Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 –
6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa [Perang Aceh]. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim
Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak
Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang
melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak,
tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut
Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan
meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang
bernama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku
Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua
dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama
Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.Ia akhirnya ditangkap dan dibawa
ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia
menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang
Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal
pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan awal
Latar belakang keluarga
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari
keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun
1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga
merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati
mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh
Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan
keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Masa kecil
Pada masa kecilnya, Cut Nyak
Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang
dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani
suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang
tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau
melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan
dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut,
Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Pernikahan dengan Teuku Cek
Ibrahim Lamnga
Banyak laki-laki yang suka pada
Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan
oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari
Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar.
Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang pemuda
yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan
dari Dayah Bitay. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pernikahan mereka dilangsungkan
secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk
membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang dibawakan mengandung
ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak
Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah
tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku Nanta.
Perlawanan saat Perang Aceh
Belanda menyerang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873,
Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Perang Aceh meletus.
Perang Aceh 1 (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198
prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen
dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman
dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat
ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita
begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?
Kesultanan Aceh dapat memenangkan
perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak
kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pendudukan VI Mukim
Pada tahun 1874-1880, dibawah
pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada
tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan
bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal
24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah
VI Mukim.
Kematian Ibrahim Lamnga
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur
di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak
Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Selama berkecamuknya peperangan,
Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lampadang untuk berjuang.
Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah. Bersama Teuku Imum
Leungbata maju keperbatasan VI mukim dan berusahan menaklukkan Meuraksa.
Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya di luar Keraton dan
Mesjid Raya.
Pasukan Belanda bergerak terus
menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim, berbulan-bulan Teuku
Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan
kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lampadang dan
mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan bekal yang cukup untuk
melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29 desember 1875, rombongan Cut
Nyak Dhien meninggalkan Lampadang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku
Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat
serangan Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim
berhasil dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran
di Lembah Beurandeun Gle Tarum, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku
Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid.
Pernikahan dengan Teuku Umar
Kekecewaan dan kesedihan sebagai
akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya
menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia
kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap
kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang
laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada
Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang
kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh,
melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena
Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak
Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880.
Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda
(Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang
bernama Cut Gambang.
Bersatunya dua kesatria ini
mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah
kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan antara Teuku
Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga
mendengar pernikahan mereka , adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan
seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.
Bukti dari ampuhnya persatuan
kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari
tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung halamannya, pada
saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut Rayut diangkat
menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya pengangkatan itu
hanya sekedar kamuflase saja.
Dengan diangkatnya Cut Rayut
menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam
perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya di Lampisang.
Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang
mengorbankan semangat jihad fisabilillah.
Rencana Teuku Umar
Taktik Teuku Umar didalam
peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan juga Cut Nyak
Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Aceh Loging
Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh
Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap
awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku
Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda.
Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai
setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan
sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Perang dilanjutkan secara gerilya
dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan
gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin
kuat. Pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap
kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta
istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena Hansen meniggal, maka istrinya dan
Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar,
tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan tebusan
25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat Aceh. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang
pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang
Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:
Mereka menyadari mereka telah melakukan hal
yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan
menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh
Teuku Umar bersedia untuk
mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap kepada pasukannya
untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar diberikan tanggung jawab
panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang
dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya disesuaikan denga bentuk rumah
pejabat Belanda dan dihiasi taman serta diberikan fasilitas yang memadai. Teuku
umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang
masih dikuasai oleh pejuang Aceh
Belanda sangat senang karena
musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar
gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda
dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh
sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut
Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali
melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar
mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti
sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang
merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut
cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim
bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Namun ternyata perjuangan itu
hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien dan pada tanggal 29 maret
1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan masyarakat Aceh dan
membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil curian dari Belanda.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.
Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Mengetahui pengkhianatan
yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang,
gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar.
Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Reaksi Belanda
Teuku Umar yang menghianati
Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk
menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi
perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan
gerilyawan. Mereka mulai menyerang Belanda sementara jendral Van Swieten
diganti. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan untuk pertama kalinya. Selain itu, Belanda mencabut gelar
Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Pembantaian Jendral Van Der
Heyden
Dien dan Umar menekan Belanda dan
menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan
Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Pasukan gerilyawan kuat
yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan
bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan
tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan
terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der
Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh
orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De
Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada
di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang. Akibat dari hal ini, pasukan
Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit
"De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya
karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka,
dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Kematian Teuku Umar
Jendral Van Heutz memanfaatkan
ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak
sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang
bernama Teuku Leubeh. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar
kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien
berkata:
Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh
menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed"
Bertempur bersama pasukan kecil
Dalam perjuangannya, Cut Nyak
Dhien dibantu oleh para uleebalang, datuk-datuk, serta penyair-penyair yang
senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh. Ribuan tentara Belanda
tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak Dhien. Tokoh tokoh yang
membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali Baet menantunya
yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku Raja Nanta,
adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karenan kejaran
Belanda, dan akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh. Pada saat itu pula terjadi
perlawanan oleh Sultan Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang berjuang di
daerah Pidie. Dalam perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak Dhien selalu
menjaga siang malam dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk
menghindari penggerebekan yang dilakukan Belanda yang tidak lain adalah imbas
dari pelaporan para pengkhianat yang memberitahukan dimana posisi rombongan Cut
Nyak Dhien.
Akibat kematian suaminya, Cut
Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita
karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain
itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena
penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah
satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak
Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan
medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Ditangkap Belanda
Ada 2 Kapten Belanda yang
menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz dan Van Dalen. Selama
Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita korban
sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan
perjalanan panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade
marsose. Tujuannya adalah untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif
di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh tenggara).
Karena pengejaran habis-habisan
tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien tedesak, baik dari segi material
senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang semakin kendur,
serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut
Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan
perpindahan dari satu gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot,
salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien
untuk menghentikan perlawanan dan menjaga kesehatannya dalam perawatan Belanda,
namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan kemarahan sambil mengeluarkan
perkataan: “lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah kepada kafir
Kompeni”.
Namun, dengan berat hati, Pang
Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan memberitahukan kepada Belanda
di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan kepada Jendral Van Nuuren
bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan tidak akan
dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh
jendral Van Veltman Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van
Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah
Pameue. Terjadi perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu
yang sangat minim membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang
kalah, dan sang Panglimai pun syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut Nyak Dhien dikejar sampai ke
daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh berhasil melarikan diri dengan
jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 7
november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh
pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita
itu membuat jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk
bergerak. Akhirnya pencarian pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut
Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil melarikan diri dengan lukak di dadanya.
Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu menahan emosinya kepada Pang
Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik kepada Pang Laot, maupun
kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang
bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan
bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang
terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Akibat Cut Nyak Dhien
memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba
untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat
Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil melarikan
diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan
ibunya.
Masa tua
Setelah ia ditangkap, ia dibawa
ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur
sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan,
selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya
Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak
Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh Belanda, diberika fasilitas
dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah hilang
kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para
masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas
dan mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari
rakyat Aceh.
Dibuang di Sumedang
Ia dibawa ke Sumedang bersama
dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja,
selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak
Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Sampai
kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka
sebut "Ibu Perbu" (Ratu). Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang
segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya
merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu. Ia mengajar Al-Quran di
Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Saat Sumedang sudah
beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang pada tahun 1960-an, dari
keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut
merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23
(Kolonial Verslag 1907 : 12).
Kematian
Setelah ia dipindah ke Sumedang,
pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960,
orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu",
telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda
pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu
Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang,
Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke
Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu
Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut
Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh,
Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.
Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara
tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua
kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering
menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran,
selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali
dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu
masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan,
Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut
Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500
m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat
banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari
Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga
H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien,
tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar
serta hikayat cerita Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka melakukan
perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi
jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi
akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut
Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.
Kini, makam ini mendapat biaya
perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak
memberikan dana. [Sumber]
0 komentar:
Post a Comment