (Pasar Malam) yang terbesar, digelarkan di Esplanade (Lapangan Blang Padang). Pada Pasar Malam tersebut diberi kesempatan kepada para perajin emas dan perak untuk membuka stand, untuk memperlihatkan dan memamerkan kebolehan serta karya-karya keterampilan tangan mereka.
Munculnya perhiasan motif PintoAceh ini ketika tahun 1926 pemerintah Belanda di Kutaraja (Banda Aceh) menyelenggarakan Satteling (Pasar Malam) yang terbesar, digelarkan di Esplanade (Lapangan Blang Padang). Pada Pasar Malam tersebut diberi kesempatan kepada para perajin emas dan perak untuk membuka stand, untuk memperlihatkan dan memamerkan kebolehan serta karya-karya keterampilan tangan mereka.
Sesudah
usai Pasar Malam, salah seorang perajin mendapat sertifikat. Namanya
Mahmud Ibrahim penduduk Blang Oi. Karena Mahmud dikenal sebagai pandai
emas dan perak maka dia diberi gelar oieh masyarakat sebagai Utoh dan
sehari-harinva Mahmud Ibrahim dipanggil dengan Utoh Mud.
Ternyata
Utoh Mud ketika masa-masa itu dikenal juga oleh para petinggi,
orang-orang penting. Belanda serta keluarga mereka karena sering memesan
atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh di pusat usaha
perajinnya di sebuah bangunan yang sekarang ini bernama Jalan Bakongan
dan bangunan itu sekarang pun telah dibongkar.
Utoh
Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi atas keterarnpilannya itu
pada tahun 1935 menguji kreatifitasnya selaku utoh terkenal dengan
menciptakan perhiasan baru Pinto Aceh yang motifnya diambil dari
bangunan Pinto Khob, gerbang kecil tempat permaisuri Sultan Iskandarmuda
keluar masuk ke tepian mandi, di abad-abad lampau.
Ketika
itu Utoh Mud membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan dada
wanita yaitu bros. Sebelumnya jenis bros memang telah ada dalam jajaran
perhiasan tradisional Aceh, namun dengan mengambil motif lain. Bros
Pinto Aceh dengan meniru pintu gerbang yang bernama Pinto Khob tersebut
berbentuk ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang
ditambah lagi sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua
sisi.
Sampai
sekarang ini bahan baku perhiasan Pinto Aceh adalah emas berkadar 18
sampai 22 karat. Kalau dibuat dengan bahan emas murni (emas kertas)
perhiasan ini mudah berlipat-lipat, baik ketika membuatnya ataupun
ketika memakainya karena tidak bercampur dengan jenis logam lain.
Ternyata
tidak sembarang perajin mampu melanjutkan pembuatan perhiasan Pinto
Aceh. Setelah Utoh Mud meninggal dunia dalam usia 80 tahun, keterampilan
khusus pembuatan perhiasan Pinto Aceh dilanjutkan oleh muridnya yang
bernama M. Nur (Cut Nu) yang juga penduduk Blang Oi. Sampal akhir
hayatnya tahun 1985 dalam usia 80 tahun. Cut Nu bekerja di toko mas
milik H. Keuchik Leumiek yang membina kelanjutan seni membuat Pinto
Aceh.
Setelah Cut Nu meninggal dunia, keterampilan ini dilanjutkan oleh seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.
Keterampilan
pembuatan perhiasan motif Pinto Aceh yang semakin populer ini, yang
paling berorientasi ke arah itu adalah seperti yang kita singgung di
atas yaitu Haji Keuchik Leumiek penduduk Lamseupeueng Banda Aceh,
pernilik toko mas yang dikenal sampai ke luar Aceh semenjak tahun-tahun
1950-an, berlokasi di Jalan Perdagangan Banda Aceh (sekarang Jalan Tgk.
Chik Pante Kulu) dan sampai kepada anaknya yang melanjutkan pembinaan
ini.
Karyawan dan murid Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) berfoto di depan usaha perajin emas miliknya yang diberi merek “M. Ibrahim & Co” sekitar tahun 1930-an. Usaha ini terletak di Jl. Bakongan (sekarang Jl. T. Cut Ali) kawasan Kampung Baru Banda Aceh.
Tidak sembarang orang seperti disinggung tadi yang mampu membuat perhiasan motif Pinto Aceh. Perhiasan yang satu ini lebih banyak menuntut kesabaran, ketekunan agar memperoleh kualitas yang standar.
Pada
motif Pinto Aceh yang memiliki banyak rumbai-rumbai benang emas yang
perlu dijalin dengan tangan. Ini adalah kerja yang paling rumit. Untuk
mengambil jalan pintas ada tukang yang berbuat gegabah asal jadi. Kalau
dilihat sepintas hasil buatan yang telaten dan asal jadi memang semirip.
Kalau diteliti secara seksama maka dapat dilihat mana Pinto Aceh yang
berkualitas baik dan mana yang dibuat Secara kurang cermat.
Pada
toko-toko emas tertentu kita akan diberi penjelasan dan seandainya kita
terlanjur membeli Pinto Aceh yang bermutu rendah, sudah tentu harganya
akan jatuh kalau dijual kembali.
Pada
toko-toko penjual perhiasan tertentu di Banda Aceh. sudah tentu kita
akan mendapatkan Pinto Aceh yang diolah oleh jemari para perajin yang
tekun dan sabar.
Motif
Pintu Aceh akhirnya berkembang pesat, sampai pada masa sekarang ini
cukup mampu diproduksi oleh para perajin. Pertama kemunculan motif ini
sekitar tahun 1930-an hanya berfungsi sebagai pelengkap rantai perhiasan
di leher yang digantungkan sebagai liontin (mainan).
Namun
sekarang ini setelah melalui masa 60 tahun, Pintu Aceh dikembangkan di
samping sebagai liontin perhiasan rantai leher, juga diciptakan untuk :
- Cincin (Euncin Pinto Aceh). Benda motif Pintu Aceh ini ditempelkan pada sebuah ring (lingkaran cincin) sebagai perhiasan jari manis.
- Subang, yang disebut Subang Pinto Aceh. Hanya kelebihannya dengan yang lain adalah, pada ujungnya diberi rumbai-rumbai tambahan agar lebih gemerlap jika ditempatkan pada telinga.
- Gelang disusun setidaknya 5 buah Pinto Aceh ukuran mini. Kelima motif ini dihubungkan dengan jalinan rantai yang pertemuan di kedua ujungnya kalau sudah dipakai pada tangan pada pengikat yang diberi kunci (sekrup) dan dipertemuan kedua ujungnya dikaitkan rantai kecil dengan sebuah lempengan berbentuk hati.
[H. Harun Keuchik Leumik, Perhiasan Tradisional Aceh, artcraftindonesia]
[AtjehCyber]
0 komentar:
Post a Comment