TAK banyak literatur yang bisa diperoleh untuk menjelaskan asal-usul Kota Sabang. Legenda yang beredar di masyarakat Sabang, yang terletak di Pulau Weh, pulau itu dulunya bersatu dengan daratan Sumatera. Namun, akibat gempa bumi, ribuan bahkan belasan ribu tahun lampau, pulau ini terpisah dengan daratan. Begitu juga dengan pulau-pulau di sekitarnya, Seperti Pulau Rondo, Pulau Rubiah, Pulau Seulako dan Pulau Klah.
Sekitar tahun 301 sebelum
Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan
berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh!
Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau
Emas di peta para pelaut.
Pada
abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh
mengarungi samudera melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri
Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh
di sebuah pulau dan juga menamainya Pulau Emas, pulau itu yang dikenal
orang sekarang dengan nama Sabang.
Dan pada awal abad ke-15.
Penjelajah asal China, Cheng Ho, pernah singgah di sana tahun 1413-1415.
Catatan Ma Huan, salah satu penerjemah Cheng Ho, menjelaskan bahwa di
sebelah barat laut dari Aceh terdapat daratan dengan gunung menjulang,
yang dia beri nama Gunung Mao. Di sana terdapat sekitar 30 keluarga.
Banyak para ahli sejarah menegaskan bahwa yang dimaksud Gunung Mao itu
adalah Pulau Weh.
Dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan
yang kemudian diterjemahkan menjadi The Overall Survey of The Ocean’s
Shores, Ma Huan menceritakan bahwa daratan itu menjadi salah satu tempat
persinggahan para saudagar dari berbagai negara. Gunung Mao yang tampak
mencolok dari lautan itu menjadi suar atau petanda bagi para saudagar.
Sabang sendiri merupakan penghasil kayu laka terbaik serta penghasil
bunga teratai.
Erond juga menduga bahwa Sabang
saat itu menjadi salah satu bagian dari jaringan perdagangan maritim
yang membentang dari Teluk Persia sampai China Selatan pada abad ke-12 M
sampai ke-15 M. Thailand, Sri Lanka, dan India termasuk di dalamnya.
Asal Mula Nama Sabang dan Pulau Weh
Nama Sabang sendiri, berasal dari bahasa Aceh ”Saban”,
yang berarti sama rata atau tanpa diskriminasi. Kata itu berangkat dari
karakter orang Sabang yang cenderung mudah menerima pendatang atau
pengunjung.
Versi lain menyebutkan bahwa nama Sabang berasal dari bahasa arab, yaitu "Shabag"
yang artinya gunung meletus. Dahulu kala masih banyak gunung berapi
yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi
di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.
Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa Aceh, ”weh” yang artinya pindah,
menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya merupakan satu
kesatuan dengan Pulau Sumatra, yakni penyatuan daratan sabang dengan
daratan Ulee Lheue.
Ulee Lheue di Banda Aceh berasal dari kata Ulee Lheueh ("Lheueh"; yang terlepas).
Syahdan, bahwa letusan Gunung berapilah yang menyebabkan kawasan ini
terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera dulu, yang terpisah
akibat Krakatau meletus. Dalam Versi lain, Pulau Weh juga terkenal
dengan pulau "We" tanpa h. Ada yang berasumsi jika pulau weh diberi nama pulau "we" karena bentuknya seperti huruf "W".
Legenda Sabang
Menurut
sebuah legenda menceritakan putri cantik jelita yang mendiami pulau ini
meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa
ditanami. Untuk itu, dia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai
bukti keseriusannya. Sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian
menurunkan hujan dan gempa bumi di kawasan tersebut.
Kemudian terbentuklah danau yang
lalu diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu
hingga saat ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang meski
ketinggian airnya terus menyusut. Setelah keinginannya terpenuhi, sang
putri menceburkan diri ke laut.
Meski tidak ada sumber tertulis
yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang menjadi daerah yang subur
dan indah setidaknya tecermin dari adanya taman laut yang indah di
sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah memberi
penghidupan kepada masyarakat.
***
Pulau Weh
atau Sabang telah dikenal dunia sejak awal abad ke-15. Sekitar tahun
1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang
baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan
diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung
25.000 ton batubara telah terbangun.
Kapal Uap, kapal laut yang
digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil
batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini
dapat dilihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan
Belanda. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting
dibanding Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel
digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai
dilupakan.
Pada tahun 1970, pemerintahan
Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai
aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan
Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu
pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun
1986 dengan alasan menjadi daerah yang rawan untuk penyelundupan barang.
Awal Januari 2000 Presiden
Abdurrahman Wahid menegaskan Sabang sebagai pelabuhan bebas dan kawasan
perdagangan bebas. Barang-barang yang diimpor lewat Sabang bebas pajak.
Mobil-mobil mewah asal Singapura dijual murah di kota itu.
Namun, ketika Aceh ditetapkan
sebagai daerah operasi militer, aktivitas Sabang sebagai pelabuhan bebas
terhenti. Aktivitas pelabuhan bebas makin sepi dengan terbitnya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor
610/MPP/Kep/ 10/2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menperindag Nomor
756/MPP/Kep/12/2003 tentang Impor Barang Modal Bukan Baru. Tak boleh
lagi ada barang bekas yang boleh masuk dari seluruh daerah perbatasan
Indonesia, termasuk Sabang.
0 komentar:
Post a Comment