IBNOE HADJARE | Foto : AHMAD ARISKA | atjehpost
Berada tak jauh dari Ibu Kota Provinsi Aceh, Pulo Aceh seperti terlupakan. Wartawan The Atjeh Times, Ibnoe Hadjare, menuliskan pengalamannya menjelajahi pulau yang hanya dua jam perjalanan dari Banda Aceh ini.
SEBUAH pagi yang redup di hamparan pasir putih pada bekas Pelabuhan
Williams Torren. Diapit sebentang gunung rimbun di sisi kiri dan bukit
batu cadas hitam di sisi kanan, saya berdiri dengan latar belakang
belantara hutan Ujong Peuneung.
Menatap lurus ke depan, ada hamparan laut biru bergelombang. Bongkahan
fondasi pelabuhan sebagian masih menjulang, sebagian lagi hancur
terbenam di dasar laut. Nun di sana, Pulau Sabang seperti
timbul-tenggelam diremuk gelombang. Kecuali deru angin dan debur ombak,
tak ada keriuhan apa-apa saat itu.
Langit masih redup saat sepuluh orang teman saya berpencar menjadi dua
kelompok. Enam orang menyelam sambil memancing. Empat lainnya mencari
kayu bakar dan mulai menyalakan api.
Saya sendiri menantang laut dengan memegang sebuah panci berisikan
beras, lalu berjalan hingga air sebatas dada. Di sana air laut tidak
lagi bercampur pasir, seperti yang terlihat di pinggir pantai.
Di hutan belantara yang dikelilingi laut seperti ini, air tawar menjadi
sangat berharga. Sebuah sumur tua peninggalan Belanda terdapat sekitar
30 meter dari pantai. Seekor monyet malang mengapung tewas di dalamnya.
Karena itu, mencuci beras dengan air asin, lalu membilasnya dengan air
tawar adalah pilihan tepat untuk menghemat persediaan air yang dibawa.
Ini adalah petualangan selama 36 jam di akhir Oktober 2012. Dua kali
sebelumnya saya pernah menjejakkan kaki di pulau yang sama. “Tak cukup
kata menulis keindahan Pulo Aceh,” ujar Ariska, teman seperjalanan.
Dia tercatat sudah enam kali menyusuri pulau yang termasuk kategori pulau terluar, tertinggal, dan terpencil di Indonesia.
Siang itu kami menikmati makan siang di tepi hutan yang hanya ada
kehidupan manusia pada kisaran 137 tahun silam. Ketika itu, Belanda
menjajah Indonesia. Merekalah yang menghuni hutan Ujoeng Peuneung. Di
sini mereka dirikan sebuah pelabuhan, tetapi tsunami 2004 telah
menghancurleburkan dermaga itu.
Tak begitu jauh dari pelabuhan juga menjulang sebuah mercusuar
berketinggian 85 meter dengan lokasi persis di atas sebuah gunung.
Pelabuhan dan mercusuar sama-sama dinamakan Williams Torren.
Konon, kedua bangunan yang dibangun pada 1875 itu merupakan hadiah
pernikahan raja William III atau William Alexander Paul Frederick
Lodewijk. Ia seorang penguasa Belanda yang kala itu memiliki andil besar
melakukan pembangunan demi kepentingan kolonialisme Belanda di Asia.
Salah satunya pembangunan pelabuhan Sabang. Mercusuar serta Pelabuhan
Williams Torren juga dibangun sebagai penunjang operasional pelabuhan
Sabang yang merupakan jalur lintas terpadat Asia Tenggara kala itu. Di
dunia hanya ada tiga mercusuar Williams Torren, yaitu di Kepulauan
Karibia, Holland, dan Aceh.
Kini mercusuar dikelola oleh Departemen Perhubungan Laut Distrik
Navigasi Sabang. Lima petugas ditempatkan di hutan belantara itu untuk
memastikan lampu mercusuar tetap menyala.
“Kami akan diganti per dua bulan sekali,” kata Tony Suharto. Ia
komandan dari empat anak buahnya. Mereka tunduk ke Kantor Perhubungan
yang berlokasi di Sabang.
Pulo Aceh sendiri adalah sebuah nama kecamatan yang secara
administratif termasuk wilayah Kabupaten Aceh Besar. Ia adalah nama
kecamatan dari gabungan sebelas pulau yang terletak di kawasan itu,
yaitu Pulo Breuh, Pulo Nasi, Pulo Teunom atau Keureusek, Pulo Jroeng,
Pulo Teungkurak, Pulo Bunta, Pulo Tuan Diapit, Pulo U, Pulo Sidom, Pulo
Geupon, dan Pulo Lhee Blah.
Hanya Pulo Breuh dan Pulo Nasi yang berpenghuni. Selebihnya adalah
gugusan pulau sepi tak bertuan. Di Pulo Breuh ada 12 desa, 8 desa berada
di selatan dan 4 desa di utara, sedangkan Pulo Nasi terdiri dari 5 desa
saja.
Perjalanan ke Pulo Aceh tentu saja melalui jalur laut. Bertolak dari
Lampulo atau Uleelheu, Banda Aceh, kisaran waktu tempuh bervariasi,
mulai dua hingga empat jam, tergantung pada desa mana yang hendak
dituju.
Waktu tercepat adalah mengunjungi Desa Lamteng di Pulo Nasi, yakni dua
jam. Yang paling jauh adalah desa yang akan kami kunjungi kali ini,
yaitu Meulingge. Letaknya di bagian utara Pulau Breuh. Jika cuaca tidak
bersahabat, waktu tempuh bisa lebih dari empat jam.
Secara sosial, warga Meulingge masih tertinggal. Puskesmas masih hanya
sebatas gedung kosong. Tak ada dokter, tak ada bidan, dan tak ada
peralatan medis ataupun obat-obatan.
Warga Meulingge yang sakit harus berobat ke Banda Aceh atau ke
Lampuyang, sebuah desa tempat berada ibu kota Kecamatan Pulo Aceh.
Namun, dalam praktik kesehariannya, mereka cenderung memilih pengobatan
alternatif dengan cara di-rajah oleh teungku.
Hamparan Laut Di Pulo Aceh |
Beberapa
bulan sebelumnya, listrik juga masih menjadi barang langka di pulau
ini. Namun, sejak tiga bulan belakangan, warga telah dapat menikmati
listrik dengan sempurna.Di Desa Meulingge inilah Mercusuar Williams Torren berdiri menjulang.
Untuk sampai ke sini, selain menaiki boat dengan jurusan langsung Banda
Aceh-Meulingge, perjalanan juga bisa ditempuh melalui jalur darat, tentu
saja setelah tiba di Desa Gugop yang berada di Pulo Breuh Selatan.
Kedua pilihan jalur tempuh itu memiliki keunikan masing-masing. Pada
perjalanan sebelumnya, kami mencoba rute langsung Banda Aceh –
Meulingge. Rute ini merupakan sebuah pilihan mengadu nyali dengan
menantang ganas ombak pada lekuk-lekuk pulau kecil tak bertuan.
“Kalau ada pejabat yang ingin berkunjung ke desa kami, akan saya bawa
lewat jalur ini biar mereka tahu bagaimana bahayanya perjalanan kami
setiap hari,” kata Abdul Latif, pawang boat. Ia tertawa melihat kami
mengencangkan pegangan dan mulai ketakutan. Tak ayal, seluruh isi perut
saya tumpah waktu itu.
Namun, panorama alam pelan-pelan mengobati ketakutan. Melalui boat
tampak gugusan pulau-pulau kecil yang hanya dihuni burung dan ditumbuhi
tumbuhan hijau.
Peninggalan Sejarah Macusuar Di Pulo Aceh |
Berbeda
dengan perjalanan Banda Aceh - Meulingge, kali ini kami memilih rute
Banda Aceh – Gugop, lalu menempuh jalur darat ke Meulingge.
Puluhan kilometer jalan lingkar Pulo Breuh telah di aspal, mulus.
Pengerjaan hampir sepenuhnya selesai. Ini berbeda jauh dengan tahun
sebelumnya.
Perjalanan terasa menyenangkan. Menggunakan lima motor, kami mendaki
gunung beralaskan aspal yang lebar. Tiba di puncak, decak kagum selimuti
jiwa. Ada pemandangan alam yang terhidang sulit dijelaskan kata.
Liku-liku sudut pulau menjamah laut biru yang membentang.
Setelah menempuh puluhan kilometer selama dua jam, kami tiba di
Meulingge. Sambutan hangat warga Meulingge telah dikenal luas,
setidaknya oleh Ariska dan kawan-kawan. “Di sini kami sudah dianggap
saudara mereka. Mereka akan marah kalau kami tidak mau makan atau
menginap di rumah mereka,” kata Ariska.
Penjamuan makan dan penginapan itu memang telah terjadi berulang kali
sebelumnya. Pada perjalanan ini kami mengatur cara dengan tidak akan
berlama-lama berbincang dengan warga.
Kami berencana segera masuk ke hutan Meulingge untuk mencapai lokasi
mercusuar dan pelabuhan meski malam telah merambat tajam. Namun, adat
tetaplah adat, tata tertib desa harus diikuti. Kami melapor ke rumah
kepala desa dan di sana sudah terhidang setalam nasi, ikan, dan sayur.
Tak ada alasan menolak.
Ariska dan lima kawannya memang tidak asing lagi bagi warga Meulingge,
tapi lima orang lain di sisi dia tentu menjadi pusat perhatian warga
Meulingge. Mereka baru ini pertama kali menapak kaki di pulau tersebut.
Cut Keumala contohnya. Gadis yang menyukai dunia fotografi ini mengaku
tak tahan mendengar perbincangan beberapa orang tentang keindahan
tersembunyi Pulo Aceh. Sempat menyimpan hasrat selama beberapa waktu,
keinginan gadis itu akhirnya tertuntaskan. “Mencapai puncak Williams
Torren adalah petualangan yang benar-benar fantastik,” kata Cut Keumala.
Itu adalah ungkapan yang keluar setelah Cut Keumala menempuh perjalanan
ekstrem dari Desa Meulingge menuju lokasi Mercusuar dan Pelabuhan
Willians Torren. Jalan penuh bebatuan dan bongkahan tanah yang
mengganjal. Di jalan terdapat banyak lubang bekas laluan kendaraan di
waktu hujan. Kini tiada hujan. Lubang itu masih tertinggal.
Dalam perjalanan pukul sembilan malam itu, dia sempat mengkhawatirkan
kondisi motor matic miliknya. “Kok tiba-tiba berbunyi aneh gitu
mesinnya,” tanya dia.
Perjalanan selama satu jam di malam hari itu kami lalui tanpa sinar bulan. Di langit hanya tampak taburan bintang.
Perjalanan itu benar-benar melelahkan dengan jalan penuh tanjakan serta
tikungan. Sisi kiri dan kanan adalah jurang yang dalam. Pada beberapa
bagian jalan, motor terpaksa didorong. Tak ada tawa saat itu, hanya deru
nafas yang terengah.
Segala kelelahan terbayar saat puncak mercusuar kami taklukkan.
Sebelumnya kami berbincang dengan Tony Suharto, didampingi Indra Jaya,
anak buahnya. Menyadari tengah berbicara dengan pekerja media, lelaki
berkulit hitam itu menitip pesan. “Kami berharap ada yang mau merehab
(mercusuar) biar kami lebih nyaman bekerja,” kata dia.
Tony ingin pejabat terkait turun melihat langsung kondisi mercusuar.
Oleh penduduk Meulingge, Mercusuar Williams Torren disebut “Lampu”.
Kata Tony, mercusuar adalah peta bagi ratusan kapal yang melintas
Samudera Hindia di malam hari. Menurut Tony, itulah alasan Mercusuar
dibangun persis di atas sebuah gunung yang menghadap langsung Samudera
Hindia. Berada di sana pada malam hari akan tampak lalu lalang kapal
besar di perairan internasional.
Walau usianya sudah mencapai satu setengah abad, Mercusuar William
Torren masih kokoh. Terletak di area seluas 20 hektare, guncangan gempa
2004 lalu tidak meretakkannya.
Selain menara, ada bangunan loji panjang dengan beberapa sekat ruangan
yang kini ditempati petugas jaga mercusuar. Selain itu, ada gedung
pembangkit listrik bertenaga diesel, berguna sebagai sumber energi lampu
sorot di puncak mercusuar. Juga ada gudang logistik dan sebuah bangunan
berisi bungker serta penjara bawah tanah.
Itulah malam penuh canda tawa di puncak mercusuar. Hanya satu malam,
paginya kami bergegas ke pelabuhan. Di sana kami menikmati makan siang
sebelum akhirnya kembali pulang, meninggalkan Pulo Aceh dengan segala
keindahan dan sejarahnya.
1 komentar:
Bang. Di pulo aceh ada penginapan tidak?? Semacam wisma atau apalah itu .
Post a Comment