1. Riwayat Hidup
Walaupun Hamzah Fansuri merupakan salah seorang sastrawan yang sangat penting dalam sejarah Kesusastraan Melayu, tetapi tidak banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan pribadinya.
Tanggal
lahir dan wafat Hamzah Fansuri tidak diketahui, tetapi diduga bahwa ia
hidup pada zaman kekuasaan Sultan Alauddin Riayah Syah (1689-1604),
penguasa Aceh sebelum Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1606-1636).
Hamzah Fansuri juga diduga lahir di Barus, Sumatra Utara, (atau Fansur,
menurut pengucapan Arab). Kota barus adalah pusat perdagangan, politik,
dan kebudayaan Melayu untuk seluruh Selat Melaka pada abad ke-17.
Hamzah Fansuri diperkirakan meninggal di sekitar tahun 1590 (Teeuw,
1995: 45-46).
Masa
muda Hamzah Fansuri tidak diketahui, demikian juga dengan
pengabdiannya sebagai ulama dan penasehat sultan Aceh. Syeikh Nuruddin
ar-Raniri, yang menjadi penasehat kerajaan pada masa kekuasaan Sultan
Iskanda Thani (1636-1641), di dalam salah satu karyanya memang
menyebutkan sejumlah nama penting, misalnya Syamsuddin al-Sumatrani.
Syamsudin adalah murid Hamzah Fansuri, tetapi Nuruddin sama sekali tak
menyebut-nyebut tentang Hamzah Fansuri.
Ada
dua kemungkinan mengapa Nuruddin tidak menyebutkan tentang Hamzah
Fansuri. Pertama, ia hidup setelah Hamzah Fansuri meninggal, sehingga ia
tidak dapat bertemu secara langsung dengan Hamzah Fansuri. Kedua,
seperti yang telah diketahui oleh umum, Nuruddin sangat menentang
doktrin wahdat al-wujud yang dianut oleh Hamzah Fansuri.
Nuruddin
berhasil membujuk Sultan Iskandar Thani untuk memberantas ajaran
Hamzah Fansuri, bukan hanya melalui argumentasi ilmiah atau keagamaan,
tetapi juga dengan kekerasan fisik. Sehingga, buku-buku yang mengandung
ajaran itu dibakar, dan penganut-penganutnya dituntut, bahkan ada yang
dihukum mati (Teeuw, 1995: 68).
2. Pemikiran
Hamzah Fansuri adalah seorang penganut mazhab tasawuf wahdat al-wujud atau wujudiyah atau Martabat Tujuh.
Keyakinannya itu terungkap baik dalam karya-karya teologisnya maupun
dalam karya-karya sastranya. Kesusastraan keagamaan Melayu pada masa
Hamzah Fansuri hidup memang berkembang pesat, seiring dengan penyebaran
agama Islam di seluruh kepulauan Nusantara dan pendirian berbagai
kerajaan Melayu-Islam di beberapa tempat, yaitu di Pasai, Melaka dan
Aceh.
Kesusastraan
jenis ini berisi yurisprudensi, doktrin, mistisisme dan sebagainya.
Dalam hal ini, Hamzah Fansuri adalah salah seorang penulis kesusastraan
keagamaan yang termasyhur dan sejajar dengan Syeikh Nuruddin
Ar-Raniri, Abadul Samad al-Falimbani, Syihabuddin bin Abdullah
Muhammad, Syeikh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari, dan Syeikh Daud
bin Abdullah al-Fatani (Piah, 2002: xvii).
Wahdat al-wujud
yang dianut oleh Hamzah Fansuri adalah salah satu doktrin tasawuf yang
dipengaruhi oleh filsafat dan berbagai sumber non-dogmatik lain.
Tradisi wahdat al-wujud adalah bagian dari silsilah intelektual
yang dikembangkan dari teks-teks Yunani, Persia, dan India yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Para
pemikirnya antara lain adalah al-Kindi (sekitar 958 M), al-Farabi
(sekira 958 M), Ibnu Sina (958-1137 M), Ibnu Bajah (sekira 1138 M),
Ibnu Taufail (sekira 1185 M), Ibnu Rusydi (1126-1198). Sedangkan gagasan
awalnya dapat dilacak hingga Plato dan Plotinus.
Doktrin
ini juga mempunyai hubungan dengan tipe mistisisme Islam yang dapat
ditemukan dalam studi-studi mistik oleh Abu Yazid al-Bistami (sekira
874 M), al-Hallaj (sekira 921 M), dan Ibnu al-Farid (sekira 1235).
Pengaruh terbesar datang dari Ibnu Arabi (sekira 1240 M), terutama di
dalam kitabnya yang berjudul Fusus al-Hikam.
Pengaruh doktrin ini di Melaka dapat ditemukan dalam Sejarah Melayu,
yang mendeskripsikan bahwa balairung Melaka mencari jawaban dari Pasai
bagi pertanyaan tentang apakah para penghuni surga dan neraka akan
tetap tinggal kekal di dalamnya. Pertanyaan inilah yang diajukan juga
oleh Ibnu Arabi.
Setelah jatuhnya Melaka ke tangan Portugis, pengaruh filsafat dan doktrin wujudiyah
terutama telah bergeser dari Melaka ke Aceh. Pada saat inilah Hamzah
Fansuri menulis karya-karya keagamannya. Situasi di Aceh pada masa itu
memang memungkinkan para penulis untuk berkarya di sana. Setelah Melaka
jatuh, Aceh berkembang bukan hanya sebagai pusat perdagangan tetapi
juga sebagai kerajaan Islam yang terkemuka.
Hamzah
Fansuri yakin dan mengajarkan bahwa, karena manusia berasal dari
Tuhan, maka manusia tidak merdeka. Kebebasannya adalah cerminan dari
kebebasan Tuhan yang absolut. Maka, manusia dapat saja mengikuti
kehendaknya sendiri yang disesuaikan dengan kehendak sejati Tuhan, atau
ia dapat juga mengikuti kehendak dan nafsunya sendiri di dunia ini.
Dunia ini juga berasal Tuhan, tetapi wujudnya bukanlah wujud yang
sejati. Jika manusia mengikuti dunia ini, berarti ia tertipu. Sedangkan
jika ia meninggalkan dunia ini, berarti ia menemukan hakikat dan
nasibnya yang sejati (al-Attas, 1970: 233-353 via Piah dkk, 2002: 374).
Menurut
Hamzah Fansuri, seorang Sufi pertama-tama harus mahir dalam
hukum-hukum dan teologi Islam sebelum mendaki tingkatan misteri yang
lebih tinggi dalam menuju Tuhan. Ia juga menetapkan perlunya moralitas
dan kontrol diri yang ketat. Kewajiban-kewajiban ini ditunjukkan dengan
jelas dalam dua sajak yang beasal dari sebuah puisi yang diawali
dengan Sidang fakir empunya kata:
Syariat Muhammad ambilkan suluk,
Ilmu hakikat yugiakan pertubuh,
Nafsumu itu yugia kaubunuh,
Makanya dapat sekalian luruh.
Mencari dunia berkawan-kawan,
Oleh nafsu habis engkau tertawan,
Nafsumu itu yugia kaulawan,
Mengkanya sampai engkau bangsawan.
Ilmu hakikat yugiakan pertubuh,
Nafsumu itu yugia kaubunuh,
Makanya dapat sekalian luruh.
Mencari dunia berkawan-kawan,
Oleh nafsu habis engkau tertawan,
Nafsumu itu yugia kaulawan,
Mengkanya sampai engkau bangsawan.
(Drewes dan Brakel, 1986: 110)
Sedangkan doktrin wujudiyah-nya tampak sangat jelas dalam bait berikut ini:
Dengarkan sini hai anak ratu
Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam muhith dengan Batu
Inilah tamsil engkau dan ratu
Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam muhith dengan Batu
Inilah tamsil engkau dan ratu
(Drewes dan Brakel, 1986: 108)
Di
dalam bait itu, dinyatakan bahwa walaupun badan memang fana, tetapi
jiwa baka, atau tidak pernah mati, datang dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya. Ombak dan laut (“air”) juga tampak berbeda, tetapi
sesungguhnya sama. Semua manusia adalah milik Tuhan.
Tetapi
pandangan ini ditentang oleh ulama besar yang lain, yaitu Nurruddin
ar-Raniri, yang berhasil membujuk Sultan Iskandar Thani untuk
memberantas ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri. Walaupun demikian, ada beberapa karya Hamzah Fansuri yang berhasil selamat dari api pembakaran itu.
3. Karya
- Syair Si Burung Pingai
- Syair Sidang Fakir
- Syair Syarab al-‘Asikin
- Syair Dagang
- Syair Perahu
- Asrar al-‘Arifin fi Bayan Ilmu Suluk wa al-Tauhid
- Ruba‘i Hamzah Fansuri
- Al-Muntahi
4. Pengaruh
Karena doktrin wujudiyah
sangat populer pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 di berbagai
daerah, khususnya Aceh, pemikiran dan syair-syair Hamzah Fansuri tentu
cukup luas tersebar di kalangan kaum Sufi di aliran tersebut. Bahkan,
penyebarannya tidak hanya di Aceh, melainkan juga di beberapa daerah
lain.
Di
Jawa, misalnya, karya-karya Hamzah Fansuri disebarkan hingga ke
Banten, Cirebon, Pajang, dan Mataram, serta diterjemahkan atau digarap
ke dalam bahasa Jawa. Sejak abad ke-17, mistik dan ajaran yang ada di
Jawa terwujud dalam bentuk manunggaling kawulo gusti, yang dalam berbagai bentuk tetap hadir dalam sejarah agama Islam di Jawa (Teeuw, 1995: 67).
Karya
Hamzah Fansuri sebagai penyair kemungkinan besar juga memiliki
persambungan dengan kesusastraan abad ke-20. Misalnya, dalam karya
puisi Amir Hamzah terdapat bekas pengaruh Hamzah Fansuri, yang mungkin
diperoleh lewat pendidikan Amir Hamzah pada sekolah AMS, bagian Timur,
di Yogyakarta. Mungkin justru guru Melayu-nya pada sekolah ini bernama
Dorenbos, yang pertama kali menerbitkan puisi Hamzah Fansuri dalam
disertasinya (1933) (Teeuw, 1995: 68).
Jejak
perpuisian Hamzah Fansuri juga nampak dalam karya-karya penyair yang
lebih kontemporer, yaitu Abdul Hadi WM. Abdul Hadi telah menerbitkan
kumpulan puisi mistik yang memperlihatkan bahwa penyair terbaru pun
belum kehilangan minat untuk puisi mistik. Ada juga Danarto dan
Kuntowijoyo, yang masing-masing dengan gaya sendiri meneruskan tradisi
mistik Indonesia.
__________
Sumber:
- Harun Mat Piah, dkk., 2002. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
- Teeuw, A., 1994. Iindonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya
- melayuonline.com
Sumber foto: http://darwisiy.blogspot.com/
(An. Ismanto/tkh/01/05-09)
0 komentar:
Post a Comment