Cut Meutia lahir di Perlak, Aceh,
pada tahun 1870. Masa remajanya dilalui dalam suasana perang antara Aceh dan
Belanda. Karena Belanda tiba di negeri Serambi Mekkah tersebut ketika Cut
Meutia sudah berusia 3 tahun (1873). Hal tersebut mengakibatkan jiwanya
tergoncang akan pertikaian tersebut. Bersama suaminya yaitu Teuku Cik Tunong,
mereka membentuk dan melakukan penyerangan-penyerangan ke patroli Belanda pada
pedalaman Aceh. Hal itu terjadi pada bulan Mei 1905, yang mengakibatkan Cik
Tunong tertangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman tembak di tempat.
Menghadapi kematian suaminya, Cut
Meutia semakin garang dalam melawan pasukan Belanda. Begitu juga dengan
pasukannya yang pantang menyerah. Mereka semua bahu-membahu menguatkan barisan
dan menyusun serangan-serangan yang mampu membuat Belanda gentar. Setelah
suaminya meninggal dunia, Cut Meutia memimpin barisan perang. Agar tidak
diketahui oleh pasukan Belanda, Cut Meutia kerap berpindah-pindah tempat untuk
melakukan penyerangan secara mendadak. Mengenai statusnya, Cut Meutia tidak
berlama-lama menjanda. Beliau kemudian menikah kembali dengan Pang Nangru, yang
tak lain adalah kawan akrab dari Cik Tunong. Keduanya semakin bersemangat dalam
memimpin pasukannya menghadapi pasukan Belanda dan mampu mengacaukannya.
Pameo yang mengatakan wanita
sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu
dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang
terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya.
Wanita kelahiran Perlak, Aceh,
tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik
darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.
Sebelum Cut Nyak Meutia lahir,
pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah
tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan
penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum
perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana
perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat
memengaruhi perjalanan hidupnya.
Ketika sudah beranjak dewasa, dia
menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama
Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan
seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku
Muhammad, pria yang sangat dicintainya.
Perang terhadap pendudukan
Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama
suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang
berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari
pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda yang mempunyai
persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin
pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan
mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga
pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Sudah banyak kerugian
pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan
perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia
sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut
Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.
Bersama suaminya, tanpa kenal
takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong,
suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil
ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
Berselang beberapa lama setelah
kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang
ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang
Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong.
Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan
melawan pendudukan Belanda.
Di lain pihak, pengepungan
pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis
pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan
mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai.
Di samping itu, mereka pun
terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati
pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada
bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda.
Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri.
Kematian Pang Nangru membuat
beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia
walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba
Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih
berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.
Tapi pengejaran pasukan Belanda
yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat
persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada
tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.
Walaupun pasukan Belanda
bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah
rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara
Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah
peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.
Pada tanggal 26 September 1910
meletuslah pertempuran di daerah Paya Cicem yang mengakibatkan tewasnya Pang
Nangru. Tetapi Cut Meutia dapat meloloskan diri. Setelah kejadian itu beliau
lalu diserahi wewenang untuk memimpin pasukan yang hanya mempunyai kekuatan 45 orang
dengan 13 pucuk senjata. Bersama anaknya Raja Sabil yang masih berumur sebelas
tahun, Cut Meutia melanjutkan perjuangannya. Strategi pasukan mereka adalah
dengan melakukan perpindahan tempat penyerangan. Karena penderitaan yang
diterima olehnya, maka beberapa pihak keluarga membujuk Cut Meutia untuk segera
turun gunung dan menyerah kepada Belanda. Tetapi beliau tetap 5aja menolaknya.
Sikap pantang menyerah tidak
hanya terjadi pada Cut Meutia dan pasukannya, tapi juga dari pihak lawan yaitu
Belanda. Berbagai cara dilakukan hanya untuk mengetahui keberadaan dari Cut
Meutia. Sampai akhirnya tempat persembunyiannya dapat juga diketahui Belanda.
Tanpa menunggu waktu yang lama peperangan dahsyat pun terjadi di Alue Kurieng
pada tanggal 24 Oktober 1910. Cut Meutia mengadakan perlawanan. Pertempuran pun
tak terelakkan, sampai akhirnya Cut Meutia tertembak kakinya dan tersungkur di
tanah. Belanda menyuruh beliau untuk menyerah, tetapi tidak dihiraukannya. Cut
Meutia bangkit dan dengan menghunuskan senjata beliau menyerang musuh. Ketika
hendak menyerang kembali, beliau tertembak untuk kedua kalinya sehingga
menembus tubuhnya sampai tewas pada saat itu juga. Pemerintah RI memberikan
kepadanya tanda jasa atas perjuangan yang dilakukannya dengan mengangkat
sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 2 Mei 1964 sesuai dengan
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 107/Tahun 1964.
Cut Nyak Meutia gugur sebagai
pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK
Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment